Rabu, 10 Agustus 2016

Kisah cinta Mang Maing



Mang Maing memang sudah tak lagi muda. Usianya sekitar empat puluhan tahun. Untuk ukuran orang melayu, dia tergolong bujang lapuk. Hidup sebatang kara. Orangtuanya sudah lama tiada. Tak memiliki sanak saudara. Kabarnya, keluarga besarnya banyak merantau ke negeri seberang. Makhluk-makhluk ajaib yang betah mengisi kesehariannya seperti keluarga tak lain adalah anggota SBK. Mereka yang kerap berkumpul dibawah batang ketapang rindang di halaman rumah Mang Maing. Berdialektika bersama dengan berkesenian, mengungkapkan ide, gagasan dan perdebatan tentang kehidupan dan lingkungan sekitar mereka dengan merdeka. Meski  ide dan gagasan mereka lebih banyak absurd. Demokrasi gaya masyarakat melayu pesisir. Biarkan saja lah. Yang penting mereka bahagia.

Tentang kesendirian Mang Maing adalah misteri bagi para SBK dan pilihan hidup membujangnya sempat menjadi perbincangan hangat. Tak pernah sedikit pun kisah cinta Mang Maing terucap dari bibirnya. Terkesan sangat tertutup. Top secret! Samilun menduga Mang Mang mengalami kepatahan hati yang akut. Tak mau lagi kenal dengan namanya wanita.
Lain lagi dengan Udin. Sebagai pengikut setianya Mang Mang, Udin berteori bahwa Mang Maing memang memilih hidup tidak menikah dikarenakan konsekwensi ilmu kanuragan yang dia miliki. Untuk menjaga kemampuannya tetap sakti, Mang Maing dengan sadar dan berbesar hati menolak kisah percintaan sebagai bagian dari jalan hidupnya. Menurut Udin apa susahnya bagi Mang Maing menarik perhatian wanita. Sebagai orang sakti, tak sulit mengerahkan ilmu peletnya memikat wanita. Tetapi demi keluhuran ilmu tersebut, Mang Maing menolak dan memilih “berpuasa” selama hidupnya menyentuh wanita. Betapa sialnya Udin. Begitu terpesonanya dia dengan Mang Maing karena bagi sebagian besar anggota SBK, alasan Mang Maing membujang tak lain karena alasan klasik: tak laku-laku alias tak ada gadis di tanah melayu ini yang menerima pinangannya.
Tetapi temuan Japri akan selembar foto usang diantara tumpukan buku bekas Mang Maing merubah arah dugaan para anggota SBK. di dalam foto itu terlihat Mang Maing dengan seorang perempuan muda yang cantik. Terlihat bahagia. Sang gadis muda yang tersenyum ramah, dan pemuda yang tetap terlihat kampungan dan urakan cengegesan disampingnya. Jauh dari gambaran romeo dan juliet. Lebih jangan dibayangkan. Tak akan mirip sama sekali.

Krasak-krusuk anggota SBK gara-gara foto itu.  Bak gadis melayu yang sedang bergosip mereka disibukkan dengan dugaan kisah cinta Mang Maing dengan gadis itu. Sekedar informasi tambahan, mereka semua ingat bahwa Mang Maing ketika muda sempat merantau ke Jakarta sekitar 5 tahun. Mungkin inilah masa emas Mang Maing kala itu. Puncak masa mudanya yang gemilang. Sukses di Jakarta, menikah dengan wanita idamannya dan hidup bahagia di Jakarta. Lalu apa alasan masa itu berakhir?
Ditugaskan lah Japri mencari informasi lebih dalam. Menemukan bukti tertulis, tidak tertulis, tersirat yang kuat untuk melengkapi bukti foto itu. Mendesak Mang Maing menceritakannya jelas mustahil.
Japri memang berbakat menjadi intel. Meski hanya intel melayu kampung. Dicarinya informasi seluasnya-luasnya dari orang di kampung bagaimana kisah Mang Maing ketika muda, pada saat merantau ke Jakarta. Mulai dari Mak Ijah pemilik toko sembako tempat Mang Maing biasa berhutang, Tok Saudi yang dahulu mengenal keluarga besar Mang Maing, hingga Jakfar preman pasar yang dulunya adalah teman kecil Mang Maing belajar berenang di sungai. Dari hasil investagasi itu Japri hanya mendapati beberapa fakta baru. Cerita dari Tok Saudi, ketika merantau di Jakarta Mang Maing bekerja di bengkel motor milik seorang tauke cina betawi sebelum akhirnya memutuskan pulang kampung karena sakit Tipes. Sisanya hanya kisah-kisah yang tidak memiliki keterkaitan kuat dengan foto tersebut.

Pada satu malam cerah di bawah Batang Ketapang halaman rumah Mang Maing Japri duduk bersama si tuan rumah bersantai ditemani kopi hangat. Menunggu anggota lain berkumpul sekedar ngobrol tak tentu arah menghabiskan malam seperti biasanya.  Terdengar suara kodok yang bersahut-sahut seperti memanggil hujan. Terbesit ide Japri mengali informasi tentang foto itu dari Mang Maing. “Alangkah berisik kodok-kodok itu, Mang. Sibuk kali mereka. Sudah masuk musim kawin mungkin ya. Kodok pun punya keinginan berpasangan. Apalagi manusia. Bagaimana denganmu, Mang.. tak pernahkah terpikir hidup berpasangan? Tak enak lah hidup sendirian”.
Mang Maing tak langsung menjawab. Ekspresinya seperti merenung. Mungkin teringat akan masa lalunya. Japri menunggu jawaban dengan berdebar. Akankah Mang Maing bersedia mengungkap kisah dari foto itu.
Setelah 5 menit dalam diam yang menyiksa Japri, Mang Maing mulai berbicara “Jodoh ada ditangan Tuhan, Japri. Kodrat manusia itu memang berpasang-pasangan. Tentang hidupku itu pun adalah garis ketetapan tuhan. Kita hanya bisa berserah kepada-Nya.”
“Ahh, hidup memang tak selalu bisa di tebak. Aku sudah berserah kepada Tuhan, namun tak seluruhnya mampu reda. Rupanya semudah itu, Japri. Tak semua hal bisa kembali seperti semula. Sebagian hal tinggal dan menjadi bekas  seperti luka yang mengangga. Gampang sekali perih jika tersentuh. Mengerti kau, maksudku Japri? Ada hal dari pengalaman hidupku yang lebih baik tak usah disentuh kembali. Itu sama saja menganggu kesadaran setengah jiwaku.” Mang Maing bicara sambil menatap bulan yang remang-remang. Ada kalimat yang tak bisa dia teruskan. Seperti tersimpan di kerongkongan. Seperti akan mengisahkan sebuah kesedihan panjang.

Japri tersedak. Wajah Mang Maing begitu teduh. Namun tak lantas mampu menghapus jejak akan perjalanan hidupnya yang ternyata cukup berliku, menguras kepedihan dan penderitaan. Di tengah sinar bulan yang menembus daun ketapang menerpa wajah Mang Maing terlihat ekspresi yang sedih. Tak pernah terlihati sebelumnya oleh Japri selain waktu Mang Maing sakit gigi hingga gusinya bengkak selama satu minggu. Tapi sedih ini lebih sedih dari derita sakit gigi. Pahamlah Japri dengan lagu dangdut yang sering dinyanyikan Bang Ujang di warung kopi. Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati.
Japri merasa menyesal menemukan foto usang itu. Berniat dalam hati esok hari mengumpulkan anggota SBK untuk menghentikan investigasi foto misterius. Lebih layak hal ini dikubur sebagai bagian dari kisah cinta Mang Maing yang akan tetap misterius. Menempatkannya di relung hati Mang Maing secara abadi, tak terganggu siapapun daripada hanya untuk memuaskan dahaga keingintahuan anggota SBK.  Bisa-bisa mereka hanya membuka kotak Pandora. Menemukan informasi yang memuaskan, tetapi menghadirkan kembali kenangan buruk Mang Maing. Japri dan anggota SBK lainnya pasti lebih memilih tetap penasaran daripada meladeni Mang Maing yang menjadi setengah gila. Itu pasti.
                                                                       ..........

Selasa, 09 Agustus 2016

Mang Maing dan Panglima Angin



Malam itu Mang Maing mengundang semua anggota SBK (seniman Batang Ketapang) berkumpul di warung kopi Bang Ujang. Undangan yang agak janggal, sebab ditulis dengan pokok judul “sangat penting, rahasia dan mendesak”, serta catatan dibawahnya; “kopi dan panganan ditanggung gratis ”. Jelaslah sudah. Mengingat tabiat Mang Maing yang sudah dikenal para khalayak ramai, artinya nanti malam akan ada khotbah atau temuan teori dan gagasan baru khas intelektualitas bujang lapuk melayu pesisir ini.

“Saudara sekalian, dengan ini saya sampaikan sebuah informasi penting! Hasil dari penelitian yang saya rahasiakan selama ini akan membuahkan hasil dan akan menjadi sebuah penemuan besar! Saya yakin banyak pihak akan terkejut. Kalian adalah orang pertama yang akan menerima kabar ini. Setelah ini biasakan diri kalian kalau ada wartawan, para peneliti dari luar negeri yang mencoba mengali kabar ini lebih dalam. Tapi tenang dulu. Santai,. santai... tarik nafas, dan teguk dulu kopinya ya. Jangan terlalu tegang..”. Sebenarnya Mang Maing yang butuh kopi. Dia membuka obrolan dengan semangat, cepat tanpa jeda sudah seharusnya mengatur nafas. Anggota SBK yang solider dengan hikmat menyimaknya.
Udin yang dikenal sebagai pengikut setia alam pikir serta gagasannya Mang Maing langsung menghirup kopi. Duduk disamping Mang Maing seperti pengawal. Samilun, melirik ke arah tumpukan berkas yang dibawa Mang Maing. “itu hasil penelitianmu, Mang? Wah, tebal sekali”. Sampaikan dengan ringkas saja lah, bisa sampai pagi nanti kita disini, Mang”.

“Baiklah.. ku sampaikan ringkasannya saja dahulu. Dengarkan.” Mang Maing menatap semua dengan serius. “Aku telah mengurutkan pohon silsilah leluhur pendiri kota kita ini. Juga sudah melakukan pengumpulan berkas yang cukup handal terkait dengan sejarah kita sampai ke negeri seberang. Berkas inilah buktinya. Singkat kata, ternyata banyak tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam membangun kota kita ini. Ada yang berasal dari negeri seberang, ada juga yang berasal dari pulau ini. Asli penduduk lokal pulau ini.”
“Kalau itu kita semua juga sudah mendengarnya dari dahulu, Mang! Apa yang penemuan besar?” Samilun protes dengan kening berkerut.
“Sabar dulu, lun.. kau belum mendengarkan inti dari penelitianku. Kalian pernah dengar  nama orang dengan julukan Panglima angin[1]? Itu ternyata bukan hanya legenda! Orang itu ternyata benar-benar ada! beliau asli penduduk pulau ini, dari kampung kita. Dia orang sakti mandraguna. Sangat sakti!.. dan cerita punya cerita aku ini masih keturunannya!”. Mang Maing menarik nafas panjang sejenak. Samilun tersedak, Udin melotot menatap Mang Maing, yang lain berhenti menghirup kopi.

“Aku bahkan melakukan pendekatan metafisika untuk penelitian ini. Metode pemanggilan roh. Aku sudah menerima wangsit dari Panglima Angin..dia hanya mau berkomunikasi dengan yang masih memiliki keterkaitan secara genetik”. Mang Maing berbicara seperti berbisik. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Semua fokus kepada ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Mang Maing. “informasi yang ku terima dari Panglima Angin, bahwa pulau kita ini dahulunya adalah pusat peradaban Atlantis yang terkenal! Dahulu kala semua orang di pulau ini memiliki kesaktian yang sama. Karena peradaban Atlantis itu sangat tinggi! Orang-orang dahulu sudah bisa menciptakan piring terbang, kapal selam canggih bahkan sistem telekomunikasi virtual tingkat tinggi! namun terjadi konflik politik dan sosial dan gempa bumi dashyat yang mengakibatkan peradaban itu menghilang!”.
“Panglima Angin menyampaikan padaku bahwa teknologi peradaban kuno yang hebat itu masih tersimpan di pulau ini. kunci untuk membuka tabir peradaban tinggi itu dipegang oleh satu orang setiap generasi. Dijaga secara rahasia secara turun menurun. Panglima Angin adalah salah satu penjaganya. Itu sebabnya dia memiliki kesaktian yang tinggi! Itu adalah bagian dari ilmu teknologi peradaban agung itu! Panglima Angin adalah penjaga kunci terakhir. Hanya dia yang mengetahui dan ditugaskan menjaga rahasia itu. Di akhir hayatnya, kunci rahasia itu disembunyikan di suatu tempat di pulau ini. Pencarian informasi yang ku lakukan merucut kepada satu tempat yakni Bukit Menumbing[2].  Tak salah anggapan orang yang menyebut bukti itu angker. Di salah satu gua yang tersembunyi disana terdapat tempat rahasia yang dapat mengungkap keberadaan dari peradaban yang hilang itu”.
“Mang Maing bertemu dengan roh Panglima Angin...?” Udin menatap takjub ke arah Mang Maing. “Hanya turunan asli yang bisa bertemu? Hebat sekali!”. Untuk Udin yang memang mengidolakannya, sudah tentu Mang Maing malam itu tampil bak superhero di mata Udin.
“Aku rasa itulah sebabnya Belanda membangun kastil di atas bukit itu dan mengapa Bung Karno juga memilih tempat diasingkan disana. Rupanya itu hal yang tersebunyi di tempat itu.” Samilun memejamkan mata seperti sedang menerawang. Yang lain terpekur, menunggu lanjutan kisah dari Mang Maing.
“Tepat sekali,lun” Bung Karno itu orang hebat yang memiliki banyak kemampuan. Salah satunya menerima aura alam tentang keajaibannya. Bung Karno mungkin sudah mengetahui bahwa disana ada aura magis yang kuat!” Mang Maing menimpali ucapan Samilun. “bahkan Inggris, Belanda dan Jepang pun sebenarnya ingin menguasai tanah ini karena maksud mencari kunci dari peradaban yang hilang itu. Timah dan Lada Putih hanya kedoknya saja”

“Sebentar dulu, mang..”. Japri, anggota paling muda di SBK yang berprofesi sebagai tukang sablon mencoba berkomentar. “ Apakah Mang Maing sudah menemukan kunci pembuka peradaban sakti itu? Sudah ketemu gua rahasia itu? Wah itu memang penemuan hebat abad ini!”
Mang Maing kemudian cengegesan. Kebiasaannya jika sedang merasa senang dan gembira. Kemudian dia merogoh sesuatu di dalam tasnya. Kemudian diletakkanya benda tersebut dengan perlahan diatas meja seperti barang keramat. Semua menahan nafas dalam diam dan rasa  penasaran. Suasana menjadi senyap.
Sebuah benda mirip seperti gelang berbahan tembaga dengan ukiran sederhana dan secarik kain tua tergeletak di atas meja. Semua mata menatap ke arah benda itu diiringi suara Mang Maing dengan volume kecil seperti berbisik. “ ku temukan benda ini di sebuah gua kecil di lereng bukit Menumbing. Dalam wangsit hasil komunikasi dengan Panglima Angin, benda ini lah yang akan mengantarkan aku menemukan pintu ruang rahasia dimana peradaban sakti itu disembunyikan selama ini. Di kain tua itu tertulis apa saja yang harus dilakukan untuk melengkapi penemuan ini. Tak banyak syaratnya. Hanya 2 ekor ayam kampung dan beberapa bumbu dapur”. Bicara Mang Maing seperti dukun sakti.  “Kalian harus saksikan, purnama tinggal seminggu. Disaat itu penemuan ini akan ku ungkap. Untuk sementara, tolong rahasiakan dulu perihal ini. Minggu depan kita bergerak”. Mang Maing tajam menatap semua anggota perkumpulannya bak panglima perang merumuskan strategi perang yang mumpuni. Serentak semua mengangguk mantap. Bahkan Udin langsung berdiri, mengambil sikap hormat bendera ke arah Mang Maing. Malam yang menegangkan bagi anggota SBK. Malam itu semua pulang dengan hati berdebar. Tak sabar menunggu hari yang dijanjikan Mang Maing.

Esok harinya, warga kota dihebohkan dengan berita razia petugas penjaga hutan di bukit Menumbing. Razia dimaksud untuk menangkap penambang timah ilegal di sekitar kaki bukit. Petugas mendapati para penambang ilegal lari dan bersembunyi di gua-gua yang sengaja mereka buat untuk menghindar dan menyimpan peralatan mereka dari pantauan para aparat penjaga hutan. Sudah banyak gua yang mereka buat di lereng-lereng bukit itu. Di gua itu bahkan sudah dilengkapi dengan dapur sederhana untuk mereka tinggal beberapa waktu disana. Kemiskinan memang memunculkan semangat, inisiatif dan kecenderungan yang tidak biasa. Termasuk rela tinggal dihutan belantara dengan resiko digigit ular cobra dan nyamuk hutan yang sadis.

Sudah lebih dari seminggu Mang Maing tak kelihatan batang hidungnya. Sepanjang itu pula Salimun, Udin, Japri dan Bang Ujang pemilik warung kopi menunggunya dengan gemas. Mereka sudah kadung kesal mengetahui bahwa barang keramat temuan Mang Maing yang lalu tak lain hanya barang bekas peninggalan penambang timah ilegal di Bukit Menumbing. Bahkan mereka sudah berikhtiar menjadikan Mang Maing tumbal, seserahan bagi penunggu Bukit Menumbing kala purnama bulan ini.
....



[1]  Panglima Angin adalah legenda di pesisir pulau Bangka. Seorang pendekar sakti yang terkenal hingga negeri seberang.
[2] Salah satu bukit di Pulau Bangka dengan ketinggian 455 DPL. Terdapat bangunan kastil yang dibangun Belanda di tahun 1928 yang kemudian menjadi tempat pengasingan pemimpin Republik Indonesia pada waktu agresi militer II Belanda di Indonesia.

Minggu, 07 Agustus 2016

Mang Maing Ke Jakarta



Mang Maing berangkat ke Jakarta. Tak ada informasi lebih lanjut. Entah gerangan apa yang membawa Mang Maing pergi ke Jakarta. Gerombolan SBK[1], kumpulan seniman tanggung yang biasa selalu se iya-sekata dengan Mang Maing terpaksa berkumpul membahas kepergian Mang Maing yang dirasakan tiba-tiba dan tanpa alasan. Di warung kopi Bang Ujang, suasana menjadi menghangat.
Samilun membuka obrolan. “ aku khawatir Mang Maing dipanggil Presiden ke Istana. Kalian tak dengar isu Resuflle kabinet? Jangan-jangan Mang Maing akan diangkat menjadi salah satu menteri di kabinet yang baru!”. Samilun menatap semua dengan tajam. Bayangkan! Bahaya kalau Mang Maing jadi Menteri. Itu sama saja dengan turun derajat! “
“Lho? Kok turun derajat? Baguslah kalo Mang Maing menjadi Menteri. Hebat itu namanya.kita-kita ini jadi temannya Menteri! Bangga dong!” Udin menanggapi Samilun. “Sekarang ini banyak orang ingin menjadi orang penting. Entah itu pejabat kecamatan, kabupaten, partai politik, sampai artis kampung dadakan. Tidak gampang lho jadi orang penting. Sogok menyogok katanya udah lumrah. Butuh koneksi dan biaya besar! “
“Iya, Samilun. Bagus lah itu”. Bang Ujang pemilik warung kopi ikut menimpali. “Mang Maing itu walaupun tampangnya tak jelas, sekolahnya juga tak jelas tamatan apa, tetapi beliau memiliki pandangan yang revolusioner. Mungkin saja Bapak Presiden tertarik dengan ide gagasannya tentang membangun negeri lewat kebudayaan. Membangun karakter bangsa dengan pondasi karakter lokal yang kuat! Mang Maing kan paling handal kalau bicara tentang budaya, seni untuk revolusi, pendidikan karakter, juga ekonomi kreatif berbasis kekayaan lokal daerah! cocok lah dia jadi Menteri ekonomi atau menteri pendidikan! Menteri pariwisata, kebudayaan juga cocok! Minimal wakil menteri lah”.
“Itulah yang tidak kalian pahami”. Balas Samilun. Apa kalian tak kenal Mang Maing? kawan kita itu mana cocok jadi bawahan? walaupun menteri tetap saja bawahan presiden. Mang Maing itu terkenal tidak dapat ditawar-tawar idealismenya. Ku ingat dulu dia pernah ditawari uang besar untuk jadi juru kampanye seorang calon gubernur. Mana mau dia! Dia lebih memilih jadi jongos metik lada dari pada harus menggombal janji-janji demi hak suara warga.”
“Nah, jika dia menerima jabatan menteri dari Presiden itu yang berbahaya. Bisa-bisa luntur idealismenya. Padahal kata Mang Maing, kita adalah raja di republik ini. Kita memilih presiden, gubernur, bupati untuk jadi pelayan kita. Kita punya wakil di lembaga legislatif untuk mengurusi kepentingan kita. Kita juga punya aparat hukum sebagai pengayom, penjaga dan pelindung hidup kita. Bahkan para birokrat di kantor-kantor yang megah itu pun adalah kacung kita semua! Kita adalah tuan mereka. Atasan mereka. Diatas kita Cuma ada Tuhan! Kata pepatah; suara rakyat adalah suara Tuhan! Makanya bahaya kalau Mang Maing jadi Menteri.. turun jabatan namanya! hilang hak eksklusifnya sebagai warga negara!” samilun seperti berorasi dengan berapi-api.
“Hoi, tumben ngumpul disini. Ngobrol seru kayaknya..Bang Ujang, kopi susu satu ya”. Tiba-tiba Mang Maing muncul dari belakang. Langsung mengambil tempat duduk tepat ditengah kumpulan.
Semua mata menatap ke arah Mang Maing tanpa dikomando. Terdiam menunggu momentum selanjutnya. Bang Ujang lah yang pertama mencairkan suasana. “Oi Mang, dari mana saja kau selama ini? Lama tak kelihatan. Ke Jakarta katanya?”. “Iya Bang.. sukses besar aku Bang. Kemarin ada kawan lama yang butuh batu akik kualitas bagus. Ku bawa lah koleksi batu akik kita kesana. Semuanya dibeli! Untuk bahan kontes gemstone tahun depan katanya. Hehehehe. Tenang kawan-kawan semua. Hari ini aku yang traktir semua kopi nya”. Mang Maing cengegesan tertawa gembira.
Sedetik kemudian semua menarik nafas panjang. Samilun pucat seperti tersedak. Bang Ujang langsung hilang menuju dapur.


[1] Seniman Batang Ketapang. Karena kebiasaan mereka berkumpul di bawah ketapang besar yang rindang, mereka sepakat mendeklarasikan perserikatan mereka sebagai Seniman Batang Ketapang.

Sabtu, 06 Agustus 2016

teror kota



Add caption
Sudah beberapa minggu ini kota dihebohkan dengan kegaduhan. Berita di koran, perbincangan di warung kopi, diskusi warga, hingga gosip ibu rumah tangga bertemakan hal yang sama. Kota ini sedang diteror! Bukan teror sembarang teror. Kali ini terornya adalah tentang senirupa! Dua minggu yang lalu, tiba-tiba warga dikagetkan dengan patung besar serupa tokoh legenda daerah berdiri seakan-akan dibangun sebagai tanda selamat datang memasuki kota. Minggu lalu, tiba-tiba saja tanpa pernah dipikirkan oleh semua pihak telah digambar berbagai  corak, gambar, motif dan tulisan di dinding-dinding pusat kota bak lukisan seniman mastro yang mempercantik interior kota. Dan minggu ini semakin gila! semua terhenyak ketika mendapati setiap jembatan utama di pusat kota, pasar induk, dan suasana pusat pertokoan kota sudah dilapisi dengan warna-warna indah lengkap dengan seni instalasi disepanjang jembatan serta lampu hias yang cantik menerangi sungai-sungai yang mengalir membelah kota!
Semua terkejut! Mulai dari ketua RT/RW, camat, kepala dinas tatakota, dinas pariwisata kebudayaan, tokoh adat dan ulama, kapolsek, kapolres, sekretaris daerah sampai bupati merasa tidak senang! Tidak ada perintah untuk melakukan pembangunan dan kegiatan itu! Warga bingung karena tak pernah diundang sosialiasi atas proyek itu. Para penggiat pemberdayaan masyarakat yang biasa disebut pengurus LSM tidak terima karena merasa tidak dilibatkan dan tidak dibagi proyek. Dewan kesenian kota dan dinas kebudayaan marah karena merasa didahului dan tak dimintai rekomendasi. Pihak berwajib dengan tegas menyebutkan aktivitas ini sebagai perbuatan melanggar hukum karena membangun serta melakukan aktivitas  di atas tanah negara tanpa izin dan harus dibongkar!

Alhasil, dengan melibatkan kerjasama yang efektif antara ketua lingkungan masyarakat, babinsa, pihak kepolisian dan jajaran Sat Pol PP, usut punya usut pelaku teror ini merucut kepada satu nama. Mang Maing. Mang Maing dan komunitasnya memang terkenal nyeleneh dan mengemari kesenian. Kadang kala, walaupun tak rutin, mereka sering terlihat mengambar bersama, mengajari anak-anak melukis, membuat pagelaran dan pameran.

Singkat cerita, berdasarkan instruksi pemimpin kota Mang Maing harus diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban. Seluruh jajaran aparatur sipil ditugaskan menangkap Mang Maing dan pengikutnya. Satuan Intel kampung bergerak mengendus keberadaan Mang Maing. Tetapi Mang Maing raib! Lenyap dari muka bumi, tak dapat ditemukan! Dicari dirumahnya, rumahnya kosong. Ditempat dia biasa berkumpul juga tak terlihat. Para pengikutnya di interogasi hingga pingsan. Tak satupun yang dapat memberikan informasi akurat dimana keberadaan Mang Maing.
Semakin lengkaplah kehebohan di kota ini! Warga semakin keras meminta pertanggungjawaban pemerintah atas kasus ini. Para pemimpin binggung, para aparat hilang akal menemukan keberadaan Mang Maing. Jadilah Mang Maing sebagai Buronan Kondang. Buronan atas perbuatannya yang dipantang tidak legal, diluar kebiasaan, tidak lazim, tak berkoordinasi, tak meminta restu, tak menghargai pandangan para tokoh budaya, pemangku adat dan pejabat yang berwenang. Berani-beraninya berekspresi tanpa sosialisasi! Ini namanya teror! Dan semua peneror harus dimintai pertanggungjawaban!

Masa berlalu. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Patung selamat datang memasuki kota sekarang dikenal dengan sebutan patung Mang Maing. Gambar di dinding-dinding kota mulai diperbaharui warnanya dan di mitoskan dengan sebutan karya mural Mang Maing. Jembatan-jembatan yang dulu direspon dengan seni instalasi indah semakin dipercantik dan menjadi landmark kota dengan sebutan jembatan Mang Maing I, jembatan Mang Maing II, hingga Jembatan Mang Maing X. Mang Maing sudah menjadi ikon kota. Legenda kota. Bahkan ada gagasan dari pemerintah saat ini untuk membangun tugu atas dedikasi Mang Maing untuk kota tercinta.

Tapi Mang Maing masih tidak muncul. Tetap hilang dan tak diketemukan.