Rabu, 18 Januari 2012

Unintended


You could be my unintended
Choice to live my life extended
You could be the one I'll always love

You could be the one who listens
to my deepest inquisitions
You could be the one I'll always love

I'll be there as soon as I can
But i'm busy mending broken
pieces of the life i had before

First there was the one who challenged all my dreams and all my balance
She could never be as good as you

(Muse)
.....

Siapa yang tak pernah menyimpan rahasia?
Sebagian orang malah menyimpannya hingga mati. Tak rela membaginya kepada siapa pun. Hanya untuk dirinya sendiri dengan beberapa pertimbangan. Entah itu sebuah kisah sedih, aib, atau sebuah konspirasi besar yang melibatkan banyak kepentingan serius.

Kadang rahasia tak hadir sebagai rahasia yang memang sudah direncanakan. Rahasia itu datang secara tiba-tiba dan tidak sengajakan ada seperti perselingkuhan yang memang di niatkan, persekongkolan elit, dan lain-lain. Sebagian rahasia lahir dari sebab akibat gesekan aktivitas, rutinitas yang terbiasa bersama pelukan waktu.

Aku tak bahkan tak tahu kalau ini bisa dinamakan rahasia. Tak ada kesepakatan antara kita untuk menjadikan ini sebagai “rahasia”. Apakah tatapan kita ketika bertemu di tangga kantor setiap pagi, tanpa satu kalimat apapun yang keluar dari mulut kita dan senyumanmu itu bisa di sebut sebagai sesuatu untuk menjadikannya rahasia?

Hanya saja, ini terjadi runtun selama bertahun-tahun.
Ketika senyummu sama manisnya seperti teh hangat yang disajikan setiap pagi di meja kantor, ketika tatapanmu sama hangatnya seperti sinar pagi yang cerah, apa jadinya hari ku tanpa hadirmu?

Di satu waktu, pernah ku tak bertemu denganmu. Di sepanjang tangga itu kucari tanda tentangmu. Di sinar pagi ku titip rindu untukmu. Dan ketika ku temukan lagi kamu berjalan di pelataran kantor menuju tangga, hati ini bersorak gembira mengalahkan kegembiraan anak SMA di pesta kelulusan sekolah.
Sejak itu ketemukan dirimu menciptakanmu seperti sebuah rahasia.

Godaan terbesar dari sebuah rahasia adalah ketika rahasia itu coba ku bagi. Membukanya, menyajikan keindahan kisah itu untuk dapat dirasakan orang lain. Tapi sebenarnya ia bukan lagi rahasia. Rahasia itu tidak lagi menjadi rahasia.

Tapi siapa yang sanggup menahan godaan itu?
Tak banyak.

Seperti aku yang sudah tak sanggup menyimpannya terlalu lama untukmu ketika kau mulai mengajakku bicara. Berbincang-bincang, lalu bertemu sekedar makan siang bersama. Tatapanmu sudah tidak lagi semanis teh hangat di pagi hari tapi sudah menjadi madu untuk selai roti sarapan pagi. Enak dan menyehatkan. Aku mulai mencanduimu.

Di titik ini, aku ingin kau berhenti untuk tidak lebih masuk ke dalam hidupku. Meski itu sudah terlambat. di beberapa bagian, aku sudah tak seperti yang tampak. Hati ini pernah hancur berkeping-keping dan butuh waktu panjang menyusunnya lagi untuk sehat menjadi hati. Menjadi tua sebagai proses, menyisakan konsekwensi hidup yang mahal untuk di bayar. Seperti berdiri di depan loket setiap bulan untuk membayar tagihan. Hidupku adalah hutang dari masalalu. Masalalu itu mencekik mimpi seperti tengkulak membungakan uang yang besar terhadap pinjaman. Hanya menyisakan sedikit harapan tanpa berani bermimpi terlalu indah.
Pernah berharap kamu tinggal di sisi hati ini. Menyimpanmu disana senyaman kamu tinggal. Hanya rasanya tak adil. Hanya menyediakan kamu untuk ku tanpa bisa menyediakan aku untukmu.

Aku berhenti menjadikanmu rahasia.

Meski itu berarti teh hangat pagi ini sudah mulai terasa hambar. Tak lagi manis.


(masih tentang catatan seorang kawan..)

Selasa, 17 Januari 2012

Kepada kamu yang tersamarkan,


Aku sedang ingin memelukmu. Merasakan kamu ada untukku, meski itu kadang terlalu mewah. Aku tak bohong. Aku benar-benar sedang ingin memelukmu.
Aku menunggu purnama yang sama dengan waktu itu. Bulan hari ke lima belas yang gemilang. Seperti purnama pertama yang ku nikmati bersamamu di tepi kota itu. Purnama itu datang perlahan bersama kabut dan awan gelap yang menyelimuti. Sinarnya tersamarkan. Tapi tetap indah. Mungkin karena bersamamu.
Ku percaya tak ada yang kebetulan. Takdir pun adalah runtunan peristiwa yang saling berkait satu dengan yang lain. Aku menyukai purnama yang samar-samar itu seperti aku menyukaimu. Kau yang selalu tersamarkan. Hadir dalam ketidakmampuan dan kepastian tapi ada untukku.
Aku tahu hidup adalah konsekwensi. Seperti semua orang di dunia ini yang memilih setiap pilihan dalam hidup dan menerima akibat dari pilihan itu. Ketika itu pilihan baik, kebaikan yang didapat. Apabila itu pilihan yang salah, kesalahan lah yang di terima. Simpel. Mudah dicerna. Anak SD pun tahu.
Hanya tak selalu mudah menentukan pilihan. Dan bukan perkara indah menerima konsekwensi buruk dari pilihan yang salah hanya dengan kata-kata “sabar ya..”, “yang ikhlas..” atau “relakan saja”. Untuk hal-hal seperti itu aku membutuhkanmu. Kamu seperti gudang yang menyimpan barang-barang tak terpakai. Membuat rumah menjadi nyaman tak terganggu. Atau seperti gerimis yang menghapus jejak-jejak kotor di jalanan. Hadir dengan samar-samar. Tak tampak sebagai pahlawan. Tapi berguna seperti udara untukku.

Kepada kamu yang tersamarkan,
Maafkan aku yang selalu membutuhkanmu tanpa pernah menyediakan diriku berguna untukmu. Aku memang tak sekuat kamu melawan keterbatasan. Keterbatasan itu milikku. Kamu tak terbatas.
Maafkan aku yang hanya bisa menuntut. Meski waktu semakin memantapkan kamu untuk tiadak tergantikan. Aku tak bisa menjanjikan apapun. Kecuali perasaan rindu yang tersamarkan untukmu.
Aku sedang menatap purnama yang samar-samar ini. Adakah kamu merasakanku?
Tentang kita yang selalu tak bisa di jelaskan.
Tentang rindu yang tak bisa dengan mudah diucapkan.

(catatan seorang teman.. selamat menikmati ke samar-samaran rasa itu)