Rabu, 02 Mei 2012

KONSEP WEALFARE STATE DAN PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA (Catatan tentang UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik)

Istilah welfare state dimunculkan pertama kali oleh Uskup Agung York pada tahun 1940-an, sebagai antitesis dari program warfare state (negara perang) Nazi. Namun cikal bakal Welfare State telah dimulai oleh sejumlah tokoh karismatis seperti Bissmark (Jerman), Von Tappe (Austria), dan Napoleon III (Perancis) dengan memberlakukan sistem jaminan sosial bagi pegawai pemerintah dan kelompok pekerja industri. Sementara di Inggris, sistem welfare ditandai dengan lahirnya UU Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 1880-an. Negara kesejahteraan dibangun atas dasar nilai-nilai sosial, seperti kewarganegaraan sosial, demokrasi penuh, sistem hubungan industrial modern, serta hak atas pendidikan dan perluasan pendidikan massal yang modern. Produksi dan penyediaan kesejahteraan warga negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Hingga saat ini, negara kesejahteraan telah dianut oleh sejumlah negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni: Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara. Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial. Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri. Sementara itu negara-negara berkembang di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, dan Indonesia) memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam mereplikasi model-model yang berkembang di eropa. Hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem kesejahteraan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial akan menpengaruhi kapasitas negara tersebut dalam pengembangan sistem perlindungan sosial pasca kemerdekaan mereka. Faktor yang mempersulit ini menurut Gough adalah persoalan demokrasi dan masyarakat sipil, iklim dunia usaha yang lebih terbuka bagi modal asing, kekuatan pekerja lemah dan terpecah-pecah, peran sektor pertanian yang kuat sehingga melemahkan integrasi sosial kelas pekerja, peran negara, legitimasi dan kebijakan sosial yang bersifat bonapartist bagi para elite dan kelompok tertentu dan keterikatan kelembagaan yang sangat terkait dengan pengalaman penjajahan. Paradigma antara negara dan warga negara, mengalami pasang surut. Di wealfare state, jelas paradigma negara dan regulasi publik idealnya lahir sebagai pemahaman yang tuntas tentang publik service yang menjadi hak warga negara (citizen right). Berbeda dengan negara seperti indonesia yang justru meletakkan paradigma nya masih dalam kerangka elit dan warga negara. Kebutuhan terhadap pelayanan publik selalu di lihat sebagai kebutuhan warganegara dari kacamata elit. Segala hal yang baik bagi elit, adalah hal yang baik juga untuk warganegara. Seperti contoh, setiap hal yang baik dari luar, seperti ratifikasi internasional selalu dianggap baik dan diterapkan ke warganegara tanpa melihat itu merupakan kebutuhan yang penting atau memang di dasarkan pada karaktristik kebutuhan di dalam masyarakat. Merunut jauh kebelakang, jiwa negara kesejahteraan telah lama ada pada bangsa Indonesia baik secara ideologi dan konstitusional. Secara umum, warisan intelektual Indonesia sebenarnya merupakan adaptasi dari semangat revolusi perancis: kebebasan (freedom), kesetaraan (equality), dan persaudaraan/gotong royong (fraternity). Secara operasional-kelembagaan, dasar-dasar itu diwujudkan dalam prinsip demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dan dalam tafsir modern, maka warisan intelektual itu dapat diringkas dalam tiga gagasan utama: (a) Menerima dan menghormati hak milik pribadi (private property) dan percaya bahwa mekanisme pasar memang diperlukan; (b) akan tetapi, sistem ekonomi pasar itu harus menjamin terjadinya keadilan sosial dan ekonomi (c) berbagai bentuk dan institusi redistributif perlu dijalankan. Ketiga ide itu tidak lain sejalan dan seiring dengan gagasan dan ide Negara Kesejahteraan (Sri Edi Swasono, 2005). Pasal 33 UUD 1945, dengan tegas menyatakan (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasa atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di dikuasasi oleh negara. Selanjutnya, pasal 27 ayat 2, ”Tiap-tiap warganegara (semua/universal) berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Akan tetapi, dalam perkembangnya hingga tahun 2000an, berbagai kekeliruan dan kelemahan kelembagaan (BUMN yang kacau, birokrasi yang lemah, dan sumber keuangan negara yang masih lemah) dan interpretasi neoliberal paska 1980an, membuat kebijakan ekonomi Indonesia makin jauh dari cita-cita para pendiri bangsa (Sri-Edi Swasono, 2005). Di sisi kelembagaan, meski berbagai kelembagaan sudah lama ada (seperti koperasi, BUMN dan jaminan sosial) institusi sosial itu hanya berjalan di tempat, tidak bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi. Cakupan jaminan sosial di Indonesia demikian sempit, hanya terbatas kepada pegawai negeri (Askes dan Taspen), dan pekerja swasta (Jamsostek). Itupun bersifat iuran ketimbang didanai oleh pajak (tax-funded). Era desentralisasi dan otonomi daerah harus dimaknai sebagai upaya mendekatkan pelayanan oleh pemerintah kepada warga negaranya. Beberapa tahun terakhir, implementasi Otda di Indonesia belum banyak perubahan yang terjadi dalam pelayanan sosial sebagai bagian dari pelayanan publik meskipun ada daerah seperti Aceh yang telah membentuk peraturan daerah (Qanun) tentang pelayanan publik yang berkarakteristik dengan daerahnya yang baik untuk menjadi contoh daerah lain untuk melakukan hal kreatif seperti Aceh. Keterbatasan anggaran senantiasa menjadi alasan klasik mengapa negara tidak memberikan pelayanan sosial secara optimal. Sebuah alasan yang juga tidak kreatif, bagi iklim sekarang dimana korupsi marak terjadi dan kesempatan daerah yang mampu menciptakan kreasi dalam menentukan pilihan penganggaran nya sendiri. Secara legal formal pembentukan Undang – Undang nomor 25 tahun 2009 dilatarbelakangi oleh pasal 5 ayat (I), Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H, Pasal 281 ayat (2)) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia Tahun 1945 dan atribut ekternal (yang lebih ingin saya sebut sebagai desakan) yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Intentational Covenant on Economic,Social, and Culturtzl Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta beberapa regulasi seperti pemerintahan daerah, kepegawaian dan lembaga ombusman. Dengan Maksud memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalarn pelayanan publik dan bertujuan terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik, terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, UU ini mengakomodir semangat dari upaya pencapaian tujuan filofosif UUD 45 yakni Pemenuhan kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif. UU yang disahkan pada tanggal 18 Juli 2009 tersebut menjadi salah satu pijakan hukum bagi upaya pemenuhan hak dasar rakyat melalui penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih partisipatif dan non diskriminasi. Selain itu, UU Pelayanan Publik juga menjadi salah satu strategi bagi upaya percepatan reformasi birokrasi dalam konteks pelayanan publik. Terutama karena beberapa aturannya bersifat “memaksa” bagi terjadinya perubahan mindset, sikap dan perilaku dijajaran birokrasi. Sayangnya, sejumlah pasal-pasal yang diatur dalam UU tersebut terhambat untuk diimplementasikan karena hingga kini tak satu pun dari lima ketentuan turunan yang harus dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP) disahkan. Padahal, dalam pasal 60, ketentuan penutup UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa seluruh PP harus sudah disahkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak UU nomor 25 tahun 2009 disahkan. Sejumlah ketentuan yang terhambat untuk diimplementasikan karena belum diatur dalam PP adalah; ketentuan mengenai ruang lingkup pelayanan publik, pedoman penyusunan stándar pelayanan, tatacara pengikutsertaan masyarakat dalam pelayanan publik, sistem pelayanan terpadu, proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat serta satu Perpres mengenai mekanisme dan ketentuan pemberian ganti rugi. Keterlambatan pengesahan PP tersebut tentu akan berimplikasi pada banyak hal, di antaranya; ketidakjelasan cakupan dan lingkup pelayanan publik yang diatur dalam UU tersebut, ketidakpastian akses partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik, ketidakpastian jaminan pelayanan bagi kelompok rentan dengan diperbolehkannya pengadaan pelayanan berjenjang pada unit-unit pelayanan, ketidakjelasan sistem pelayanan terpadu dan implikasinya bagi kemudahan akses. Serta menghambat upaya percepatan reformasi birokrasi dalam memberikan layanan yang lebih baik. Dengan kondisi seperti ini, mulai muncul pesimisme terhadap sebuah konsep dari pelayanan publik di tengah masyarakat. Seberapa jauh konsep wealfare state ini bisa menjadi sebuah kenyataan bagi masyarakat? Saya pribadi setuju dengan pendapat pemerintah telah melanggar komitmen nya sendiri dan tidak sungguh-sungguh berupaya melakukan percepatan reformasi birokrasi setidaknya dalam pelayanan publik. Apa yang membuat Pemerintah enggan untuk segera memenuhi tanggungjawab juridisnya, dengan mengesahkan PP terhadap pelaksanaan UU nomor 25 tahun 2009? Masalah teknis seperti kebijakan penganggaran kah (yang memang akan terpengaruh untuk lebih besar menganggarkan belanja pelayanan publik) dan ketidaksiapan aparatur pelayanan publik di republik ini atau memang tidak ada keinginan besar dari para elit di negeri ini untuk melayani warganegara nya sendiri? Saya pribadi lebih cenderung percaya pada tidak adanya keinginan yang besar dari para elit untuk melaksanakan sebuah sistem pelayanan publik yang sesungguhnya di republik ini. Paradigma elit yang masih kental, dan politik kepentingan yang tinggi hanya akan menjadi gaung reformasi birokrasi jalan di tempat. Atau UU nomor 25 tahun 2009 ini terlalu ideal untuk dilaksanakan secara penuh saat ini? Untuk memenuhi tugas mata kuliah Managemen Aset Dosen : Drs.Wakhid Slamet Ciptono, M.B.A., M.P.M., Ph.D Trimester III Magister Ekonomika Pembangunan Angkatan 40 PROGRAM MAGISTER EKONOMIKA PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010 Referensi Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan Publik Modul belajar sekolah sosial demokrasi tahun 2009, Jaringan Kaum Muda Sosdem Mimpi Negara Kesejahteraan, Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo, Penerbit; Perkumpulan Prakarsa – Jakarta http://jurnal-kesejahteraan.org

Opini WTP dan pengelolaan Barang Milik Daerah

Siapa yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan BMD di pemerintah daerah?
Selama ini, secara teknis pengurus barang lah yang menjadi sasaran segala hal yang berhubungan dengan penatausahaan BMD. Dari sisi pemeriksaan dan pelaporan, pengurus barang lah yang selalu menjadi pihak yang dimintai keterangan dan pertanggungjawaban teknis pengelolaan barang di lingkup SKPD yang dia tangani. Menjadikan mereka seperti “tersangka” di setiap musim pemeriksaan, baik secara intern dari Inspektorat wilayah maupun BPK perwakilan. Padahal pada PP nomor 6 tahun 2006 dan Permendagri nomor 17 tahun 2007 yang menjadi “kitab suci” pengelolaan BMD, tanggung jawab pengelolaan BMD secara umum, berada pada 4 pihak. Pertama, Kepala Derah (Gubernur/Bupati), kedua adalah Pengelola Barang (Setda, dan dibantu oleh asisten yang membidangi dan Pembantu Pengelola Barang; Kepala Biro Umum/Kepala DPPKAD), ketiga adalah Penguna Barang (Kepala SKPD) dan terakhir Pengurus Barang di SKPD yang di tetapkan oleh SK Kepala Daerah setiap tahun. Dari sisi regulasi tentang pengelolaan BMD, disadari bahwa PP nomor 6 tahun 2006 dan Permendagri nomor 17 tahun 2007 memang belum mampu secara maksimal mengakomodir semua petunjuk teknis pelaksanaan pengelolaan BMD. Dari beberapa kasus hasil laporan pemeriksaan audit oleh BPK atau BPKP masih ditemui beberapa temuan pelaksanaan pengelolaan BMD yang tidak optimal akibat dari pemahaman tentang regulasi tersebut yang berbeda intepretasi dan berujung pada tidak maksimalnya pelaksanaan pengelolaan dari tahap perencanaan sampai TGR. Hal ini yang kemudian menjadikan Perda tentang BMD menjadi strategis dalam mengantisipasi masalah tersebut. Dari sisi teknis pelaksana pengelolaan BMD, khususnya di tingkat teknis SKPD (pengurus barang) juga signifikan terlihat kelemahan pada SDM pengurus barang baik dari sisi pemahaman tentang sistem dan prosedur penatausahaan dan sisi kemampuan teknis penatausahaan seperti pembuatan laporan,dan lain-lain. Apakah hal ini penyebab paling krusial dari kelemahan pengelolaan BMD? Pengelolaan BMD sering kali dianggap sebagai bagian dari pengelolaan keuangan daerah. Bila berada pada paradigma itu, pengelolaan BMD hanya ada pada dataran kelengkapan data untuk penyusunan neraca daerah khususnya pada persediaan, aset tetap (tanah, kendaraan/mesin,gedung/bangunan, jalan/jembatan, aset tetap lainnya), dan aset lain daerah. Padahal pengelolaan BMD lebih luas dari sekedar bagian dari pengelolaan keuangan daerah. Dalam teori management asset, pengertian me-“management “ aset bukan hanya bertujuan menghasilkan sebuah laporan aset yang akurat. Me-management asset berarti melakukan pengelolaan demi optimalisasi dan efesiensi sebuah organisasi. Tergantung visi dan misi organisasi tersebut, dan paradigma management asset adalah konsep utama dalam meraih hal tersebut! Pengelolaan aset berarti sebagai upaya untuk bagaimana mencapai targetan-targetan organisasi secara efektif, meminimalisir kerugian-kerugian, melakukan efisiensi, termasuk melakukan pengembangan-pengembangan organisasi dari sisi aset. Pemerintah memang bukan organisasi yang berparadigmakan profit. Pemerintah adalah organisasi besar yang memiliki tujuan mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara umum. Baik dari sisi pelayanan-pelayanan dasar dan birokrasi penyelenggaraan kehidupan bernegara. Dari sisi ini hal utama yang menjadi perhatiaan dalam management asset adalah bagaimana mengelola aset daerah (BMD) untuk memaksimalkan tugas pemerintah dan mengoptimalkan pelayanan-pelayanan kepada masyarakat. Ketika bicara tentang ini kita akan bersinggunggan dengan beberapa indikator-indikator tingkat keberhasilan pemerintah secara umum. Di bidang pengelolaan keuangan biasanya yang menjadi ukuran adalah hasil audit pemeriksa keuangan oleh badan yang ditunjuk oleh negara, misalnya BPK dengan beberapa tingkat kualitas pengelolaan dan pelaporan. Ada Wajar Tanpa Pengecualian/WTP (unqualified opinion) di puncak level pengelolaan terbaik dan disclaimer sebagai level terburuk. Apakah pencapaian kualitas pengelolaan BMD/aset ini mampu dicapai hanya dengan meletakkannya pada kemampuan pengurus barang di tingkat SKPD masing-masing? Dengan kualitas SDM pengurus barang yang lemah, hal ini mustahil di raih. Dengan kemampuan SDM yang handal pengurus barang pun, hal ini masih sulit di raih! Secara pribadi, saya menghitung pengurus barang di SKPD hanya bertanggungjawab sebesar 30% keberhasilan pengelolaan BMD. 70% keberhasilan pengelolaan BMD, masih tersebar pada pihak lain yang juga memiliki peran besar dalam pengelolaan BMD. Pengguna barang, adalah orang nomor satu dalam SKPD yang berwenang melakukan perencanaan, penggunaan barang, memelihara, melakukan pengawasan BMD di lingkup SKPD nya. Apakah fungsi itu sudah berjalan dengan baik? Pengelola barang (dibantu oleh pembantu pengelola barang) adalah pihak yang “mengelola” BMD secara umum di daerah. Di pundak pengelola lah, tahapan pengelolaan BMD memiliki blue print untuk dikembangkan secara teknis di SKPD. Baik dari sisi penatausahaan, pemanfaatan sampai dengan Tuntutan Ganti Rugi/TGR. Berapa banyak daerah yang memiliki konsep/blue print yang baik dalam pengelolaan BMD? Apakah Pemerintah daerah memiliki regulasi teknis misalnya Perda pengelolaan BMD di daerahnya? Apakah sudah ada sistem dan prosedur yang memuat bentuk tahapan penatausahaan BMD di SKPD? Apakah pengawasan BMD yang idle dan pemanfaatan BMD sudah diukur dalam usaha pencapaian target pemerintah? Pihak puncak dalam pemerintah daerah adalah kepala daerah. Dari sinilah segala kebijakan intern birokrasi pemerintah berawal. Di sisi penatausahaan BMD, kepala daerah menetapkan status pengunaan BMD, penyetujui rencana kebutuhan barang daerah, penetapkan penghapusan, dan banyak lagi kebijakan teknis tentang BMD. Dalam bahasa yang lebih trend; political will kepala daerah sangat menentukan warna birokrasi, termasuk dalam pengelolaan BMD. Melihat peran-peran yang vital pada tingkat pihak-pihak diatas, bagaimana mungkin pengurus barang mampu menjadi penentu keberhasilan pengelolaan BMD? Secara umum, ada tiga hal utama yang menjadi perhatian penting dalam upaya keberhasilan pengelolaan BMD. Pertama, comitment yang tinggi. Semua pihak yang berkaitan dalam pengelolaan BMD harus memiliki paradigma yang sama dan sepakat untuk melaksanakan sebuah sistem pengelolaan yang terintegrasi baik secara teknis dan kebijakan intern. Mulai dari kepala daerah, sampai pengurus barang di SKPD memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi sesuai dengan peran masing-masing dalam pengelolaan BMD. Kedua, political will yang besar dari kepala daerah, setda dan kepala SKPD. jika mau jujur, kepala daerah, setda dan kepala SKPD lebih disibukkan dengan pengelolaan keuangan daripada melakukan pembinaan pada pengelolaan BMD. Dibutuhkan semacam ketegasan dalam policy intern, untuk lebih menitikberatkan focus penatausahaan BMD dari pengambil kebijakan demi menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi pengelolaan BMD khususnya penatausahaan. Misalnya dengan menganalisa tingkat kualitas dan kuantitas SDM pengurus BMD di SKPD, apakah sudah dirasakan kompeten dengan kondisi yang ada? Apakah jumlah SDM di bidang Aset yang menjadi ujung tombak pembantu pengelola sudah dirasakan cukup? Apakah kompensasi pengurus dan penyimpan barang dirasakan sudah tepat dan seimbang dengan beban kerja dan tanggung jawab pengurus/penyimpan barang? Hal ketiga yang tidak kalah penting adalah sebuah tim yang solid. Banyak hal yang terjadi dalam usaha optimalisasi pengelolaan pemerintah bukan pada sarana dan prasarana yang baik tapi lebih pada kebutuhan SDM/staf yang solid, terdidik dan berkomitmen tinggi. Bayangkan jika sebuah organisasi sudah dilengkapi oleh peralatan dan sarana yang terbaik bahkan dengan sistem modern dalam bentuk aplikasi komputersasi sekalipun tapi tanpa dilengkapi SDM yang solid, terdidik dan berkomitmen. Niscaya segala kemudahan teknologi tersebut hanya sia-sia, dan tidak memiliki nilai guna yang diharapkan karena tidak maksimal digunakan untuk kepentingan yang diinginkan. Dalam penatausahaan BMD, staf bidang aset DPPKAD menjadi fokus utama untuk menjadi sebuah tim yang solid dalam fungsinya menjadi koordinator penatausahaan di seluruh SKPD, melakukan penghimpunan pelaporan, melakukan kajian-kajian pemanfaatan, melakukan pengawasan penggunaan, dah hal-hal lain sebagai jembatan antara SKPD dan Pengelola barang daerah. Hal diatas bukan sebuah upaya untuk mencari kelemahan dan kesalahan para pihak dalam sebuah siklus besar bernama pengelolaan aset/barang milik daerah. Sudah bukan saatnya untuk menyalahkan, tapi di titik ini lebih baik bersama-sama untuk kembali meluruskan persepsi untuk memperbaiki semua ke tujuan bersama. Bukan hanya demi capaian indikator keberhasilan auditor dengan opini wajar tanpa pengecualian saja, tapi ke tujuan yang lebih besar dan utama; penciptaan pelayanan yang handal kepada masyarakat.