Senin, 29 November 2010

Gundah Tak Bernama


ku hisap rokok ini dalam-dalam.
Perlu nafas panjang untuk melakukan itu. Sama seperti menyimpan gundah itu dalam-dalam. Disana, di lubuk hati yang paling dalam. Memang harus dalam. Sedalam mungkin, sedalam-dalamnya. Dan sambil merokok, tentu ini tak kan begitu ketara terlihat. Orang-orang tak kan mengira tarikan nafas panjang ini sebuah manuver untuk sekuat mungkin bertahan dari kegundahan.

Aku masih menghisap rokok ini dalam-dalam.

Di setiap hisapan, ku rasa tiap-tiap perubahan. Betapa setiap detik pun jiwa mengalami perkembangan.
Bisa baik, bisa tidak. Dan akhirnya ku bisa tau, dunia bukan hanya bicara hitam – putih. bukan hanya baik – buruk. Tapi juga abu – abu, merah muda, jingga, dan banyak lagi warna.
Hidup memang tak selalu berjalan linier.
Tak terbayangkan, tak mampu ditebak. Akhirnya, ku terbiasa membunuh beberapa mimpi yang tak disepakati waktu.

Mimpi yang tak disepakati waktu.

Aku masih harus menghisap rokok ini dalam-dalam lagi. Lebih dalam!

Aku akan menjadi aneh ketika menyebut namanya.
Seperti sebuah puri. Layaklah dia menjadi rumah untuk dikunjungi. Dia punya banyak hal untuk banyak orang pulang padanya.
Di umurnya yang bukan lagi muda, dia sukses menjadi matang. 35 tahun. Seorang model profesional, istri dari seorang seniman dan ibu dari bocah kecil yang lebih cocok di sebut bandel daripada mengemaskan tapi dicintainya sampai tulang sumsum.
Dia..indah kawan. Dia bisa seperti matahari yang malu-malu di awal pagi, dia bisa seperti sinar senja yang melenakan, dia juga bisa seperti malam sunyi yang syahdu.

Aku melihatnya pertama di atas panggung. Dia dengan senyum mataharinya. Menyinari matahati banyak hati.
Panggung adalah tempat orang terlihat lebih tinggi. Secara harfiah dan secara implisit. Dipanggung kita temui para pesohor terlihat lebih dari biasanya. Dipanggung juga kita lihat para politikus, pejabat, pemimpin-pemimpin merasa tepat untuk membuang kata.
Panggung adalah tempat untuk terlihat. Siapapun yang melihat.
Dan disana aku melihatnya, diantara banyak mata kamera yang mengikuti nya. Sama dengan ku, banyak mata yang berhenti pada senyumnya. Aku kehilangan se per-sekian detik untuk menekan tombol rana dan menghentikan geraknya menjadi kumpulan cahaya untuk menjadi gambar; foto sebagai hasil akhir.

Sebagai juru potret, sering ku koleksi banyak senyum dan riak mimik. Satu persatu coba ku ingat sebagai sesuatu, ingatan kecil yang sering ku analogikan sesuka ku. Keceriaan yang kadang ku analogikan cakrawala, mimik tegang seperti garis diagonal yang tegas, kemurungan yang sepi mirip pesta yang gagal, kesedihan seperti hujan lebat di malam gelap dan banyak lagi. Aku hidupkan rekaman dalam foto itu sesukaku, imajinasi ku yang kadang hanya aku yang bisa dan layak mengerti. Bertahun-tahun ini diam-diam menjadi kesukaan. Kesukaan yang juga hanya aku yang bisa menikmati.
Lewat hari itu, aku menyimpan senyum dan riak mimik wajah itu. Tapi sulit menganalogikan. Untuk pertama kali, ini sulit ku lakukan.

Pertemuan kedua dengan nya masih di tempat yang sama. Tapi dibelakang panggung seseorang yang berteman dengan nya memungkinkan ku berkenalan dengan nya. Singkat, tapi aku tau ada yang tinggal dsana.
Kesan.
Seperti ingatan yang surut pada senyuman yang ku kenal tapi belum sempat ku analogikan. Aku kebingungan. Ditambahkan nya tatapan hangat yang menusuk dada. Bahkan ketika membelakangi nya, ku rasa tatapan itu pun menusuk punggung!

Kali ketiga melihatnya, adalah bertemu analogi yang semakin absurd! Dia berubah seperti ulat yang menjadi kepompong!gila! akan seperti apa dia setelah ini?
Di tempat salsa, dia menari. menari kawan!
Sama seperti panggung, lantai untuk menari membawaku ke tempat dimana orang layak diperhatikan gerakannya. Seperti menghitung ritme ketika mendengar seseorang mendendangkan lagu, ujung mataku mengikuti gerakannya. Mengingat pola-pola nya. Menari dengan nya di dalam pikiran dan hatiku. Sialan!
Analogi, analogi. Sialan, sialan!
Ini jebakan! Aku tergoda pada analogi yang aku ciptakan sendiri.

Ketika musik pengiring salsa itu selesai, dia mampir ke mejaku. Bersalam hangat, hangat sehangatnya. Berbasa basi, mnghidupkan sebatang rokok. Menghisapnya panjang. Ah, cara nya menghisap itu..aku koleksi frame itu di dalam hati.
Suaraku keluar ragu memulai percakapan. Canggung, tapi berhasil. Dia ringan menjawab. Beberapa menit berlalu, aku mencengkramnya dengan obrolan yang dia sukai. Mungkin tipe dia yang juga suka bercerita.
Dia bercerita tentang profesinya, keluarga, dan beberapa keinginan. Aku mengingat nya sekuat ku. Untuk cerita dan semua geraknya. Astaga..!ini adalah kemampuan ku tercepat mengingat sesuatu!mataku yang mengingat senyum,mimik, mata dan caranya bicara, telinga ku yang mendengar suara dan ceritanya, otakku yang berkerja ekstra memilah kata untuk menjawab semua pertanyaan nya..dan menyusun bagian bagian tentang itu semua sesukaku sesuai rekaan, imajinasi ku tentang analogi untuknya.
Dan sambil menghisap rokok, semua itu ku lakukan.

Sekarang aku sedang kembali mengingat semua tentang nya..aku butuh merokok lagi!

masih tentang bertahan hidup,sayang...


“Masih tentang bertahan hidup,sayang...” hanya aku dan dia yang biasa mengucapkan itu dengan senyum. Di hari ulangtahunnya pun, itu seperti kata lain mengucapkan selamat. Hidup di kehidupan yang lantang tanpa peredam, memang harus juga bertindak keras. Sekeras-kerasnya tinju agar bisa mengetarkan tembok. Semua memang masih tentang bertahan hidup. Lepas dari keterbatasan, ketergantungan dan berdiri tegap melangkah sendiri.
Tidak semua orang bisa seperti itu. Butuh waktu yang menempa. Butuh rencana yang baik agar tidak salah menginjak dahan dan terjatuh. Tidak ada yang ingin terjatuh kan?
Cuma kadang waktu juga tak selalu berpihak. Seperti serdadu yang kehabisan peluru, tak lagi memiliki senjata dalam peperangan, hanya berharap dengan keberuntungan. Walau kadang tetap tak beruntung.
Atau seperti juru foto dengan kamera analog yang bersaing dengan kamera-kamera digital. Begitu tertinggal dan berbatas. Sudahlah kawan, dunia memang tak selalu menyediakan medan bertempur yang adil.
Tapi setidaknya jika semua orang di planet ini adalah petarung, aku bukan petarung yang sendirian..berkali-kali kita saling memapah jika terluka. Bergandengan ketika kalut. Dan terkadang merayakan kemenangan bersama.

Aku selalu ingat detail tentangnya. Bagaimana dia tersenyum, tertawa, tarikan alis matanya disaat menemukan hal yang dia suka, murungnya di rundung masalah, pijar mata jatuh cintanya. Dia, istimewa. Secara lahiriah, secara batiniah untukku. Hanya padanya aku memanggil “sayang” tanpa canggung, bahkan lebih akrab dari pacarku.
Dia lah keluarga. Sepupuku, yang seiring berjalan waktu terbukti secara menyakinkan semakin tak tergantikan. Tumbuh bersama di kurun waktu yang tidak singkat, memiliki kecenderungan yang sama, kami dipersatukan oleh masalah, masalah dan masalah. Padanya sebagian kisah dan rahasia berada. Akan disana, bukan hanya disimpan tapi menjadi bagian untuknya. Seperti kisahnya yang melengkapi sisiku.
Seorang teman bilang aku hanya memiliki tiga hal yang menjadikan aku penting bagi mereka; setia kawan, setia kawan dan setia kawan, padanya aku hanya memiliki satu hal saja untuk menjadikan dia penting dalam hidup; aku menyayanginya sampai tulang sumsum!

Aku mengenalnya dari sana. Di kaki bukit yang sejuk, tujuanku berlibur dikala kecil hingga sekarang. Tanah leluhur kami. Di rumah desa yang nyaman, dikelilingi kolam-kolam ikan. Pemandangan asri dan sawah hanya berbatas jalan setapak kecil yang berujung ke sungai.
15 belas tahun yang lalu, kami berlari-lari di jalan setapak itu. Di kiri dan kanan adalah hijau. Sawah, kebun ketala, pohon pisang dan lumut pada bebatuan. Sesekali bergandeng tangan, aku mendengarnya mengoceh tak tentu arah membicarakan banyak hal yang juga tak tentu arah. Itu pagi hari. Di pinggir jalan berbatu itu, aliran air seperti sungai kecil untuk irigasi sawah sampai ke ujung sana. Aku ingat, kita bercanda dan aku tak sengaja mendorong nya terjatuh disana.
Aku dan dia masih kanak-kanak waktu itu. Dia gadis kecil yang cerewet. Judes dan menyebalkan! Selalu bisa meyerang balik semua ejekan untuknya. Tak mau dia mengalah! Tapi di urusan tenaga, laki-laki akan tetap mengalahkannya.
Dia marah, mengaduh sejadinya. Aku berada di antara rasa menang dan bersalah.
Tapi itu tak berlangsung lama. Ketika sampai di rumah, aku di omeli simbah putri dan dia tertawa cekikikan.
Dia perempuan kecil menyebalkan!

Ku simpan kekesalan itu sampai setelah makan malam simbah kakung memanggil kita berdua. Aku dan dia duduk di lantai. simbah kakung di kursi kesayangannya.
Kamu tahu siapa kalian ini,le?” simbah kakung bertanya.
Sepupu,mbah” jawabku.
Ya, apa arti sepupu itu?” tanya nya lagi.
Saudara,mbah” jawabku cepat.
Aku tak mau bersaudara dengannya!” dia menimpali jawabanku.
Siapa yang mau bersaudara dengan nenek sihir sepertimu, jawabku dalam hati.
Simbah kakung melihat kami berdua. Menarik nafas panjang. Dia paham perselisihan kami, cucu-cucu tertuanya. Dia tersenyum, lalu berkata “ pupu itu paha. Setiap tubuh manusia, selalu memiliki dua kaki dan bagian atas kaki itu disebut paha. Paha kiri melengkapi paha kanan, begitu juga sebaliknya. Karena sepasang paha berguna menopang tubuh untuk tegak berdiri. Dibutuhkan kaki dan paha yang kokoh agar tubuh kita mampu melangkah, berlari atau melakukan gerakan”.
“Ibaratkan tubuh adalah keluarga kita yang besar. Ada simbah kakung, simbah putri. Ada bapak dan ibumu serta seluruh keluarga kita yang lain,..paha-paha itu lah berguna memperkokoh keluarga. Kmu..sepupu-sepupu lah yang membuat keluarga besar kita ini menjadi kuat.”
“Le..kamu dan kamu, sebagai sepupu haruslah saling melindungi. Membuat paha yang satunya tetap baik-baik sehingga bisa digunakan untuk melangkah. Kita butuh dua paha untuk berlari kan?”
Simbah tersenyum.
Aku dan dia masih diam.
Di tahun-tahun berikutnya..aku dan dia mulai berkirim surat. Berbagi kabar dan cerita. Mulai ada foto dia di kamarku. Tiba-tiba tak ada lagi perselisihan. Dia sudah menjadi kesayanganku. Aku menyimpan cerita ini dalam hatiku. Akan ku wariskan keturunanku.

Di masa-masa sekarang dan nanti, ku sadar dia bukan gadis kecil lagi. Dia sudah berkali-kali lahir menjadi baru. Beranjak remaja, menikah dan menjadi ibu. Terpikir untuk berjalan pada rel masing-masing saja dengan sesekali saling memandang dari jauh. Ku pikir, aku dan dia akan baik-baik saja.
Tapi justru terasa asing!
Meski dia bisa berubah seperti apa saja dan aku bisa menjadi apa saja, dia dan aku selalu menjadi seperti dia yang ku kenal dan aku yang tak berubah untuknya. Aku masih membutuhkan kisah-kisahnya seperti aku membutuhkannya untuk menyimpan cerita-ceritaku. Kita adalah tong sampah masing-masing! Akan terasa lega dan bersih ketika membuang “sampah” berupa sesak, kegagalan, gundah, dan mimpi-mimpi absurd yang mengganggu. Lebih dari itu, aku butuh melihatnya terlihat “baik-baik” saja. Kita di ikat dengan darah. Daging yang sama. Melukainya sama saja melukaiku.

Ku rasa aku akan masih di dekatnya. Setidaknya,aku dan dia masih harus tetap jadi “pupu” yang kokoh untuk “tubuh” yang lebih besar. Aku dan dia juga akan masih harus berjalan. Membawa tubuh menuju tujuan. Jika perlu berlari!

Kita akan berlari kan,sayangku?”
Kita akan berlari-lari di jalan setapak kecil yang berbatu seperti waktu itu..tapi tanpa perselisihan. Sudah, kita sudah belajar banyak untuk saling menguatkan satu dengan lainnya.

Tapi ini memang tentang bertahan hidup,sayang...tak mengapalah. Kita akan saling menjadi kuat!

Aku ingin bilang, aku menyayangimu..mesti kau sudah tau itu.



Salaman, 11 juli 2010.
Dari pagi yang berkabut hujan tipis – malam yang ramai dengan suara jangkrik

Kamis, 18 November 2010

Melompati Ruang (sebuah Prolog)


Bangka, 16 november 2010
Di pantai yang selalu manja, disekitar cerita kimberly yang sedang kasmaran.

Aku menuliskan ini untukmu,..
Melakukan yang lidah tak bisa lakukan. Menuntaskan ingin yang belum tersampaikan.
....
Kadang mengarungi rasa ini seperti sedang memandangi senja. Menyilaukan mata, malarutkan hati, lirih dalam sesak, indah sesaat berlalu tanpa bisa di cegah, tapi ku nanti akan ada lagi disitu, memandanginya lagi dan lagi.
Ini ku tulis ketika kau tak ada. Meski ketika tak lagi bisa memandangimu pun, aku bisa menemukan hal tentangmu seperti aku menemukan senja. Kau ada di temaran sore, di remang garis cahaya di celah jendela yang menguning,di riuh reda akhir hari.
Atau mungkin aku hanya bisa menuliskan ini ketika jauh darimu. Disini..di ujung daratan yang bertemu laut. Bersandar di perahu nelayan yang menepi, di desir angin barat, di debur ombak yang menjilati pantai.

Harus ku mulai ini dengan menelusuri ingatan tentangmu. Mengingat ketika kamu datang, di ujung kerling mata, di keberadaanmu yang mampu ku deteksi di radius 100 meter, dan pesona yang tak bisa ditolak. Kau tau, aku laki-laki. Akan mampu untuk ku menolak keindahan..tapi tak mudah melewatkan pesona.
Saat kau mengucapkan kata dan kata..aku tau, aku sudah jatuh cinta yang dalam sekali.

Aah, rasa ini. Masih menyilaukan. Ada ribuan kerlip di depanku, kombinasi gulungan ombak dan sinar penuh matahari sore. Terlihat berkilau berwarna perak seperti kepingan kaca di lautan. Di dalam hatiku, pun ku punya kilauan lain. Betapa hebatnya hati..siapa yang bisa merancangnya? Organ tubuh mana yang mampu memerintahnya untuk merasa hal berbeda? Justru hati ini yang memerintahkan organ di tubuh ini untuk berkerja. Seperti ku yang harus menulis untukmu. Dan hari ini, akan ku habiskan menuliskanmu.

Bulan diatas, seperti kepingan emas.
Malam tenang dan petikan gitar. Kisah dan kisah berkumpul di udara. Berbagi dari hati ke hati dengan nyaman. Rahasia kecil itu akan aman disana. Di hati orang-orang yang bukan lagi “orang”, tapi “sesuatu” bagi satu dan yang lainnya.

Aku tak lagi bisa menulis. tapi justru lebih mudah mengingat jejakmu. bukankah di suasana yang tenang, kita akan lebih mampu merasakan dan mengingat hal yang paling nyaman?
Aku masih teringat kamu.menulismu dalam hati.