Senin, 24 Oktober 2011

let hurt ourselves


Apakah kau memiliki benda yang paling kau sayangi? Seperti barang yang sakral bagimu, bagian dari dirimu dan menyimpan ingatan juga energi?
Aku memilikinya dan tidak hanya satu. Tanpa disadari, ku menyimpannya satu persatu. Semacam mengkoleksinya untuk kesenangan jiwa.

Benda pertama adalah selimut kumal jahitan nenekku. Selalu ada rasa tenang dengannya. Rasanya umurnya sebaya denganku. Dijahit dari kumpulan kain bekas yang tersisa dari baju, sprei, percak rumah kami yang tidak lagi terpakai. Nenekku seperti seniman. Disulapnya benda tak berguna itu menjadi selimut yang ku pakai sewaktu kecil hingga kini. Warnanya ramai sekali. Dia seperti puzle. Ada bagian yang kotak, segitiga, trapesium dan lain-lain. Kepada selimut ini aku menangis, menyembunyikan ketakutan dari ayah ketika dia marah lalu mencari untuk memukulku. Kepada selimut ini aku menceritakan rahasia kecil. Hal-hal yang akan membuat ibu membentak atau hal-hal yang membuat ayah menamparku keras.

Yang kedua adalah foto nenek. Benda yang menyimpan kenangan. Tak ada yang lebih indah dari kenangan baik bukan? Nenek adalah orang hebat. Dia tua dan renta tapi sanggup menahan derasnya bentakan ibu kepadaku. Dia tak mampu lagi membelah kayu bakar untuk kami memasak tapi mampu membentengiku dari pukulan dan gebukannya. Ketika nenek meninggal, sulit merasa bahagia. Bahagia itu adalah waktu dimana nenek mengusap rambutku dan berkata ” cah bagus, hiduplah dengan sabar dan ikhlas”. Aku tak paham maksudnya tapi ku rasa dia memintaku untuk bertahan dan tidak menangis kalau ayah dan ibu memarahiku.
Walau ku tau dia bukan nenekku tapi aku menyayanginya. Ketika aku berumur 10 tahun, aku mengerti perkataan ayah ketika aku melakukan kesalahan dan itu membuatnya marah. ” dasar anak pungut tak tau diri!”. kesalahan kecil saja, misalnya menumpahkan air minum, memecahkan gelas, minimal itulah ucapannya padaku. Lambat laun ku mengetahui kalau aku adalah bayi yang di ambil mereka dari rumah sakit. Anak pungut itu rupanya sama dengan barang yang ditemui di pinggir jalan. Menjadi milikmu dan bisa kau perbuat semaumu. Menunjukan rasa sayang dengan amarah, menjaga dengan perintah atau melindungi dengan ancaman.
Satu manusia yang bicara dengan kelembutan adalah nenek. Tanpa dia, aku merasa melalui seminggu tanpa hari minggu. Tanpa ada yang melegakan.

Benda yang ketiga adalah palang pintu depan rumah kami. Dia tak panjang. Tak sampai dua meter. Lebarnya hanya sepuluh centimeter. Dahulu, tak ada yang lebih menakutkan dari benda itu. Kalau anak-anak seumurku dulu takut pada hantu, seperti itulah ketakutanku pada benda itu. Malah lebih! Itu adalah senjata ayah untuk memukulku. Tiga kali pukulannya dengan benda itu, esok hari sudah di pastikan aku tak akan masuk sekolah. Sakit sekali. Pernah satu kali aku terlambat pulang bermain. Biasanya setelah usai sembahyang magrib dan mengaji, aku sudah harus di rumah. Tapi kali itu ku ikut bermain kejar-kejaran di halaman surau. Di rumah, ayah sudah menungguku dengan palang pintu itu. Sekali saja pukulannya merontokkan gigi gerahamku. Aku tak sadarkan diri seiring teriakan histeris nenek.

Selimut dan foto nenek ada padaku. Seiring waktu yang seperti anak panah, aku tumbuh dewasa. Terbiasa dengan amarah orangtua angkatku, menerima kekerasan itu seperti sentuhan biasa. Menikmati luka dan hantaman seperti sensasi tersendiri. Selalu rindu untuk merasa terlukai. Ada hentakan-hentakan pada aliran darah, seperti adrenalin yang berkejaran deras pada detak di nadi, memacu jantung, menikmati kesakitan. Itu sedikit-sedikit terasa nikmat. Aku menyukainya.

Sementara kayu palang pintu itu entah dimana. Ku sudah lama tak melihat rumah. Akan ku temukan dia. Benda itu adalah harta karun bagiku.
Ada 1 benda yang ingin ku koleksi. Satu benda yang juga sakral dan penting bagi hidupku. Pisau dapur ibu yang ku pakai menikam ayah. Pisau itu tajam, jadi ku tikam ayah berkali-kali agar dia segera mati. Aku membunuhnya bukan karena alasan. Dia terasa tak lagi seperti ayah yang dulu. Tak lagi menakutkan dan tak lagi memberi rasa sakit. Tugasnya sudah selesai. Dia sudah seharusnya tak ada. Kewajibanku untuk menghilangkannya. Aku suka melihatnya melotot kesakitan. Itu pasti rasa sakit yang nikmat sekali.

Aku rindu pisau itu. Rindu pada energi kesakitan ayah. Ku bayangkan benda itu ada di dalam ruang kamar sempit ini. Ku letakkan pada jendela jeruji itu. Menemani matahari pagi yang datang agar juga menyinariku dengan bayangan kesakitan yang indah.

Minggu, 23 Oktober 2011

yendra


Aku adalah gambaran dari seseorang bernama Yendra. Laki-laki. Umur 30 tahun. Ada banyak sosok yang menyenangkan dalam diriku. Pemuda yang jatuh cinta, pandai merangkai kata, humoris, pandai bergaul, ramah, punya selera seni yang baik, disenangi banyak teman. Setidaknya itu pernah ada pada gambaranku dalam ingatan orang.

Aku lahir dalam keluarga normal yang bahagia. Ayah ku seorang pegawai negeri, dan ibu adalah perempuan penyayang. Aku memiliki 2 saudara laki-laki. Aku si bungsu. Kami dibesarkan dengan kehormatan, doa dan harapan.
Tapi hidup adalah hidup. Tanpa ada seseorangpun yang mampu menebak. Jadi, berhentilah membaca ramalan zodiak. Itu semua sampah!
Ada yang berbeda dalam pikiranku. Aku membaca dunia dengan cara yang berbeda. Benar-benar berbeda. Kamu tau artinya menjadi berbeda?
Itu seperti berdiri di tengah jalan dengan pakaian badut, dan orang-orang melihatmu dengan pandangan aneh. Setelah itu, konsekwensi orang aneh adalah tercerabut dari lingkungannya sendiri.

Sebagian lebih bijak memandangku. Mereka bilang aku ”sakit”. Lebih terasa halus daripada menganggapku gila. Sakit adalah tidak sehat. Kondisi yang selalu di hindari orang. Dan penderita sakit, tak lebih dari orang yang tidak mampu menjaga dirinya. Sejak itu ku sadar, aku sudah terkucilkan.
Kawan, siapa yang mampu menolak kesialan? Kalau ini tak mau di sebut takdir, anggaplah aku dalam kesialan. Menjadi ”gila” dalam pengertian medis dan sosial. Siapa yang mau menderita? Apa kelainan berpikir dan merasa ini sudah di gariskan untuk ku? Aku mungkin memang sakit, tapi masih bisa merasa dan membedakan sebuah kesukaan dan derita. Kesukaan seperti di sayang dan dipedulikan, seperti mendengar petikan gitar yang lembut, seperti hembusan nikotin yang ku hisap dalam-dalam, seperti memandangi matahari tenggelam atau seperti perasaan ysng bergejolak waktu ku mengoreskan warna pada kanvas. Derita itu seperti tatapan sinis yang selalu membuatku takut, seperti perasaan ditinggalkan, seperti kegelisahan melihat jarum suntik saat ayah meninggalkanku beberapa lama di rumah sakit jiwa itu.

Aku adalah gambaran dari seseorang bernama Yendra. Sebagian dariku masih tinggal disana. Sekotak ingatan ikut tenggelam bersama. Perlahan tapi pasti, semakin dalam tenggelam. Sama seperti tatapan para kawan lama yang melihat sedih padaku. Itu adalah ucapan selamat tinggal. Mereka membunuhku dengan kesepian dan terabaikan.

Aku masih tetap tinggal disana. Dalam sedikit ingatan orang-orang yang mau mengingatku dan ingatanku yang semakin sedikit tentang orang-orang.Tak mengapa. Setidaknya aku akan sibuk dengan dunia dalam pikiranku. Menikmati kesukaanku dengan caraku.

Rabu, 19 Oktober 2011

tentang kekalahan



Dalam hidupnya, tak ada yang lebih baik dari sore yang hujan. Apalagi turun kabut. Langit jadi gelap gulita. Tak perlu ada sore yang mewah dengan kemilau keemasannya. Biarlah hari cepat berlalu karena malamlah yang selalu ditunggu.
Malam adalah teman. Setidaknya untuk hati dengan luka dan kepahitan. Apa ada teman yang lebih baik untuk kesedihan selain malam yang sunyi? Sore hanyalah milik para petarung. Walau hanya sekejab, merasakan sore yang indah adalah perasaan berhasil melewati hari. Bertarung dengan waktu dari pagi sampai tiba sore; si akhir terang. Mengadu pikiran dan tenaga untuk berjuang. Demi hidup. Keluarga dan harapan. Sore adalah kebahagian atas keberhasilan melewati pertarungan. Sekecil apapun keberhasilan itu. Waktu akan seperti anak panah. Melesat lurus kedepan tanpa bisa dicegah. Meninggalkan masa lalu menuju sekarang. Anak panah itu tak datang cuma-cuma. Dia bersama harapan dan akibat. Bersama mimpi atau ketakutan. Dan dia tak lagi memiliki mimpi. Sudah tak kuat bertarung. Saat ini adalah saat menerima ketakutan dan segala akibat masa lalu. Dia meninggalkan sore ketika sore mulai terasa menyakiti. Bersahabat pada gelap, menyimpan kepedihan dan semua kekalahan bersama malam.
Dia adalah pria tua dengan kisah tentang kekalahan. Tentang masa muda yang berapi-api, tentang harga pilihan yang mahal. Sewaktu muda, tak ada yang menjadi kekhawatirannya selain harapan yang tak terwujud. Tak suka menjadi kalah. Hidup adalah tanpa kompromi! Raja bagi kehendak sendiri. Diwaktu tua dia hidup dengan kesepian dan terabaikan. Semua berubah sejak 46 tahun yang lalu, perubahan besar konfigurasi politik tanah air drastis membalikkan keadaan. PKI berada pada tempat yang tersudut dan terus dihancurkan. Anggotanya di buru seperti anjing liar yang berbahaya. Kiprahnya dalam organisasi itu di pulau ini jelas menempatkannya pada posisi genting. Seperti jamak terjadi di daerah lain, dia menjadi bagian sejarah gelap republik ini. Beruntung dia tetap hidup meski setelah itu disesalkannya. Apa menariknya hidup sebagai orang yang terkucilkan? Istrinya meninggal dalam kemalangan. Disusulnya anak-anaknya yang tak mampu bertahan dalam kesengsaraan. Sebatang kara, dengan keluarga lain yang memilih menjauhinya seperti sampah. Tahun-tahun berikutnya adalah keseharian yang selalu sama. Bercocok tanam di kebun harta satu-satunya. Menjual hasilnya untuk tetap bertahan hidup.
Hiburan baginya adalah Mendengar berita dari radio. Menemukan peristiwa-peristiwa unik seperti menertawakan hidup, termasuk hidupnya sendiri. Karena tak ada kejadian baru dalam dunia ini. Semua hanya kejadian yang berulang. Cuma waktu, tempat dan pemerannya saja yang berbeda. Sebagian orang memerankan tokoh yang sama, pada kesalahan yang sama lalu menjalani hidup dengan cara yang sudah-sudah.
Dia menerima kekalahan-kekalahan itu. Hanya berharap malam bisa tetap menemani dia menentramkan sedikit kepedihan seperti dia bisa menerima kesepian dan keterasingan. Berharap waktu itu masih ada untuknya, bersama anak panah yang membawanya meninggalkan segala beban.
Sebab memandang sore pun rasanya itu terlalu mewah.