setidaknya masih ada "celah". untuk menepi dari jalanan yang ramai dan hiruk-pikuk. berhenti sebentar,mencatat, untuk tetap ada..sebelum hilang dan terlupakan.
Kamis, 27 Januari 2011
Bukan mengurai kepedihan
Dia tertidur berbarengan suara klakson kereta mereda. Harmoni antara bunyian di rel, gemuruh obrolan penumpang dan desiran angin. Mengenggam tanganku, bersandar di bahu. Nafasnya teratur terasa. Lelahnya yang juga terasa.
Ku mengatur nafas yang sama. Mencoba menjadi satu dengannya, minimal dalam satu denyut nafas yang teratur. Biarlah dia nyaman sejenak, tak terganggu oleh apa pun. Tidak juga olehku.
Aku rasa tak mudah menjadi dia. Setidaknya dia yang ku kenal.
Hidup memang tak selalu mudah. Semua tau itu. Tapi menjalani hidup yang tidak mudah,tidak semua orang tau dan bisa. Secara heroik, disana letak para pemenang. Dan sisanya adalah orang-orang yang kalah. Bias memang. Di setiap kekalahan selalu melahirkan pembelaan. Alasan untuk menjadi kalah, dan menang pun bukan sebuah hal yang mewah di mata si kalah. Tapi yakinlah itu adalah pledoi. Dunia hanya mengenal sang pemenang. Setiap dari kita hanya mengingat yang pertama; yang pertama menginjakkan kaki ke bulan, si pertama yang bicara tentang relativitas, si pertama yang mengelilingi dunia, dll. Pernah kamu mengingat siapa yang ada di urutan kedua?
Sadarlah, mengapa susah mengaku kalah?
Dan dia tidak terkalahkan. Hidup memang tentang memilih. Di setiap tikungan jalan, langkah selalu dihadapkan dengan pilihan. Setiap waktu kita hanya dihabiskan oleh kegiatan memilih, memilih dan memilih. Sama seperti berdiri di depan rak sepatu, memilih sepatu mana yang kamu inginkan, seperti melihat ke tumpukan novel di obral toko buku, sama seperti menghadapi soal ujian dengan pilihan ganda. Dan kamu harus memilih, seperti apapun pilihan itu. Lalu seperti kamu gagal melewati ujian sekolahmu, tidak lulus, seperti itulah penentuan dari setiap pilihanmu. Win or lose. Simple. Tapi dak mudah melewatinya. Setiap orang memiliki ability dan willingness yang berbeda – beda. Se simple memahami konsumsi adalah fungsi dari pendapatan yang mempengaruhi kemampuan orang untuk memperoleh utility, setiap orang memiliki batasan atas kemampuan untuk memilih cara, jalan, apapun itu ; yang nanti dilihat sebagai sikap untuk menjalani hidup dengan membawa kemenangan atau kekalahan yang sudah ada. Siapapun dia, dimanapun dia, sebagai apa dan mengapa dia seperti itu.
Padahal jalan tak akan pernah habis. Kamu akan selalu berjalan. Suka tak suka, mau tak mau, kita akan selalu berjalan. Kemana pun itu.
Seperti kereta ini. Bergerak maju kedepan. Meninggalkan penumpang yang turun. Berhenti pada persinggahannya, bergerak maju mengantarkan penumpang lain yang masih harus ada di tempat di depan sana.
Dia masih tertidur. Sejenak lelap dalam diam. Mengistirahatkan energi yang harus tetap ada ketika bangun, meletakkan kelelahan di tempatnya, menyimpan kenangan baik di relung hati sebagai amunisi semangat untuk senyum yang dibutuhkan, meredakan amarah dan dendam yang pernah ada.
Biarlah dia tetap tidur. Dia butuh itu. Angin datang padanya, menyanyikan tembang akrab yang hanya dia bisa dengar di pikiran dan hatinya. Lelaplah dalam damai sayangku.
Aku mengenal beberapa orang sepertinya. Tapi hanya sepertinya, tidak benar-benar mirip sepertinya. Tidak unik seperti dia menyelesaikan masalah, tidak setangguh dia mengatasi getir, tidak juga larut dalam takut. Tenggelam dalam sesak. Setidaknya, tidak ada yang bisa se-spesial dia untuk ku. Aku ingin selalu mengenggam tangan seperti ini. Membuatnya nyaman denganku. Memang hanya ini yang aku bisa.
Di beberapa sisi, aku mengerti bagaimana menjadi dia. Sadar, aku pun tak akan bisa menjadi dia. Secara pribadi. Bagaimana harus bertahan, dan meng upgrate diri agar tetap menjadi.
Siapa yang bisa melawan waktu? Waktu selalu berkhianat pada tempat yang tepat. Menikam, menampar kesadaran pada ketidakinginan dan fakta yang kita sembunyikan. Perempuan, sejak zaman cleopatra, di era madonna dan sampai kepada perempuan di pedalaman kampung naga, memperhias diri, melatih diri demi terlihat indah dan muda. Masa ke emasan wanita yang selalu ingin di pertahankan. Tak ada perempuan yang rela tua dalam kemalangan! Dalam ketidak ber artian mereka menjadi wanita. Mereka malah bersedia saling mengalahkan demi terlihat “cantik”. Women homini lupus.
Jangan salahkan perempuan indonesia yang menjadi centil dan bergaya,mereka menjalankan titah warisan genetik meski harus berubah dalam bentukan genetik paling ekstrim; “Alay” tropus erektus!
Aku melihat ke arahnya. Dia masih tertidur.
Ada beberapa rambut yang putih di kepalanya. Dia memang tidak muda lagi. Tapi kamu akan sadar ketika melihatnya tertawa. Energi itu masih besar disana. Dia hidup. Sangat hidup. Memukaumu dan bilang; dia sangat menarik. Seperti kumpulan kunang-kunang di malam yang dingin dan gelap, geraknya menyita pandangan. Dia bahkan menyita pikiran. Aku yakin dia akan masih memukau aku dengan segala hal yang tidak terpikirkan. Sudah ku tau, dia punya banyak cara mempesona bukan dengan berdandan mempertahankan keindahan ke”perempuan”an nya tapi dengan menjadi dirinya.
Dia adalah wanita. Se wanita nya wanita.
Sejauh mengenalnya, aku mencari kepedihan. Menelusuri sisi hitam, seperti warna di pinggiran matanya. Dia tak memiliki itu. Kemana kepedihan-kepedihan itu?
Aku selalu salah menganalogikan dia. Bahkan dia untukku dan aku untuknya. Aku yang membutuhkannya. Membacanya seperti buku yang ku suka. Mendengarnya seperti aku mendengar frank sinatra bernyanyi. Melihatnya seperti aku memandang senja. Mencari kepedihan yang ada padanya, mencoba masuk dan bersikap berpura-pura seperti laki-laki gentlement yang berkata; ”kamu akan baik-baik saja. You be save here”..
Dan dia tak membutuhkan itu.
Hidup seperti perjalanan. Seperti aku dan dia di dalam kereta ini. Kadang kita bertemu dalam ketidaksengajaan yang indah.seperti serendipity. Dia masuk dalam pikiran sampai ke hati tanpa bisa ku hentikan. Aku yang hadir tanpa dia bisa duga.
Saling membutuhkan dalam persepsi yang absurd.
Stasiun sudah di depan. Tempat untuk turun dan berpindah tempat. Lagi. Aku mengenggam tangan lebih keras. Mengecap genggaman ini. Merekam sentuhan ini ke dalam hati. Di stasiun itu baru akan ku lepaskan genggaman ini. Membiarkan dia terbangun oleh suasana yang bertugas membangunkannya. Kau dan dia akan berjalan di pilihan masing-masing. Kodrat masing-masing.
Pertemuan memang memiliki saudara kembar yang menyeramkan;perpisahan. Kadang juga lengkap bersenjatakan sesal dan airmata. Tapi belajar darinya, tak ada sesal. Tak ada airmata. Aku masih akan mengenggam tangan itu. Berjalan beriringan dengannya. Tertawa bersama memandang pilihan-pilihan hidup. Bukan mengurai kepedihan. Tapi merayakan kemenangan-kemenangan. Karena kita tak pernah kalah. Setidaknya tak akan lagi kalah.
Solo –jogja, 26 januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar