Minggu, 11 Juli 2010

Masihkah kau butuh janji itu, Catherine?



“Kita akan selalu bersama kan, sayang? Aku hanya ingin bersamamu. Selain dirimu, siapa lagi yang ku punya?
.. sesulit apapun, aku hanya ingin kita selalu bersama. Hanya itu yang aku ingin”.. Dia berkata terbata-bata, di ujung matanya yang mulai tergenang basah. Tangannya tak lepas dari genggaman. Tak mau lepas.
Nafas ini terasa berat. Berat karena kata-katanya barusan. Ini tak mudah.
Setelah semua yang terjadi, janji inilah hal terakhir yang menjadi peluru ke arahku. Aku tahu bagaimana perasaannya, dan janji itu yang ditunggunya sejak seminggu ini. Selemah-lemahnya aku dihantam masalah, dia lebih rapuh dari ku. Ku sadar, dia butuh sebuah penyemangat bagi mental dan kepribadiannya. Dia butuh itu untuk kembali bertahan dalam hidupnya di sana dengan banyak masalah dan ketakutannya.

Kita berjanji di sini. Di stasiun kereta, tempat pertemuan dan perpisahan terjadi. Diantara senyum dan tawa riang, kau juga bisa temukan wajah murung dan isak tangis perpisahan. Tempat ini, oase kegembiraan sekaligus kepedihan.
Satu minggu yang sebelumnya, seandainya kau bisa melihat ketika dia datang. Masih di stasiun ini, dia datang bersama suara kereta yang berisik tapi tak mengangguku. Masih kalah dengan rindu yang menumpuk di dada. Dia berlari ke arah ku. Senyumnya itu, ..dia seperti gadis kecil yang baru bertemu dengan ibunya yang pergi jauh. Gembira sekali! Berlari kearahku, memeluk ku erat. Tanpa berkata, aku lah mataharinya. Gravitasinya untuk merasa bahagia.
Aku mencium pipinya, membuat rona merah di wajahnya menjadi sempurna. Satu minggu melihatnya merona dalam banyak cara.

Ironi setelah seminggu berlalu. Kau harus lihat seperti apa dia ketika kita akan berpisah. Dia tak ingin terpisah! Dia hanya ingin bersama dengan ku.. dia jujur mengatakan itu. Airmata itu, sedu sedan itu menyesakkan dada. Aku baru tahu hati ini bisa berdenting seperti piano. Aku tersungkur dalam rasa cintanya. Melepasnya pergi dan memegang janji yang dia inginkan.

Sejak itu, tak lagi ku dengar kata darinya. Dia pergi seperti laju kereta waktu itu. Perlahan tapi tegas. Tak pula mundur dan datang lagi, menagih janji yang dititipkannya padaku.
Dia hanya meninggalkan aku disini bertanya-tanya bagaimana cara dia melewati hari, sulitkah hidupnya?
Aku menarik nafas panjang berkali-kali. Sejak dia pergi, menarik nafas panjang begitu sering kulakukan. Gundah dan gundah. Aku sudah terlatih oleh waktu untuk menjadi tangguh dalam berbagai kesedihan. Tapi kali ini tetap membuat ku berasa berbeda. Seperti berdarah oleh luka. Perih.

Apa kabarmu, Catherine..
Aku menunggu kabar tentangmu. Lama sekali tak mendengar semua tentangmu. Sempat terdengar berita dari beberapa teman, tentangmu yang berubah demi pilihan masa depan dan tak lagi bisa ku kenal. Aku akan tetap mengenalmu! Lebih dari siapapun. Baumu, caramu berjalan, tarikan nafas panjangmu, helai rambut tebalmu, bahkan rintihan suara manjamu akan tetap ku kenali. Bagaimana aku mungkin tak mengenalimu dalam perubahan apapun?

Tapi aku memang tak lagi pernah menjumpaimu, Catherine..
Apakah kau marah padaku? Apakah kau diam-diam membuntutiku, terkejut melihat aku tak lagi memiliki janji yang kau titipkan lalu kau memutuskan melupakanku seperti sepatu lamamu yang kusam dan ingin mencari sepasang sepatu baru lagi?

Kalau memang begitu, kau salah Catherine.. Tak sepenuhnya benar seperti itu. Ya, aku memang tak selalu membawa janjimu itu, tapi dia masih ada denganku. Aku hanya lupa dimana menyimpannya, akan ku cari lagi dan akan ku sampaikan padamu saat kau memintanya lagi.
Kau masih inginkan janji ini, Catherine?

Aku tau, tak mudah meletakkan janji itu kepadaku. Jujur, janji itu sudah tawar rasanya. Sudah tak jelas warnanya. Aku, memang bukan pemegang janji yang sejati. Kadang aku pun tak mengerti tentang janji. Dia begitu sakral bagi banyak orang, tapi di lain sisi dia pun tak berharga seperti ludah. Dikeluarkan dari mulut, terbuang sia-sia tak pernah diingat lagi. Kadang dia juga menjadi komoditas laris di masa tertentu, lalu jadi investasi buruk bagi sebagian orang yang tak becus mengolahnya.

Tapi janji yang kau titipkan ini berbeda kan, Catherine? Iya kan?
Aku akan duduk lagi di kursi tunggu di stasiun itu lagi, Catherine. Menunggumu lagi seakan kau akan datang. Menit membosankan berlalu menjadi satuan waktu tersendiri yang akan menyiksaku. Tapi tak apalah.. Aku akan duduk disana. Kubawakan janji itu serta. Kapan kau kemari lagi, Catherine?

Tahukah kamu, Catherine..? Kemarin, kulihat hal seperti janjimu di seberang jalan. Melihat dua orang seperti kita waktu di stasiun kereta ketika kamu meninggalkanku. Aku ingat janji yang kau titipkan dan aku mulai mencari-carinya. Ku temukan dia di pojok lemari. Tersimpan tapi tak lagi terawat.
Kubersihkan dia, Catherine.. Seperti merawatmu di saat kau sedih. Menghapus airmata di wajahmu. Menenangkanmu, hingga terbit senyum lagi. Aku melakukannya pada janji itu, berharap dia pun akan bisa sepertimu ketika itu.

Oh, Catherine.. Maafkan ku jika saat kau datang kau akan temui janji yang sudah tak lagi utuh. Cuma itu yang bisa kulakukan. Aku tak begitu baik menjaganya. Tapi dia tetaplah janji untukmu.

Aku membawanya sekarang, Catherine..
Disaku bajuku, ku simpan dia di situ. Ku bawa serta kemanapun pergi karena seandainya aku bertemu kamu, akan kutunjukkan itu padamu.
Tapi masihkah kau butuh janji ini?
Aku sedang duduk di kursi itu, Catherine.. Seperti waktu itu, menunggumu datang dan melihat senyum lagi..
Dengan janji itu.