Senin, 05 September 2011

tanda bahaya


Anggaplah hidup ini seperti hiruk-pikuk ramainya jalanan. kita adalah salah satu pengendara di jalanan yang padat. Bercampur dengan para pengendara lain, dengan berbagai kendaraan yang ditumpangi pada tujuan masing-masing yang tak sama. Sesekali bersinggungan, berderetan pada jalur yang sama, berhenti pada pemberhentian yang sama, atau terjebak di trafiklight yang sama. Tak ada ketergantungan kuat antara satu dengan yang lain. Hanya saling menghargai sebagai sesama pemakai jalan demi terjaminnya kelancaran perjalanan kita. Semua terikat pada aturan main yang ada di jalan. Suka tidak suka, harus tunduk pada pengaturan yang ada. Peraturan jalan, rambu peringatan, polisi lalu lintas, agar semua tetap stabil.
Stabilitas. Dalam banyak ranah, stabilitas adalah utama. Negara ini pernah di hantui oleh pengalaman buruk otoritas negara tentang kata “stabilitas” yang bermakna tegas menindak aktivitas yang mengancam ke “stabilitas”an. Di ranah ekonomi, betapa ketidakpastian kurs juga kebijakan makro, mengancam kepentingan usahawan untuk bangkrut dan jatuh miskin. Stabilitas dibutuhkan semua bidang juga semua orang. Seperti keseimbangan penawaran dan permintaan pada kurva yang menentukan harga. Meresap pada pikiran individu, membentuk sistem tersendiri dalam diri untuk mencari sesuatu yang stabil dan menciptakan ke stabil-an itu sebagai sebuah sistem pertahanan diri. Lumrah, semua orang wajib merasa aman dari resiko, singgungan yang merusak, dan lain-lain.
Dalam pandangan individu yang bebas dan otonom, stabilitas diri membutuhkan banyak fasilitas pendukung. Kedekatan informasi untuk di olah dalam bersikap, bergaining power, perencanaan yang matang, serta senjata; berupa analisa cermat. Homo homini lupus. Peradaban ini tak merubah wajah dunia. Manusia yang satu tetap menjadi serigala bagi manusia yang lain. Stabilitas secara makro adalah keadaan yang menjamin kepentingan individu secara mayor terpelihara. Kaum minor seperti para splinter, adalah bahaya bagi mainstream!
Logika untuk berjaga-jaga mempertahan kondisi yang stabil dari ketidakpastian yang meningkat, melahirkan indikator kewaspadaan. Sebuah tanda bahaya muncul sebagai peringatan. Seperti lampu mercusuar pantai yang mengabarkan tanda, seperti rambu tanjakan untuk pengendara jalan menganti persneling. Tak berhenti sampai disitu, di kehidupan yang semakin dekat dengan keleluasaan informasi, bertuhankan ilmu pengetahuan, banyak peringatan lahir sebagai kebutuhan baru. Masyarakat sosial baru ini, butuh tingkat kestabilan yang semakin detail dan pasti. Mulai dari ramalan cuaca tiap jam, informasi jalur macet, sampai kadar zat kimia dalam kosmetik. Tak apa, itu pun baik. Hanya terkadang terasa kebangetan ketika pola konsumsi dan kewaspadaan terhadap tingkat kestabilitasan konsumsi juga diterjemahkan pada kehidupan sosial. Masyarakat mengkonsumsi tanda bahaya yang terasa terlalu berlebihan. Indikator pergaulan dibutuhkan untuk menjamin mereka bergaul dengan efektif dan tak berisiko. Diperlukan data personal seperti latar belakang keluarga, tingkat pendapatan, pendidikan, kecenderungan konsumsi, sampai kesamaan orientasi. Tanpa sadar, ini menjadikannya berkelompok-kelompok dan elitis. Penilaian pun terkooptasi semakin sempit. Pada harus dan tidak harus berbuat dengan tingkat indikator yang semakin efektif dan efisien yang ditetapkan sendiri. Apa perlu merasa indikator untuk menolong orang lain? Apa perlu para gelandangan dan pengemis jalanan jakarta diberi tanda peringatan “orang yang layak di beri sumbangan”? sampai seorang yang pernah di penjara terasa memakai baju dengan tulisan “mantan penjahat” karena tanda bahaya yang sudah di tempelkan pada dirinya lalu semua orang merasa berhak menatap sinis dan waspada terhadapnya. Seperti kaum yang dituduh komunis di paruh tahun 70an. Mereka lebih ditakuti dan dijauhi dari pada anjing liar.
Sulit memang.. setiap orang berhak merasa aman dan waspada terhadap apapun. Tapi bukan berarti harus menjadi panaroid dan berprasangka buruk bukan? Hidup ini terlalu pendek dijalani dengan ketakutan-ketakutan. Apalagi ketakutan yang salah kaprah.

Sabtu, 03 September 2011

Lelaki yang memiliki dan dimiliki kampungku


Namanya ferry.
Banyak orang mengingatnya dengan beragam ingatan. Seperti juga aku yang mengingatnya dengan ingatan tersendiri.
Ini adalah kisah tentang dia.
Sebuah kisah tentang hidup yang tak pernah tertebak.

Temanku lahir di tengah-tengah ketidakmapanan, kesemerawutan sosial yang timpang. Bapaknya seorang buruh pabrik lepas di perusahaan timah yang sewaktu itu adalah raksasa pemakan segala. Sangat berkuasa dan berpengaruh di paruh waktu 80-an. Perusahaan timah pada waktu itu adalah gurita yang mencengkram pulau. Tak ada yang bisa luput darinya. Secara makro-mikro. Dari usaha hulu ke hilir, dari besar ke kecil, bentuk produksi ekonomi di dominasi perusahaan timah. Penduduk pulau ini, adalah hambanya. Dari sekolah TK sampai panti asuhan. Dari toko kelontong yang dibina oleh perusahan, sampai pemain bola voly yang di subsidi. Tak ada yang tak punya ketergantungan terhadapnya. Untuk sebagian kecil orang, perusahaan adalah dewa pelindung yang baik hati. Seperti dewi Sri bagi petani di tanah jawa, mereka menyembah perusahaan dan meletakkan perusahaan diatas segalanya.
Yang di sayang si dewa pelindung, hidup dengan sentosa, sementara bagi mereka yang tak mendapat belas kasih si dewa, hidup bagai kasta terendah dalam pembagian golongan masyarakat hindu. Menjadi buruh parit yang menambang pasir setiap hari, atau buruh pabrik yang berteman panas api pembakaran timah. Cepat tua, pemarah dan sakit-sakitan.

Ibunya wanita santun. Tapi lemah seperti kembang putri malu. Kau sentuh sedikit saja akan hilang kuncupnya. Seperti kelahiran temanku, anak terakhir yang menuntut konsekwensi kematian ibunya.
Temanku dibesarkan dalam keluarga miskin dan cacat pula. Sang ayah yang pendiam dan pemarah. Hanya mampu menunjukan perhatian dengan larangan dan amarah. Dia tak sendirian. Dia memiliki lima saudara. Dua lahir dengan keterbelakangan pemikiran, tak mampu bertahan hidup dalam waktu lama di dunia yang terlalu menempatkan kecepatan berpikir daripada kejernihan hati. Satu lagi saudara laki-lakinya bertranformasi menjadi perempuan ketika aku SMA. Terakhir ku dengar kabar dia meninggal, masih dengan atribut transformasi ke-perempuan-annya.
Tinggal dua saudaranya sekarang, satu istri rumah tangga biasa, satu lagi karyawan kebun sawit. Tapi sejak ayahnya meninggal, dia memilih tinggal sendiri.
Sejak kecil, ferry terlihat berbeda dengan yang lain. Orang sekampung tahu, dia selalu bertingkah kekanak-kanakan. Sebagian selalu memaklumi itu. Dia besar tanpa kasih sayang ibu. Tanpa cara perhatian ayah yang tepat. Saudara-saudaranya pun tak mampu berikan itu padanya. Selalu inginkan diperhatikan, dimanja, walau terkesan konyol dan menjadi olok-olokan orang. Hanya saja, kualitas kekanak-kanakannya meningkat seiring dia tumbuh dewasa. Dia hanya sempat sekolah sampai di kelas 3 SD ketika pihak sekolah terpaksa mengeluarkannya karena tak lagi mampu mentoleran tindakan anarkis ferry yang melempari guru matematika dengan batu hingga pingsan. belakangan kami paham, pak guru itu pernah membentak lalu memukulnya. Pak guru itu salah memilih lawan. Ferry pernah membakar rumahnya yang dianggap menyimpan kesedihan, Mengali kuburan belanda yang angker di dekat kampungku, pendam-pendam cina di kampung sebelah, dan beragam keluarbiasaan ferry yang tentu saja tak selalu mampu dimaklumi orang sekampung. Kampungku yang berdekatan dengan pasar, terminal angkutan, pelabuhan bongkar muat beserta atribut kriminalitas lokal kota kecil akhirnya me infeksi ferry. Sangat logis, ferry yang sangat mudah terpengaruh akhirnya bertemankan para brandalan pasar. Resedivis dan bromocoran kelas kampung. Terkadang terlihat dia ikut dalam proyek maling kecil-kecilan. Dari maling hasil kebun tetangga, sampai ke penodongan. Sejak itu, dia memiliki nama belakang. Ferry si ”maling”, sebagai tradisi orang melayu untuk membedakan dia dengan nama ferry-ferry yang laen.
Bisa ditebak, keluarbiasaan ferry semakin fenomenal dari hari ke hari. Dia sudah terbiasa mabuk-mabukan. Pelariannya dalam ketidak dewasaan kasih dan kepedulian dari orang terdekat. Menambah satu lagi nama belakangnya. Ferry si ”pemabuk”. Ketika mabuk, ramailah kampungku dengan kelakuannya. Dia akan bernyanyi dengan berisik bersama nada gitar yang tak tentu arah. Tak perduli malam hari. Terkadang, jadilah dia bulan-bulanan para lelaki kampungku. Di gebukin sampai babak-belur. Tapi ferry semakin eksis!
Ketika ku SMA, kampungku pernah dihebohkan dengan kabar ferry yang pergi merantau. Dijual semua yang dia punya, serta ditambah dengan hasil dia menguras kebun-kebun orang di kampung. Di pergi ke jawa. Satu tujuan yang dia inginkan; menemui Nike Ardilla!
Tak berlangsung lama, tak sampai setahun dia kembali ke kampungku. Tak ada kisah yang bisa ditelusuri dari perjalanan rantaunya. Tapi dibayanganku, ku yakin tetap fenomenal.

Ferry kembali pada kebiasaannya. Pada profesi minornya. Tapi kali ini dia bersolo karir. Jadilah dia pencuri serabutan. Dari panci dapur yang lupa di masukan, mesin pompa air sumur, ayam jago, dan segala rupa. Di kampung sebelah, nama ferry sama terkenalnya dengan nama calon anggota legislatif yang sedang berkampanye. Tapi bukan untuk dipilih mereka, justru malah dicari dan digebukin. Beruntung ferry tak memilih aksi menjadi anggota legislatif saat itu. Karena akan mudah untuk orang-orang mendapatkannya.
Dalam tahun –tahun berikutnya, dia menjadi rutin menghuni penjara. Nama yang lebih manusiawi; lembaga permasyarakatan. Tapi ternyata belum juga memasyarakat kan ferry ke dalam masyarakatnya. Apa penjara bisa memberikan kasih sayang dan mengobati orang sakit hati? Pukulan serta hinaan, caci maki justru membentuknya semakin keras. Keras hati dan pikiran. Bengkok sebengkok-bengkoknya. Semakin menyimpang dari perangai umum, menempatkannya seperti sampah dalam masyarakat. Orang-orang di kampungku melihatnya sebagai perusak nama baik kampung, tanpa mereka sadar tatapan sinis itulah yang memicu perangai ferry semakin buruk. Dia hanya butuh dipedulikan dan lingkungannya menyakitinya.

Lebih dari 4 tahun ku tak lagi mengetahui kabar dan perkembangannya. Aku pergi ke luar kota. Sampai lebaran tahun ini, ku pulang kampung. Beberapa hari yang lalu, ku lihat dia dipinggir jalan. Menenteng karung besar.
Pada malam hari, ku bertanya ke pada mamakku tentang ferry. Dari cerita mamak, ferry pernah masuk ke rumah sakit jiwa. Setelah keluar dari sana, dia terlihat bersih dan gemukan serta dengan satu kelakuan baru yang mengejutkan. Entah apa dan bagaimana dunia merubahnya, mungkin ada sosok seperti madam Theressa yang mengasihi dan membasuh lukanya di rumah sakit itu,sejak itu ferry jadi orang yang lebih ramah. Semua perempuan tua di kampung ini dipanggilnya ”Nyai”. Selalu meminta maaf pada para tetua ketika berpapasan. Mencium tangan! Terkadang, di jumpai ferry duduk terpekur di surau kami. Membantu memetik buah kelapa atau hasil kebun lain, dan menyerahkannya tanpa mau dibayar! Orang kampung bingung dibuatnya. Pernah suatu ketika, dia datang ke rumahku. Bercerita kepada mamakku dia ingin pergi berlayar. Dia bilang, harus punya KTP untuk itu. Tapi dia tak punya uang sama sekali. Di beri uang oleh mamakku, dan beberapa hari kemudian dia datang menunjukkan KTP atas namanya. Berterimakasih dan akan mengabarkan kalau dia nanti berangkat berlayar. Tapi dia kunjung pergi berlayar. Mungkin masih ragu kapten kapal membawanya. Setidaknya, dia menunjukan bahwa dia bersungguh-sungguh dan bisa dipercaya oleh mamakku.
Ferry juga membuat terkejut para cukong cina di pasar. Kegiatannya sehari-hari adalah berkeliaran di pasar. Menawarkan tenaganya untuk diperkerjakan secara serabutan. Kadang, dia membantu mengupas kelapa, kadang di toko kelontong milik cina dan hal yang membuat binggung para cukong cina itu, ferry tak mau dibayar dengan standar upah minimum pekerja serabutan pasar. Dia hanya mau menerima sepertiga dari yang dibayarkan. Katanya, hanya sebesar itu yang di butuhkan dan layak dia terima. Tak membutuhkan lebih dari itu. Orang cina tak kenal perangai seperti itu tapi dengan senang hati terus memperkerjakan ferry disitu.
Perubahan ini terlalu dramatis untuk orang melayu kampung seperti kami. Semua orang di kampung ini tiba-tiba merasa tersentuh, dan memiliki orang unik ini. Anak lelaki yang sudah memperbaiki tingkahnya, polos, hidup sebatangkara, tanpa pekerjaan layak, dengan segala keterbatasan. Tetangga-tetangga mulai sering memperhatikan dia, memberi beras dan lauk-pauk, pakaian bekas, uang atau sekedar berniat menawarkannya makan bersama kalau dia kebetulan lewat di depan rumah. Tapi selalu ditolak olehnya. Dia hanya mau makan dari uang keringatnya. Satu kampung dibuat sedih dalam haru.

Dua hari pasca lebaran, tanpa sengaja ku temui dia di belakang rumah. Sibuk memilih-milih sampah, mengambil sisa kaleng bekas. Ku sapa dia. Ramah dia membalasnya. Ku ulurkan tangan sambil berkata, ”minal aidin, bang..masih lebaran kan hari ini?”
“Wah, dek.. maafkan saya. Tahun ini saya tidak bisa lebaran. Puasa pun tidak. Maklum, sering sakit-sakitan badan ini. Pikiranpun ikut tak jernih. Tak berani saya berpuasa. Tahun depan lah ya kita bersilahturahmi. Mudah-mudahan masih diberi kesempatan.”
Aku tertegun. Jawabannya terlalu hebat untuk ferry yang pernah ku kenal. ”kalau begitu naik lah dulu ke rumah bang.. makanlah dulu bersama kita”..
”Saya sedang berkotor-kotor ini. Di laen waktu lah,dek.. inilah sambilan saya. Kaleng-kaleng ini lumayan untuk dijual. Seribu lima ratus satu kilo. Buat makan saya hari ini.” sambil senyum lalu sibuk lagi memilih kaleng di tempat sampah.
Aku kehabisan kata..refleks ku ingat ada uang lima puluh ribu di kantongku. Ku sampaikan kepadanya, ”untuk beli rokok,bang”.
”..Ah, lebih baik kau berikan pada yang benar-benar membutuhkan. Saya masih bisa mengkais rejeki. Seperti ini. Atau, besok kan hari jum at. Masukkan saja ke kotak amal waktu sholat jum at. Jangan kasihkan ke saya. Tak benar-benar saya membutuhkan.”
dia tersenyum lagi, lalu berlalu sambil bersenandung kecil. Meninggalkanku yang kebingungan dengan sikapnya. Betap hati yang berubah, bisa menyisakan warna-warna indah. Aku larut dalam keharuan.
Rupanya seperti ini juga orang sekampung dibuatnya bingung. Ku berpikir ferry tak benar-benar berubah. Dia masih menyisakan ferry yang pernah kami kenal. Selalu membuat keluarbiasaan dengan caranya yag polos dan sederhana. Hanya saja, kali ini dia tak lagi membuat kami kesal dan mencacinya. Sebaliknya, rasa haru dan peduli yang dulu dia inginkan sejak kecil.
Tak diragukan, kau sudah memiliki dan dimiliki kampung ini, kawan..

Lebaran dan budaya alay


Dari hasil kajianku yang singkat (sangat singkat, Cuma merenung dalam 5 menit), kadar analisa yang lemah (tanpa kawan sharing, literatur dan data pendukung yan lengkap) dan kondisi kekenyangan makan opor daging habis sholat Ied, ku putuskan menulis ini, jadi maafkan jika terasa kurang akademis..

30 tahun menghadapi hajatan nasional bernama lebaran, belum juga merasa cukup memahami resepsi akbar yang satu ini. Diakui ataupun tidak, menjadi orang Indonesia, tak akan asing dengan lebaran. Lebaran adalah milik semua orang yang hidup, besar dan ber KTP Indonesia. Kemarin, lebih dari 20an lebih SMS masuk ke inbox, justru dari teman-teman non muslim yang mengucapkan selamat idul fitri, dan status di FB juga BBM teman-teman itu juga bernada sama. Implisit, menjadi orang indonesia, muslim atau non muslim pun ternyata menikmati lebaran dengan cara mereka masing-masing. Kalau mau melihat akulturasi dan keberagaman yang saling menghargai, inilah momentnya. Ketika lebaran menjadi hajatan nasional begini, sudah wajar moment ini menjelma menjadi kesatuan prilaku individu yang menarik. Bayangkan, budaya mudik lebaran adalah hal wajar. Tiba-tiba jakarta menjadi lengang dalam beberapa hari. Kehilangan kaum migran urbannya yang bergelombang pulang kampung. Berkat lebaran, pemimpin otoritas otonom kota-kota besar seperti jakarta, surabaya dan lainnya tak lagi perlu bersusah-susah me kampanye kan kotanya, sebab para kaum migran yang mudik adalah agen sosialisasi yang paling paten mengkabarkan kota-kota yang menjadi tempatnya mencari uang dengan efektif, dan gratis!lonjakan pengunjung kota besar pasti dimulai pasca lebaran. Desa akan semakin sepi dan kota semakin padat.
Prilaku konsumsi lebaran, bisa di urut dari hal besar sampai remeh temeh. Dari biaya tranportasi mudik, sampai produksi manisan yang mengalami peningkatan permintaan. Menjelang lebaran, hampir semua toko pakaian mengalami lonjakan pendapatan. Pasar tradisional ramai dengan pembeli bahan makanan yang butuh memasak lebih dari biasanya. Sirkulasi uang beredar naik berlipat-lipat dari kondisi biasa. Dalam jangka pendek secara makro perekonomian nasional naik berbarengan dengan inflasi yang juga merangkak mulus.
Hanya saja hidup di republik yang sudah 66 tahun merdeka ini, tidak serta merta memudahkan hal-hal bersifat publik seperti hajatan akbar ini. Dalam ranah ekonomi, dari sejak Adam Smith bicara tentang invisible hand; harga di tentukan oleh permintaan dan penjualan. Semakin banyak permintaan tanpa di barengi oleh ketersediaan barang yang cukup akan berkorelasi dengan kenaikan harga. Sedikit demi sedikit terus meningkat. Dalam bahasa yang gampang; menjadi mahal. Kecenderungan paling buruk dari kondisi tersebut adalah monopoli. Mari kita lihat satu persatu jenis ”konsumsi lebaran”. Apa ada yang tidak mengalami kenaikan harga? Tiket pesawat, naik 2 sampai 3 kali lipat! Tiket bis, kereta bahkan ojek pun berimbas (baik legal atau prilaku calo) menjadi naik. Bahan baku makanan, pakaian, semuanya serupa. Di pelajaran terdahulu yang luhur (baca:ideal) ketika invisible hand berkecenderungan akan merucut pada monopoli dan merugikan kepentingan umum, sudah seharusnya ada visible hand seperti kritik Marx terhadap Smith. Negara sebagai penguasa mutlak kehidupan bermasyarakat lah yang menjadi visble hand. Mengatur, menjamin hal-hal yang berupa kegagalan pasar tersebut mampu tersedia, menyediakannya untuk dinikmati orang-orang sebagai konsekwensi melindungi kebutuhan warga negara. Eksternalitas negatif dari pasar seperti monopoli, infrastuktur publik, keamanan adalah hal-hal umum yang menjadi pelayanan utama. Rumit memang, jangan mengatasi monopoli harga tiket pesawat, melansir liputan Kompas hari selasa tanggal 30 agustus 2011, tentang himbauan kementerian komunikasi pemerintah republik ini untuk jangan terlalu masif mengirimkan SMS dan BBM, menurut saya sangat unik. Di perkirakan ada 2 milyar sms dan 2,5 milyar menit percakapan yang terjadi diantara H-1 sampai H+1 lebaran. Dengan kondisi itu, mutlak akan terjadi kemacetan trafik. Sms akan pending dan melakukan panggilan telpon akan sulit. Pengguna hanphone di indonesia, dihimbau untuk tidak ber Sms dengan masif dan mengunakan layanan internet seperlunya saja. LOL!! Lagi-lagi konsumen yang di minta memaklumi serta membatasi prilaku. Bukan malah menghimbau kepada para operator penyelenggara layanan untuk memperbaiki layanan trafik! Unik sekali!
Mau tidak mau, hidup di negara dengan kepemimpinan dan rasa memiliki tanggungjawab yang rendah, memaksa masyarakat hidup dengan kualitas kepastian yang juga rendah. Dari ketidak becusan pemerintah menentukan hilal, ketidakpastian kapan merayakan lebaran tahun ini paling tidak berimbas pada banyaknya ketupat yang keburu basi karena di masak 2 hari sebelum hari H nya. Bisa dipastikan, karena sudah terlanjur masak besar di tanggal 29 agustus, lauk sahur mayoritas masyarakat indonesia pada tanggal 30 agustus 2011 adalah daging dan ketupat! Gara-gara hilal setitik, rusak rendang sekuali!

Aku salut untuk orang Indonesia. Yang sudah biasa maklum ini. Sekaligus bangga menjadi orang Indonesia. Perbedaan merayakan hari lebaran tetap dimaknai dengan akur dan tenggang rasa. Beberapa aliran, secara tegas tetap merayakan pada tanggal 30 agustus meski pemerintah memutuskan tanggal 31 agustus. Di negara lain, perbedaan mazhab saja, sudah biasa diwarnai dengan peledakan bom dan bunuh-bunuhan.
Hanya saja, ketidak becusan nasional ini sedikit berimbas juga pada prilaku individu yang mulai kehilangan esensi. Temanku Gandung Admaji bilang, hidup saat ini dituntut untuk lebih efisien. Ku sepakat dengannya. Hidup di era teknologi dan peradaban yang maju ini pasti mendorong pada efisiensi prilaku ekonomi dan permintaan baru yang semakin marak muncul sebagai konsekwensi hukum Say. Cuma, efesiensi tidak otomatis menjadikannya pragmatisme. Seharusnya dari sisi konsumsi, efisiensi bersanding dengan satu kata yang dekat denganya, yakni; efektifitas. Lebaran sebagai hajatan nasional yang bersumber pada tradisi islam untuk saling bersilahturahmi, konsep hablumminanass, memuncul budaya mudik. Orang berbondong pulang kampung, sungkem kepada para tetua. Para buruh migran di jakarta bahkan kadang menghabiskan uang yang dikumpulkannya dalam setahun untuk dihabiskan ber-lebaran-an di kampung. Sungguh luarbiasa! Mereka tidak bicara efesiensi untuk hal yang satu ini..efektifitas adalah utama!

Sekaligus agak risih dengan pengalaman 2 hari ini. Begitu banyak Sms. BBM, tag status, ramai datang padaku. Isinya selalu sama. Ucapan minal aidin, mohon maaf lahir batin. Kadang dengan bahasa-bahasa berlebih demi sopan santun dan keindahan redaksi. Risih, karena tiba-tiba saja kata-kata itu seperti tak bernyawa. Kehilangan esensi. Bersilahturahmi, adalah kegiatan saling menjalin persahabatan, kekeluargaan dengan cara saling berinteraksi satu dengan yang lain. SMS,BBM, FB, Twitter, adalah media yang sukses mengekspresikan interaksi secara personal untuk diketahui orang lain yang melahirkan budaya ”Alay” ketika ekspresi lebih menjadi utama dari pada esensi. Tapi ku rasa tak cukup efektif mengutarakan ketulusan yang ada sebagai nilai luhur pada budaya lebaran. Saling bertandang, menjabat tangan, menatap mata, melihat raut wajah, senyum, tawa dan airmata, lisan yang terucap secara live, kurasa tak bisa diwakili Sms,Bbm,Fb,dan lainnya. Aku tak bisa bayangkan senyum bahagia dan airmata haru mamakku tadi pagi bisa digantikan oleh sms panjang beribu karakter kata. Dia akan tetap butuh aku yang nyata, bersimpuh di depannya, meminta maaf dari mulutku sendiri.
Aku ber-empati dan salut kepada prinsip para kaum migran yang rela mudik berdesak-desakan, menghabiskan banyak uangnya, demi lebaran yang sakral. Demi ketulusan yang semakin luntur. Tak menjadi ”Alay”, tak tertular dengan pragmatisme dan konsumerism yang menjebak prilaku semakin menjadi instans. Ketulusan tak pernah instans. Selalu dibutuhkan pengorbanan untuk ketulusan.

Selamat lebaran rakyat Indonesia. Socrates sudah mengingatkan dari 500 an tahun sebelum masehi lalu;”hidup yang tak diteliti adalah hidup yang tak pantas dijalani!”

Semoga sama-sama kita bisa memperbaiki hidup.