Siapa yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan BMD di pemerintah daerah?
Selama ini, secara teknis pengurus barang lah yang menjadi sasaran segala hal yang berhubungan dengan penatausahaan BMD. Dari sisi pemeriksaan dan pelaporan, pengurus barang lah yang selalu menjadi pihak yang dimintai keterangan dan pertanggungjawaban teknis pengelolaan barang di lingkup SKPD yang dia tangani. Menjadikan mereka seperti “tersangka” di setiap musim pemeriksaan, baik secara intern dari Inspektorat wilayah maupun BPK perwakilan.
Padahal pada PP nomor 6 tahun 2006 dan Permendagri nomor 17 tahun 2007 yang menjadi “kitab suci” pengelolaan BMD, tanggung jawab pengelolaan BMD secara umum, berada pada 4 pihak. Pertama, Kepala Derah (Gubernur/Bupati), kedua adalah Pengelola Barang (Setda, dan dibantu oleh asisten yang membidangi dan Pembantu Pengelola Barang; Kepala Biro Umum/Kepala DPPKAD), ketiga adalah Penguna Barang (Kepala SKPD) dan terakhir Pengurus Barang di SKPD yang di tetapkan oleh SK Kepala Daerah setiap tahun. Dari sisi regulasi tentang pengelolaan BMD, disadari bahwa PP nomor 6 tahun 2006 dan Permendagri nomor 17 tahun 2007 memang belum mampu secara maksimal mengakomodir semua petunjuk teknis pelaksanaan pengelolaan BMD. Dari beberapa kasus hasil laporan pemeriksaan audit oleh BPK atau BPKP masih ditemui beberapa temuan pelaksanaan pengelolaan BMD yang tidak optimal akibat dari pemahaman tentang regulasi tersebut yang berbeda intepretasi dan berujung pada tidak maksimalnya pelaksanaan pengelolaan dari tahap perencanaan sampai TGR. Hal ini yang kemudian menjadikan Perda tentang BMD menjadi strategis dalam mengantisipasi masalah tersebut. Dari sisi teknis pelaksana pengelolaan BMD, khususnya di tingkat teknis SKPD (pengurus barang) juga signifikan terlihat kelemahan pada SDM pengurus barang baik dari sisi pemahaman tentang sistem dan prosedur penatausahaan dan sisi kemampuan teknis penatausahaan seperti pembuatan laporan,dan lain-lain.
Apakah hal ini penyebab paling krusial dari kelemahan pengelolaan BMD?
Pengelolaan BMD sering kali dianggap sebagai bagian dari pengelolaan keuangan daerah. Bila berada pada paradigma itu, pengelolaan BMD hanya ada pada dataran kelengkapan data untuk penyusunan neraca daerah khususnya pada persediaan, aset tetap (tanah, kendaraan/mesin,gedung/bangunan, jalan/jembatan, aset tetap lainnya), dan aset lain daerah. Padahal pengelolaan BMD lebih luas dari sekedar bagian dari pengelolaan keuangan daerah. Dalam teori management asset, pengertian me-“management “ aset bukan hanya bertujuan menghasilkan sebuah laporan aset yang akurat. Me-management asset berarti melakukan pengelolaan demi optimalisasi dan efesiensi sebuah organisasi. Tergantung visi dan misi organisasi tersebut, dan paradigma management asset adalah konsep utama dalam meraih hal tersebut! Pengelolaan aset berarti sebagai upaya untuk bagaimana mencapai targetan-targetan organisasi secara efektif, meminimalisir kerugian-kerugian, melakukan efisiensi, termasuk melakukan pengembangan-pengembangan organisasi dari sisi aset.
Pemerintah memang bukan organisasi yang berparadigmakan profit. Pemerintah adalah organisasi besar yang memiliki tujuan mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara umum. Baik dari sisi pelayanan-pelayanan dasar dan birokrasi penyelenggaraan kehidupan bernegara. Dari sisi ini hal utama yang menjadi perhatiaan dalam management asset adalah bagaimana mengelola aset daerah (BMD) untuk memaksimalkan tugas pemerintah dan mengoptimalkan pelayanan-pelayanan kepada masyarakat. Ketika bicara tentang ini kita akan bersinggunggan dengan beberapa indikator-indikator tingkat keberhasilan pemerintah secara umum. Di bidang pengelolaan keuangan biasanya yang menjadi ukuran adalah hasil audit pemeriksa keuangan oleh badan yang ditunjuk oleh negara, misalnya BPK dengan beberapa tingkat kualitas pengelolaan dan pelaporan. Ada Wajar Tanpa Pengecualian/WTP (unqualified opinion) di puncak level pengelolaan terbaik dan disclaimer sebagai level terburuk.
Apakah pencapaian kualitas pengelolaan BMD/aset ini mampu dicapai hanya dengan meletakkannya pada kemampuan pengurus barang di tingkat SKPD masing-masing?
Dengan kualitas SDM pengurus barang yang lemah, hal ini mustahil di raih. Dengan kemampuan SDM yang handal pengurus barang pun, hal ini masih sulit di raih! Secara pribadi, saya menghitung pengurus barang di SKPD hanya bertanggungjawab sebesar 30% keberhasilan pengelolaan BMD. 70% keberhasilan pengelolaan BMD, masih tersebar pada pihak lain yang juga memiliki peran besar dalam pengelolaan BMD. Pengguna barang, adalah orang nomor satu dalam SKPD yang berwenang melakukan perencanaan, penggunaan barang, memelihara, melakukan pengawasan BMD di lingkup SKPD nya. Apakah fungsi itu sudah berjalan dengan baik?
Pengelola barang (dibantu oleh pembantu pengelola barang) adalah pihak yang “mengelola” BMD secara umum di daerah. Di pundak pengelola lah, tahapan pengelolaan BMD memiliki blue print untuk dikembangkan secara teknis di SKPD. Baik dari sisi penatausahaan, pemanfaatan sampai dengan Tuntutan Ganti Rugi/TGR. Berapa banyak daerah yang memiliki konsep/blue print yang baik dalam pengelolaan BMD? Apakah Pemerintah daerah memiliki regulasi teknis misalnya Perda pengelolaan BMD di daerahnya? Apakah sudah ada sistem dan prosedur yang memuat bentuk tahapan penatausahaan BMD di SKPD? Apakah pengawasan BMD yang idle dan pemanfaatan BMD sudah diukur dalam usaha pencapaian target pemerintah?
Pihak puncak dalam pemerintah daerah adalah kepala daerah. Dari sinilah segala kebijakan intern birokrasi pemerintah berawal. Di sisi penatausahaan BMD, kepala daerah menetapkan status pengunaan BMD, penyetujui rencana kebutuhan barang daerah, penetapkan penghapusan, dan banyak lagi kebijakan teknis tentang BMD. Dalam bahasa yang lebih trend; political will kepala daerah sangat menentukan warna birokrasi, termasuk dalam pengelolaan BMD.
Melihat peran-peran yang vital pada tingkat pihak-pihak diatas, bagaimana mungkin pengurus barang mampu menjadi penentu keberhasilan pengelolaan BMD?
Secara umum, ada tiga hal utama yang menjadi perhatian penting dalam upaya keberhasilan pengelolaan BMD. Pertama, comitment yang tinggi. Semua pihak yang berkaitan dalam pengelolaan BMD harus memiliki paradigma yang sama dan sepakat untuk melaksanakan sebuah sistem pengelolaan yang terintegrasi baik secara teknis dan kebijakan intern. Mulai dari kepala daerah, sampai pengurus barang di SKPD memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi sesuai dengan peran masing-masing dalam pengelolaan BMD.
Kedua, political will yang besar dari kepala daerah, setda dan kepala SKPD. jika mau jujur, kepala daerah, setda dan kepala SKPD lebih disibukkan dengan pengelolaan keuangan daripada melakukan pembinaan pada pengelolaan BMD. Dibutuhkan semacam ketegasan dalam policy intern, untuk lebih menitikberatkan focus penatausahaan BMD dari pengambil kebijakan demi menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi pengelolaan BMD khususnya penatausahaan. Misalnya dengan menganalisa tingkat kualitas dan kuantitas SDM pengurus BMD di SKPD, apakah sudah dirasakan kompeten dengan kondisi yang ada? Apakah jumlah SDM di bidang Aset yang menjadi ujung tombak pembantu pengelola sudah dirasakan cukup? Apakah kompensasi pengurus dan penyimpan barang dirasakan sudah tepat dan seimbang dengan beban kerja dan tanggung jawab pengurus/penyimpan barang?
Hal ketiga yang tidak kalah penting adalah sebuah tim yang solid. Banyak hal yang terjadi dalam usaha optimalisasi pengelolaan pemerintah bukan pada sarana dan prasarana yang baik tapi lebih pada kebutuhan SDM/staf yang solid, terdidik dan berkomitmen tinggi. Bayangkan jika sebuah organisasi sudah dilengkapi oleh peralatan dan sarana yang terbaik bahkan dengan sistem modern dalam bentuk aplikasi komputersasi sekalipun tapi tanpa dilengkapi SDM yang solid, terdidik dan berkomitmen. Niscaya segala kemudahan teknologi tersebut hanya sia-sia, dan tidak memiliki nilai guna yang diharapkan karena tidak maksimal digunakan untuk kepentingan yang diinginkan. Dalam penatausahaan BMD, staf bidang aset DPPKAD menjadi fokus utama untuk menjadi sebuah tim yang solid dalam fungsinya menjadi koordinator penatausahaan di seluruh SKPD, melakukan penghimpunan pelaporan, melakukan kajian-kajian pemanfaatan, melakukan pengawasan penggunaan, dah hal-hal lain sebagai jembatan antara SKPD dan Pengelola barang daerah.
Hal diatas bukan sebuah upaya untuk mencari kelemahan dan kesalahan para pihak dalam sebuah siklus besar bernama pengelolaan aset/barang milik daerah. Sudah bukan saatnya untuk menyalahkan, tapi di titik ini lebih baik bersama-sama untuk kembali meluruskan persepsi untuk memperbaiki semua ke tujuan bersama. Bukan hanya demi capaian indikator keberhasilan auditor dengan opini wajar tanpa pengecualian saja, tapi ke tujuan yang lebih besar dan utama; penciptaan pelayanan yang handal kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar