Senin, 14 Juni 2010

seberapa hati mampu


Seberapa cepat hati mampu membenci?
Seberapa ampuh hati menjadi sembuh dari luka?
Sebagian orang menyimpan kenangan indah, menempatkannya di tempat terprioritas, mengeliminier ingatan buruk tentang itu atau bahkan dianggap tidak pernah ada.
Seperti rumah untuk kenyaman nya.
Apakah semua harus sembunyi di dalam cangkang yang menyenangkan dan menganggap tragedi adalah sesuatu yang harus dilupakan?dihindari?

Padahal setiap hari adalah tragedi.konflik dari semua kompromi hidup. Mengapa harus dihindari? Hadapi saja!
Kenapa harus menghindar?
Menangis lah jika sedih.
Marahlah jika tersinggung.
Murunglah jika kalah.
Terbahaklah saat gembira.

Nikmati detik emosi.

Hati akan menyimpan,seberapa lama hati bisa menyimpan.
Hati akan membenci,selama hati bisa membenci.
Karena sakit pun akan mereda. Seberapa lama pun itu, luka akan kering. Menjadi sembuh.

Menangis lah
Airmata itu pun wajar sekali.
Menutup wajahmu dengan tangan..karena aku percaya setelah tangan itu kau buka, aku akan lihat nafas dan emosi mereda. Senyum mu yang kembali..
Kamu telah kembali.

10 maret 2010

sayatan biola


Ada yang lebih menyakitkan dari dikhianati?
Banyak hal yang tidak di senangi dan cenderung di hindari
Cemburu, merasa di sia kan,selingkuh, patah hati, di tolak, dipisahkan, apalagi...
Dan dikhianati adalah derajat terparah dari itu!

Dikhianati adalah sebuah kegagalan kompromi
Sesuatu yang tidak tak mampu diterima hati. Sesuatu yang tidak dikehendaki.
Sentuhan menusuk..lebih dari petikan gitar. Tak cukup dentingan piano. Ini sayatan biola.
Miris..!

hujan ini


Hujan ini
Seminggu lalu juga seperti ini
Seminggu melewati rasa yang sama..dikamar ini.

Ini bukan soal mengerti atau tidak mengerti
Ini tentang perpisahan yang memang sudah dipastikan

Aku telah dilatih dengan segala waktu untuk menjadi tangguh
Tapi ini tetap membuatku tersungkur
Ada airmata

Hujan ini memaksa jujur
Masih ada rindu yang tinggal disini

Minggu, 13 Juni 2010

Catatan akhir hari..”


Banyak hal yang tidak dipahami manusia. Sepanjang peradaban, satu persatu pertanyaan dijawab dengan logika dan perkembangan akal manusia. Mengapa air laut terasa asin?Bagaimana terjadinya hujan?darimana datangnya malam?bagaimana menyembuhkan influenza?dan banyak lagi pertanyaan yang telah terjawab. Hingga hari ini 2006 tahun setelah penyaliban jesus dari Nazareth, manusia masih juga dipusingkan oleh berbagai pertanyaan.
Mungkin ini adalah tugas abadi manusia. Sebuah kodrat ?
Aku; dan sebagian besar generasi muda yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan, adalah satu generasi yang diuntungkan oleh waktu. Betapa tidak? Kami dipenuhi oleh banyak kemudahan. Kami di disain menjadi intelek, kosmopolis ( bahkan metroseksual?) punya akses terhadap teknologi dan peradaban terkini,.bisa di bilang kami lah garda depan perubahan!
Aku, harus berterima kasih kepada orang orang yang hidup sebelum aku. Enstein yang menjelaskan relativitas dan teori waktu, Marx untuk communist manifesto-nya, Hegel untuk filsafat sejarahnya, Plato untuk konsep dunia ide- nya, juga Soekarno yang menghadirkan konsep nasionalisme untuk ku.
Hanya saja, hidup di zamanku yang penuh dengan kemudahan tadi tidak otomatis mampu menjadikan ku ( dan sebagian besar teman – temanku) tumbuh menjadi kritis seperti orang – orang sebelum ku yang mapu menjawab satu demi satu pertanyaan dunia.
Kami lebih disibukkan oleh banyak permasalahan psikologi. Bahkan, sebagian dari kami lebih cocok di definisikan gila dari pada intelek.
Maklum, di zamannya Enstein extasy tidak menjadi konsumsi umum bagi generasi muda.
Di masanya Soekarno, menghisap ganja juga tidak menjadi trend. Apalagi di hidupnya Plato pasti ga pernah punya hobby clubbing atau ke diskotik.
Generasiku cenderung apatis, an sosial, pragmatis, komsumeristik dan hedonist.
Mungkin sebagai generasi yang mengaku intelek, kalo Enstein, Marx, atau Soekarno masih hidup, kami pasti dihujat habis habisan! tapi mau gimana lagi? Inilah kami seutuhnya.
Lalu bagaimana arah peradaban ini? Tanpa ada orang orang yang mampu dan mau melanjutkan kodrat manusia menjawab satu demi satu pertanyaan yang masih banyak tersisa?
Berharap pada kami, sama saja menghambat peradaban!

Rabu malam yang menjemukan
Palembang, 22 maret 2006

Rindu


6 februari 2003


Aku menunggu mu mengetuk pintu
Menunggu, untuk melihat matamu memandangku.
Kau akan selalu cantik dengan ceritamu
Caramu itu, membuatku rindu.

Aku memang sedang menunggumu,
Menunggu kau nyalakan lagi hari
Kau seperti sinar pagi.

Kau bisa seperti malam cerah yang tenang
Kau bisa seperti hujan gerimis yang mengharukan
Kau bisa seperti sinar sore, penuh cinta!

Aku memang sedang menunggumu.
Cepatlah datang!
Ketuk pintuku.

love II


Yogyakarta, 23 mei 2003


Bila dengan dekatmu begitu asing, kenapa jauh kita menjadi akrab?
Bila bersama kita saling memiliki, mengapa ku tak bisa meraih senyummu…
Bila menjadi orang lain aku kekasihmu, mengapa menjadi diri sendiri aku harus melupakanmu?
Didepanmu aku tak berarti apa apa, tapi dibelakangmu aku adalah cahaya harapan!
Kekosongan yang menjemukan!
Suasana aneh yang menjebak,..diujungnya , terlihat seperti kabut.
Sebuah kesedihan?

love


Yogyakarta, 25 april 2003
Apa menariknya keindahanmu?
Kuperhatikan kau,… setiap sudut, setiap lekukan, detail, dan hiasanmu.
Apa menariknya hidup tanpa pengkhianatanmu?
Tanpa cacatku dan kekosongan mimpi-mimpi kita

Aku menangis tak bisa mengutukmu!
Ingin sekali menghujatmu!!
Memberi amarah,dendam dan kebencian ini untukmu

Tau apa kau tentang gelisahku?
Tau apa kau tentang kepedihan, kesakitan, sesak hati, kecewa dan air mataku?

Kau mengapung diantara kesedihanku
Berada di antara penonton yang iba melihat pertunjukanku
Tapi entah kenapa,..kau terasa melengkapi kesejatian;
Kau, membuatku bertahan hidup.

Mungkin,..untuk tetap menikmati kesakitan!

“bukan hujan di bulan Juni”


Hujan di musim hujan seperti sekumpulan kurawa yang senang main keroyok. Selalu ramai, sombong dan angkuh!
Dia tunjukan dia kuat, keras dan menakutkan. memaksa orang memaklumi kekuasaannya.
Aku justru mencarinya. Berjalan menujunya, menantangnya meski dengan getir di hati.

Dia datang bergerombol, bersama angin runtut dalam ratusan atau mungkin ribuan tetes air dari langit..semakin banyak datang mengerumuni. Basahi, halangi sudut pandang, memaksa memicingkan mata. Sadariku, semakin dekat dengan yang ku cari; kurungan rintiknya yang tak terhindarkan, seperti rintangan rasa di hati.

Ya..aku datang untuk itu..mencari hujan yang menjadi rintangan, dan coba belajar loncati. Rintangan yang selalu menjadi batas. Batas yang mencekal langkah hati. Batas yang menyebalkan! Seperti gundah bertahun-tahun hinggap di hati tanpa tahu kapan bisa lebur menjadi kelegaan.
Aku datang dengan marah dan sesak mengebu. Berharap hujan seperti ini mampu dinginkan.

Kepungan rintik semakin rapat. Menampar-nampar muka seperti menghardik keras, kenali ku lagi tentang takut. Deras mengaburkan pandangan..blur tanpa fokus.
Marah ini tersingkap. Emosi yang sudah lama ingin meluap. Mata ku jalang menantang mencari sebab, alasan, dan segala hal yang mehalangi langkah.
Diantara langkah geram dan kepungan hujan, cahaya semakin jauh tertinggal..aku sendirian masuk dalam gelap..aku tersesat ditengahnya!
Hanya ada aku. Hanya ada aku.
Aku yang dulu ku ketahui..tentang bagaimana bertahan hidup dari benturan keras. Tentang jatuh dan kembali bangkit.

Hujan mengalah..kendurkan kepungannya..biarkan cahaya mengejar, sinar sendu..
Hujan tlah menjadi bijak..biarkan ku terhenyak merasa..sedalam-dalamnya merasa..dan detik itu aku berhenti. Diam dalam kekhusyukan.
...

Hujan mereda.. berdamai denganku dalam diam.. perlahan bebaskan ku dari tetes-tetesnya.. aku justru menerima sisa tetes itu dengan penuh rasa. Lembut, bebas tak berarah. Bergerak dengan ritmenya,..tak berbentuk.
Di tetes terakhir, butir nya menyentuh hati
...

Tak ada lagi rintik hujan..tapi ada tetesan air lain di wajah..aku dihujani airmata..leburkan sesak di dada!
Aku tersungkur dalam sedan

...
Hujan ini tak semewah hujan di bulan juni..tapi hujan ini sempurna..sekaligus tragis.


Magelang-jogjakarta
16 november 2009

yang tak terucap


7 maret 2010

Aku memikirkanmu
Di rintik hujan
Sepi jalanan yang basah
Deru kendaraan yang menjadi jarang

Aku memikirkanmu
Banyak waktu di tempat ini
Di keping ingatan
Di getir harapan
Menebak-nebak seberapa getir itu

Aku memikirkanmu
Menangkup telapak tangan pada cangkir teh hangat
berharap menghangatkan hati

Di luar masih hujan dan dingin
Perasaan ini

Bagaimana harus menjalani hidup?
Bagaimana cara kita menjalani kita?

Tak semua bisa sembuh secepat hari
Pagi menjadi sore
Dan besok akan lagi kita temukan pagi

Di luar masih hujan dan dingin

Tapi mungkin besok adalah pagi yang hangat

Bagaimana dengan kita?
Bisakah besok kita sehangat pagi cerah itu? atau kau tak siap dengan terangnya?
Ayo lah...tak baik sembunyi dalam kegetiran
Tantang silaunya!

Kalau kau masih merasa lelah. Biar aku yang akan memapahmu..

Kemari..
Raih tangan ku



(; seharusnya ku katakan ini…tp ku tak sanggup.)

bertemu optimisme


Di beberapa waktu
seperti berjalan diatas lapisan es yang tipis terasa biasa
Aku telah lama bertahan dalam pertikaian
Melihat marah dan dendam tumbuh
Menyaksikan sumpah lahir dan terabaikan

Apakah kamu sanggup menjaga langkahmu?
Tak getir melawan silau matahari ke arahmu sampai senja menyapa?
...
Berharap kamu mampu
Sebab aku berkali-kali jatuh
Peluru kata menembus dada
Panah-panah menghujam punggung
Tapi rintk hujan merayu, membuat ku bangun lagi.

Papah aku.. bantu aku berjalan lagi
Setidaknya kita saling menemani terus ke arah yang sama
Ke barat, ke semua tujuan berada.

Hari masih panjang
Kita bisa sampai sebelum sore.

ketidaknyamananku


bangka, 2 september 2006
sabtu siang yang terasa jengah!

“Ceritakan padaku tentang ketidaknyamanan…”

Kau tidak pernah merasakan ketidaknyamanan?
….
;setiap detik jiwa mengalami perkembangan.
Bisa baik, bisa tidak. Dan akhirnya kau bisa tau, dunia bukan hanya bicara hitam – putih. bukan hanya baik – buruk. Tapi juga abu – abu, merah muda, jingga, dan banyak lagi warna.
kau masih juga belum kenal ketidaknyamanan?

Hidup memang tak selalu berjalan linier..”
Tak terbayangkan, tak mampu ditebak. Akhirnya, kau terbiasa membunuh beberapa mimpi yang tak disepakati waktu.
atau kau memilih memeliharanya dalam otak kecilmu, menghadirkannya senyata mungkin lalu meruntuhkannya seakan tak sesuai rencana ; seperti membangun istana pasir lalu membiarkan ombak laut menghapusnya?
Ironis sekali...Betapa kau senang menikmati ketidakmampuanmu!

Baiklah,.ku ceritakan satu hal satu lagi.
Pernah rindumu dipaksa jadi elegi?
Pernah merasa ingin lupakan, tapi justru hal itu yang selalu menampakkan diri di depanmu setiap saat?
Pernah merasa muak dengan apa yang kau punya; ceritamu, kenanganmu, pikiranmu, juga hidupmu?
....Diburu rasa sakit yang tak pernah pergi..sesak yang tak kunjung reda, berputar - putar di lingkaran yang salah tanpa bisa berhenti..
Pernah merasa dibutuhkan tapi kau sedang tak bisa berbuat apa – apa? berdiri telanjang di tengah orang - orang yang diam melihatmu, menunggu mereka berkomentar sesuatu yang buruk tentangmu,..
......di tinggal sang waktu yang berjalan terlalu cepat di depanmu, sudah layak mati tapi jantungmu masih saja santai berdetak...
Seperti harapanmu yang tak pernah bisa ada...”

Kau masih belum merasa ketidaknyamanan?
senomerah;2006

terimakasih


....
Aku pernah terhina
Kalah
Di depak
Jatuh berdarah-darah terluka

Menangis
Tersedu dalam sesak

Membenci, membuat berpikir menjauh dari segala hal itu
Aku lari dari semua

Menghindar dengan sadar dan berusaha menjadi baru
Menjadi aku sesuai rekaan
Bersembunyi dari kalian yang mengetahui bagaimana aku terhina, kalah, merasa kecil dan terlupakan.

Di titik ini aku kembali
Mengucapkan terima kasih untuk semua.

Aku kuat karena tinjumu
Hatiku teguh karena hujatmu
Langkah ku pasti setelah kau jatuhkan
Pantang mundur setelah kau depak
Belajar sembuhkan diri dengan cepat akibat luka dari mu
Aku menjadi pemenang setelah kau kalahkan

Terima kasih
Untuk cinta yang tak menuntut balas
Untuk hati yang selalu menjadi rumah

tertinggal


Menjadi tua, seperti dalam lomba lari
Walau kau sudah terengah-engah tertinggal dan sadar di ujung sana si pemenang telah lewati garis finish dengan sorakan elu-eluan, kau tetap harus berlari ke garis itu.
Kalah bukan hanya sekedar kalah.
Tapi menerima itu sebagai sunk cost. Menyadari sebuah opportunity cost yang besar

Aku memang sedang berlari.
Aku tertinggal.
Rasanya seperti berat. Tapi bukan beban
Berat ini seperti gabungan semua rasa yang dirasakan lidah meskipun teman ku riri bilang, lidah hanya bisa merasakan manis, pahit, asin dan asam. Sisanya adalah sensasi.
Sepakat dengan sensasi; itu adalah tambahan seperti elegi sesak yang terakumulasi lewat ejekan yang ku dengar, aroma suram yang ku cium, getir yang terkecap, silau yang menantang. Kadang juga seperti dingin pada tulang; gemetar menggigil.

Menjadi tua, juga seperti terhalang dinding ketika ingin menyentuhnya. ketika tak bisa menyentuhnya, Seperti kata kuntz; akhirnya aku mengingat sebagai sesuatu bukan seseorang.

Keterbatasan. Itulah dia.
Menjadi tua, seperti merasa sakit, harus menelan obat yang pahit. Lekat terasa di lidahmu.
Dan besok, harus lagi menelannya. Pahit itu lagi.

Vicka ku, orang yang bisa menikmati kenyamanan lewat hal kecil yang dia suka. Berguman, musik di telinga nya dan teh hangat di mejanya. Itu cukup membuatnya larut dlm nyaman.
Dia tak trasa tua dan tertinggal.

Aku didekatnya. Berharap tertular rasa itu, eksternalitas untuk ku
Di detik terakhir aku sadar, dia tidak merasa nyaman hanya dengan itu. Dia menikmati segugusan rasa mapan yang selimuti nya dengan mesra. Dan aku tidak!
Aku berselimuti gundah dan perasaan tertinggal.
...tertinggal, menjadi tua dalam ketidaknyamanan.