Rabu, 23 Februari 2011

the other side


Lina tetaplah lina. Tetap menjadi gadis kecil bila dia sedang ditengah kehangatan keluarganya. Putri bungsu si ayah yang selalu dimanja. Kebanggaan ibunya, dan adik kecil yang cerewet bagi kakaknya. Lina tetaplah lina bagi teman-temannya. Lina yang suka bicara seenaknya, tapi selalu membuat ramai suasana. Lina tetap menjadi lina bagi wawan, pacar nya selama 5 tahun ini. Lina yang hangat, pengertian dan selalu menyenangkan bermanja-manja, si manis yang membuat wawan tak rela terpisah jauh.
Tapi lina akan menjadi lina yang tak dikenali ketika menjadi diri sendiri. Di antara celah keseharian, diantara hitam putih, diantara banyak pilihan lina akan menjadi lina yang tak bisa dipahami orang yang pernah mengenalnya bahkan dirinya sendiri.
Kadang keseimbangan adalah ketidakseimbangan itu sendiri. Bukankah kehidupan selalu hadir dalam dua sisi? Dan terkadang kita harus berdiri diantara kedua sisi itu. Dalam satu waktu sekaligus.
Kita tidak sedang berbicara tentang teori kepentingan dan konspirasi. Dia bukan agen ganda, spionase tingkat tinggi. Dia adalah dia dalam kehidupan yang nyata. Mungkin sama dengan orang di sekitar kita yang tak pernah kita ketahui karakter sebenarnya. Siapa yang bisa tahu kedalaman hati orang lain?

Aku ingin kamu bayangkan isi lemari bajumu. Ada berapa banyak pakaian andalanmu disana yang biasa kamu pakai di ragam keseharianmu? Ku rasa lebih dari satu. Di satu stel pakaian, kamu akan cenderung “suka” terlihat intelek, rapi, formal dan sopan, di satu stel pakaian yang lain, kamu ingin terlihat lebih macho, feminim, atau glamor. Di satu stel yang lain kmu mungkin malah ingin terlihat bebas, dengan kaos oblong saja, dengan celana pendek yang nyaman. Yang mana yang me-intepretasikan kamu yang sebenar-benarnya?
Sadarkah, kita memiliki banyak “jubah” dalam keseharian?
Ku rasa itu tak salah. Setiap dari kita merasa harus terlihat “baik-baik” saja. Ada banyak ruang dalam hidupmu. Bersama keluarga, bersama teman sejawat, bersama sahabat baikmu, kekasihmu, dan banyak lagi. Tidak semua ruang membutuhkanmu dengan jubah yang sama. Mereka menuntutmu hadir sebagai kamu yang mereka inginkan.
Dan kamu memilih menempatkan kamu yang mereka inginkan!karena bagi mu, jubah-jubah itu menyelamatkanmu untuk terlihat baik. Minimal “normal” di mata pemakain jubah yang sama. Tidak ada yang ingin terlihat aneh dalam keterpurukan! Tak berguna menjadi bahan cemooh dan ejekan.

Aku mencoba paham atas pilihannya. Ku pikir sama saja dengan ku. Diantara persimpangan jalan, terkadang kita diharuskan memilih arah yang harus ditempuh. Ketika berbelanja, kita terbiasa memilih-milih produk yang terbaik untuk kita beli. Ya, tergantung juga kemampuan dan kesediaan kita. Di kehidupan yang nyata, memilih dan menjalani pilihan tidak sesederhana berbelanja. Kadang, hidup dengan masa lalu atau kesalahan yang terus-terusan menjadi beban di bahu tentu tak nyaman. Dan kadang kita memilih untuk tidak menjadikannya beban dengan berpura-pura beban itu tidak ada. Sering bukan? Kita berpura-pura tidak sedang merasa sedih ketika sedih, tidak terlihat malu ketika sebenarnya kita malu, berusaha berani ketika ketakutan, berusaha bertindak bersih walaupun sedang kotor-kotornya.
Aku sedang tidak berbicara tentang moral. Itu memuakkan!

Aku bicara tentang lina yang menjadi lina yang tidak dikenali oleh dirinya sendiri. Lina yang sebenarnya lina yang nyaman ketika dia tidak menjadi dirinya. Dia bisa bercinta dengan empat pria dalam satu hari dan bertemu dengan pacarnya di esok harinya, tanpa harus terbeban dengan rasa salah yang tidak menjadi kesalahan baginya. Lina yang suka menikmati gairahnya yang mengebu-gebu, menuntaskannya semalaman suntuk dengan pria yang bukan siapa-siapa dalam terminologi sosial masyarakat. Merdeka dalam pilihan!Dan itu nikmat sekali!
Betapa bercinta membuat dia semakin fresh! Bentuk kebebasan menuntaskan keinginan. Apa yang dilakukan dan dicari oleh lebih 7 manusia miliiar di planet ini kalau bukan menunaikan keinginan dan merasa nyaman?Lalu, mengapa harus ragu untuk terus mencari kenikmatan itu?

Lina adalah lina yang tak mau di kenali oleh ruang manapun dalam ruang yang ada dalam hidupnya. Menjadi dia yang ada di ruang sendiri tanpa harus terintimidasi. Seperti dia yang ada di depanku saat ini. Dia yang bukan dia di depan keluarganya, teman-temannya, dan ruang lain di hidupnya. Ini lina yang tak pernah ada di manapun. Hanya aku dan dia. Aku menikmati ceritanya diantara tegukan beer. Sudah banyak botol yang kita habiskan. Aku di buai dengan sensasi yang dia hadirkan. Dia memang inspiratif!sangat inspiratif!aku membayangkan kisahnya tentang bercinta dalam tarian yang eksotik, dia, bergerak dalam gemulai yang menggoda. Sensual dalam mimik dan desah. Memacu keringat.berkejaran dalam detak jantuk dan nafas!

Berkali-kali aku di kisahkan tentang fantasinya. Menikmati coklat dengan cara yang berbeda, melumurkannya di tubuhnya dan memakannya dengan lahap, bergumul di ketinggian gedung pencakar langit, beradu bibir di celah keramaian aktivitas kerja, bercinta di lift, bergelutkan keringat diatas meja kantor atau telanjang dalam gairah di tengah pantai yang sepi.
Dia selalu antusias membicarakan kisah-kisahnya dan aku yang terasuki obsesi tentangnya!

Dia berkata, mari kita bercinta. Dan kita bercinta. Dalam detik-detik yang alamiah berlalu, dalam suasana sederhana, dalam sedalam-dalamnya hentakan. Gairah itu seperti air yang berkumpul sedkit-demi sedikit. Seperti air hujan yang tertampung oleh sungai. Mengalir semakin banyak dan deras. Semakin deras dan deras sekali. Lalu jatuh dalam jurang dari ketinggian yang sangat tinggi. Bersamaan. Sangat kencang. Seperti air terjun.
Aku mengenal gairahnya. Gairah yang akan membawa siapa saja rela terjun bersama. Menuntaskan rasa demi rasa. Denyut demi denyut. Desah demi desah. Pancuan nafas yang semakin kencang. Dia basah seperti aku basah. Ketika ku sadar, dia memang selalu basah. Pada akhirnya, dia tak merasa basah tapi aku sudah menganggapnya seperti air. Mengalir, dan memang berwujudkan cair.

Dia menatap dengan sayu. Tak ada sesal dan rasa salah. Dia lebih bahagia dari sebelumnya.
Aku baru saja berkenalan dengan dia yang lain. Semakin dekat dengan dia yang sebenarnya. Yang tak ingin dia pahami. Dan tak butuh ku pahami.
Setelah ini, apalagi yang ingin kau tunjukkan padaku?
Kamu yang seperti apa lagi yang bisa kau tampilkan?

Aku tak akan menjadi seperti orang lain untukmu. Kita pun tak akan terpahami oleh kita sendiri.
Sudahlah..kita hanya butuh bercinta. Itu menemukan kita kembali. Kita yang kita tidak kenali.

Jumat, 18 Februari 2011

Kita memang tak perlu membuat rencana


Sebulan yang lalu, dalam ketidakmengertian aku menerima telpon darinya. Dia menangis, hanya menangis. Tidak berkata. Hanya isak tangis. Terdengar pelan tapi ku bisa merasa sesak yang dia rasa. Aku tak tau dia dimana. Ku hanya tau dia sedih. Perlahan aku mengerti, dia hanya butuh membagi sesak itu. Dia Cuma ingin aku temaninya menangis. Mengucapkan terimakasih setelah merasa sesak itu mereda, dak tak pernah mengabari lagi. Tapi dia meninggalkan kisah.

Sepanjang ingatan dan pikiranku, wanita memang tak terjelaskan. Mungkin tuhan menciptakan wanita untuk terus menjadi pikiran laki-laki yang tak kunjung selesai bisa di pahami.

Kita tak perlu bicara. Hanya cukup saling mengerti.
Ku rasa memang begitu. Di dunia ini banyak hal yang memang tidak bisa di jelaskan. Kadang, sering kali anomali-anomali adalah fakta.
Setidaknya bisa dimengerti oleh kapasitas otak kita.
Sama seperti aku dan dia. Dia datang tanpa perlu menyusun rencana. Menemuiku ketika memang itu adalah waktunya. Seperti apapun waktu itu. Tanpa ukuran kuantitas dan kualitas dunia. Bisa 10 menit ukuran waktu, bisa lebih atau kurang dari itu. Bisa menikmati kehangatan senyumnya atau hanya mengisahkan 10 kata saja. Apaupun itu kita menikmati waktu tanpa rencana. Mungkin benar, rencana terbaik adalah tanpa rencana.
Tiba saat menguraikan kisah, justru itu yang memakan waktu. Seperti prasasti kuno dalam hidupku. Dalam literatur sejarah prasasti biasanya mencitrakan catatan peristiwa atau pengumuman di suatu waktu. dan sejarah dalam hidupku, dia adalah prasasti itu. Meski prasasti itu tersembunyi dan tak mudah terlihat bagi banyak orang, tapi dia adalah catatan peristiwa dan pengumuman dalam hidupku. Meski hanya mencatatkan gelisah dan pencarian. Meski hanya mengumumkan kegagalan dalam pencapaianku.

Kita memang tak perlu menyusun rencana. Seperti kita yang tak harus mendefinisikan kita ini seperti apa. Tak perlu.
Hanya saja, ketika kau tak ada, justru aku yang butuh waktu dan energi menguraikanmu dalam hati. Seperti waktu yang ku habiskan untuk menemukan sisa rambutmu yang tertinggal di tempat tidurku.
Aku mengingatmu.selalu mengingatmu. Gairah itu, kebimbangan itu, dan masa depan yang selalu menantang dan menyisakan kita sebagai petarung.

Semoga kau masih menjadi sesuatu yang tanpa rencana.
Dan berharap waktu mempertemukan kita dalam “rencana” nya.

Senin, 07 Februari 2011

Kesadaran masalalu


Pernah merasa bimbang?
Seperti berdiri di persimpangan jalan yang padat, memaksamu untuk segera mengambil langkah yang cepat. Di jalanan yang ramai, berhenti pun adalah salah. Kau akan jadi bulan-bulanan kemarahan orang disekitarmu. Di depan, di belakang mungkin disamping kiri dan kanan. Hidup memang selalu bersinggungan dengan orang lain. Banyak orang. Ketika semua berjalan lancar, itu akan dianggap sebagai keseimbangan. Seperti titik equilibrium dari demand and suply. Meski kau tahu, tak ada yang benar-benar seimbang. Apakah kau tahu keseimbanganmu dalam banyak pilihan dan singgungan yang kau sendiri tak tahu seberapa banyak kau bersinggungan dengan banyak pihak dalam hidupmu? dan seberapa besar efek gesekan dari singgungan itu?
Kadang tak penting itu seimbang atau tidak. Bagiku yang terpenting adalah bertahan dan tetap ada. Tapi itu memang tak mudah. Seperti saat ini. Berdiri dalam ketegangan di depan persimpangan yang memiliki banyak cabang. Ramai hiruk pikuk para ahli membicarakan prospek tapi lebih mirip bergosip tentang rumor..dan aku semakin ketakutan. Ketika menoleh kebelakang, masa lalu seperti hantu dalam wajah yang menakutkan!

Wajah- wajah masa lalu mengepung punggungku. Sudah lama mereka disana tapi baru kali ini terasa mengintimidasi. Ya..sekian lama tidak melakukan apa –apa. Hanya menikmati kesendirian dan ketidakmampuan. Mungkin kurang tepat dibilang menikmati. Bagiku kadang ini adalah keterpaksaan dalam keterbatasan. Seperti menghirup teh hangat yang tak lagi hangat. Seperti datang ke sebuah pesta yang sudah berakhir satu jam yang lalu. Terlambat. Kehilangan kenikmatan yang seharus ada.
Wajah- wajah itu masih memandangku. Ekspresi –ekspresi yang kesemuanya tak ada mimik bahagia. Hanya marah, tersiksa, kesedihan, tangis, murung, nelangsa, orang – orang yang dikalahkan. Mungkin mereka sama dengan kisah sepertiga manusia di planet ini yang hidup dalam kemiskinan. Mereka adalah wajah-wajah yang hidup dengan sisa-sisa kekalahan itu. Aku bisa membayangkan, apa menariknya hidup dalam sisa nafas mereka.
Kalau setiap manusia hidup dengan modal masing-masing dari pemiliknya, dan di beri kebebasan untuk memanfaatkan modal itu dalam dunia yang seperti pasar pilihan ini, inilah mereka dengan pilihannya. Mereka tak lagi memegang modal yang liquid untuk digunakan. Sunk cost. Hanya ada sisa kekalahan. Meski seperti hutang yang membebani kebanyakan negara ketiga sehingga terus-terusan susah berdiri, tapi sisa kekalahan inilah yang membunuh dengan perlahan. Tidak secepat kanker ganas, tapi lebih terasa menyiksa secara sistemik dan fundamental seperti krisis moneter dunia.

Aku pernah larut dalam waktu, merunut kebelakang untuk menemukan inti kebimbangan ini. Tidak ada pemahaman tentang kebimbangan ini tanpa memiliki kesadaran tentang latarbelakangnya. Berharap ini adalah siklus surprise – wonder – admiration nya Smith seperti di History of Astronomy. Kalau saja dia masih hidup, aku mau berdebat tentang siklus itu padanya. Aku berkali-kali surprise, dan wondering tanpa bisa bertemu admiration dan menjadi tranquility di dalam diri. Hanya discomfort di ujung kebimbangan.
Aku tahu, setiap kebimbangan berpotensi pada pencapaian. Di dalam hidup siapa yang tak mencari pencapaian itu? ku rasa semua orang akan melakukan hal yang sama dalam hidup. Mencari hubungan antar variabel dalam hidupnya, menghitung seberapa besar variabel itu secara parsial atau bersama-sama mempengaruhi hidupnya. Meski tak semua paham, jenis persamaan apa yang tepat untuk setiap masalahnya.
Karena setiap orang tak akan sama dalam dunia yang serupa medan perang dimana kamu dan aku adalah pelakunya, sekaligus penjual dan pembeli dalam pasar besar ini.

Dalam pandangan purba ku, hidup memang tak akan adil. Karena setiap orang tidak lahir dalam bentuk yang sama (secara harfiah dan kiasan), dan setiap orang akan membutuhkan dunianya sendiri. Bagi mereka yang memiliki kemapanan (lagi-lagi secara harfiah dan kiasan) dalam spesialisasi yang dihadirkan dunia, mereka lah yang terbukti (minimal menurut sejarah) paling potensial membentuk “modal” untuk hidup. Yang paling mendapat untuk dari invisble hand nya dunia. Mau digunakan untuk apapun, bentuk kemapanan mereka selalu menjadi modal bagi mereka untuk selalu berdiri di atas panggung. Kata jean baptiste say; “supply creates its own demand”. Kemarin, hari ini dan besok, di mata mereka, dunia adalah petualangan. Menantang dan menyenangkan. Apapun akan menjadi roman yang untuk dikenang. Tak akan hilang gunung dikejar. Kemenangan sudah digariskan.
Sementara sebagian orang yang cenderung tidak mapan dan hanya bicara hidup atas upah, sudah seharusnya tak percaya tentang distribusi yang keadilan. Itu adalah utopisme.
Sadarlah..dunia dan hidup ini masih tentang bertarung dan bertahan hidup. Aku hidup dan tumbuh dalam ketidakmapanan, secara psikologi, idealisme, dan akses terhadap modal. Jangan takut,aku bersama kalian!

Kita akan menjadi orang yang optimis. Jangan salah! Betapa sering pun aku memakai kacamata pesimisme ini, aku tahu aku masih selalu terbakar optimisme. Banyak hal di hidup kita yang menjadi obat semangat kan? Aku tergugah oleh kata adrea hirata yang bilang “orang seperti kita tak ada artinya tanpa bermimpi”. Mimpi yang jadi amunisi sekaligus bahan bakar besar untuk tetap ada. Minimal bertahan hidup dari segala benturan-benturan yang mengetarkan. Melawan keterbatasan dengan sedikit kemungkinan dan tidak menyerah sampai kesedihan berhenti. Indah bukan?
Sesekali boleh kok menggunakan obat penambah stamina, bahkan pemicu sejenis stimulus peningkat kinerja. Meski itu adalah semu. Bukan hakikat dari pencapaianmu. Karena itu sebenarnya tak akan membantu. Hanya di permukaan. Seperti kebijakan moneter negara di bidang usaha informal, buble di pertumbuhan ekonomi tapi jauh dari peningkatan kesejahteraan. Seperti viagra yang membuatmu seperti kuda, tapi itu bukan kamu lalu setelah selesai, menjadikanmu keledai lagi.
Tapi tak apalah kalau membuatmu merasa baik untuk sesaat. Seperti aku yang selalu tidur diantara patung replika ganesha dan budha yang ku tugaskan melindungi. Agar sedikit tenang dan merasa damai.
Setelah beberapa waktu, aku berpikir menyingkirkan mereka.

Menjadilah diri sendiri. Meski berisiko dan sangat tidak enak. Tapi bicara tentang pencapaian, inilah jalannya. Aku sedang di titik resiko dan perasaan tidak enak. Di titik ketidaktahuan dan ketakutan. Di saku ku hanya ada masa lalu yang menjadi modal. Sebagian sudah menjadi sunk cost, sebagian lagi lembaran saham yang belum bisa di uangkan.
“High risk high return” kawan?

Tapi siapa yang siap kehilangan dan menderita?