setidaknya masih ada "celah". untuk menepi dari jalanan yang ramai dan hiruk-pikuk. berhenti sebentar,mencatat, untuk tetap ada..sebelum hilang dan terlupakan.
Sabtu, 03 September 2011
Lelaki yang memiliki dan dimiliki kampungku
Namanya ferry.
Banyak orang mengingatnya dengan beragam ingatan. Seperti juga aku yang mengingatnya dengan ingatan tersendiri.
Ini adalah kisah tentang dia.
Sebuah kisah tentang hidup yang tak pernah tertebak.
Temanku lahir di tengah-tengah ketidakmapanan, kesemerawutan sosial yang timpang. Bapaknya seorang buruh pabrik lepas di perusahaan timah yang sewaktu itu adalah raksasa pemakan segala. Sangat berkuasa dan berpengaruh di paruh waktu 80-an. Perusahaan timah pada waktu itu adalah gurita yang mencengkram pulau. Tak ada yang bisa luput darinya. Secara makro-mikro. Dari usaha hulu ke hilir, dari besar ke kecil, bentuk produksi ekonomi di dominasi perusahaan timah. Penduduk pulau ini, adalah hambanya. Dari sekolah TK sampai panti asuhan. Dari toko kelontong yang dibina oleh perusahan, sampai pemain bola voly yang di subsidi. Tak ada yang tak punya ketergantungan terhadapnya. Untuk sebagian kecil orang, perusahaan adalah dewa pelindung yang baik hati. Seperti dewi Sri bagi petani di tanah jawa, mereka menyembah perusahaan dan meletakkan perusahaan diatas segalanya.
Yang di sayang si dewa pelindung, hidup dengan sentosa, sementara bagi mereka yang tak mendapat belas kasih si dewa, hidup bagai kasta terendah dalam pembagian golongan masyarakat hindu. Menjadi buruh parit yang menambang pasir setiap hari, atau buruh pabrik yang berteman panas api pembakaran timah. Cepat tua, pemarah dan sakit-sakitan.
Ibunya wanita santun. Tapi lemah seperti kembang putri malu. Kau sentuh sedikit saja akan hilang kuncupnya. Seperti kelahiran temanku, anak terakhir yang menuntut konsekwensi kematian ibunya.
Temanku dibesarkan dalam keluarga miskin dan cacat pula. Sang ayah yang pendiam dan pemarah. Hanya mampu menunjukan perhatian dengan larangan dan amarah. Dia tak sendirian. Dia memiliki lima saudara. Dua lahir dengan keterbelakangan pemikiran, tak mampu bertahan hidup dalam waktu lama di dunia yang terlalu menempatkan kecepatan berpikir daripada kejernihan hati. Satu lagi saudara laki-lakinya bertranformasi menjadi perempuan ketika aku SMA. Terakhir ku dengar kabar dia meninggal, masih dengan atribut transformasi ke-perempuan-annya.
Tinggal dua saudaranya sekarang, satu istri rumah tangga biasa, satu lagi karyawan kebun sawit. Tapi sejak ayahnya meninggal, dia memilih tinggal sendiri.
Sejak kecil, ferry terlihat berbeda dengan yang lain. Orang sekampung tahu, dia selalu bertingkah kekanak-kanakan. Sebagian selalu memaklumi itu. Dia besar tanpa kasih sayang ibu. Tanpa cara perhatian ayah yang tepat. Saudara-saudaranya pun tak mampu berikan itu padanya. Selalu inginkan diperhatikan, dimanja, walau terkesan konyol dan menjadi olok-olokan orang. Hanya saja, kualitas kekanak-kanakannya meningkat seiring dia tumbuh dewasa. Dia hanya sempat sekolah sampai di kelas 3 SD ketika pihak sekolah terpaksa mengeluarkannya karena tak lagi mampu mentoleran tindakan anarkis ferry yang melempari guru matematika dengan batu hingga pingsan. belakangan kami paham, pak guru itu pernah membentak lalu memukulnya. Pak guru itu salah memilih lawan. Ferry pernah membakar rumahnya yang dianggap menyimpan kesedihan, Mengali kuburan belanda yang angker di dekat kampungku, pendam-pendam cina di kampung sebelah, dan beragam keluarbiasaan ferry yang tentu saja tak selalu mampu dimaklumi orang sekampung. Kampungku yang berdekatan dengan pasar, terminal angkutan, pelabuhan bongkar muat beserta atribut kriminalitas lokal kota kecil akhirnya me infeksi ferry. Sangat logis, ferry yang sangat mudah terpengaruh akhirnya bertemankan para brandalan pasar. Resedivis dan bromocoran kelas kampung. Terkadang terlihat dia ikut dalam proyek maling kecil-kecilan. Dari maling hasil kebun tetangga, sampai ke penodongan. Sejak itu, dia memiliki nama belakang. Ferry si ”maling”, sebagai tradisi orang melayu untuk membedakan dia dengan nama ferry-ferry yang laen.
Bisa ditebak, keluarbiasaan ferry semakin fenomenal dari hari ke hari. Dia sudah terbiasa mabuk-mabukan. Pelariannya dalam ketidak dewasaan kasih dan kepedulian dari orang terdekat. Menambah satu lagi nama belakangnya. Ferry si ”pemabuk”. Ketika mabuk, ramailah kampungku dengan kelakuannya. Dia akan bernyanyi dengan berisik bersama nada gitar yang tak tentu arah. Tak perduli malam hari. Terkadang, jadilah dia bulan-bulanan para lelaki kampungku. Di gebukin sampai babak-belur. Tapi ferry semakin eksis!
Ketika ku SMA, kampungku pernah dihebohkan dengan kabar ferry yang pergi merantau. Dijual semua yang dia punya, serta ditambah dengan hasil dia menguras kebun-kebun orang di kampung. Di pergi ke jawa. Satu tujuan yang dia inginkan; menemui Nike Ardilla!
Tak berlangsung lama, tak sampai setahun dia kembali ke kampungku. Tak ada kisah yang bisa ditelusuri dari perjalanan rantaunya. Tapi dibayanganku, ku yakin tetap fenomenal.
Ferry kembali pada kebiasaannya. Pada profesi minornya. Tapi kali ini dia bersolo karir. Jadilah dia pencuri serabutan. Dari panci dapur yang lupa di masukan, mesin pompa air sumur, ayam jago, dan segala rupa. Di kampung sebelah, nama ferry sama terkenalnya dengan nama calon anggota legislatif yang sedang berkampanye. Tapi bukan untuk dipilih mereka, justru malah dicari dan digebukin. Beruntung ferry tak memilih aksi menjadi anggota legislatif saat itu. Karena akan mudah untuk orang-orang mendapatkannya.
Dalam tahun –tahun berikutnya, dia menjadi rutin menghuni penjara. Nama yang lebih manusiawi; lembaga permasyarakatan. Tapi ternyata belum juga memasyarakat kan ferry ke dalam masyarakatnya. Apa penjara bisa memberikan kasih sayang dan mengobati orang sakit hati? Pukulan serta hinaan, caci maki justru membentuknya semakin keras. Keras hati dan pikiran. Bengkok sebengkok-bengkoknya. Semakin menyimpang dari perangai umum, menempatkannya seperti sampah dalam masyarakat. Orang-orang di kampungku melihatnya sebagai perusak nama baik kampung, tanpa mereka sadar tatapan sinis itulah yang memicu perangai ferry semakin buruk. Dia hanya butuh dipedulikan dan lingkungannya menyakitinya.
Lebih dari 4 tahun ku tak lagi mengetahui kabar dan perkembangannya. Aku pergi ke luar kota. Sampai lebaran tahun ini, ku pulang kampung. Beberapa hari yang lalu, ku lihat dia dipinggir jalan. Menenteng karung besar.
Pada malam hari, ku bertanya ke pada mamakku tentang ferry. Dari cerita mamak, ferry pernah masuk ke rumah sakit jiwa. Setelah keluar dari sana, dia terlihat bersih dan gemukan serta dengan satu kelakuan baru yang mengejutkan. Entah apa dan bagaimana dunia merubahnya, mungkin ada sosok seperti madam Theressa yang mengasihi dan membasuh lukanya di rumah sakit itu,sejak itu ferry jadi orang yang lebih ramah. Semua perempuan tua di kampung ini dipanggilnya ”Nyai”. Selalu meminta maaf pada para tetua ketika berpapasan. Mencium tangan! Terkadang, di jumpai ferry duduk terpekur di surau kami. Membantu memetik buah kelapa atau hasil kebun lain, dan menyerahkannya tanpa mau dibayar! Orang kampung bingung dibuatnya. Pernah suatu ketika, dia datang ke rumahku. Bercerita kepada mamakku dia ingin pergi berlayar. Dia bilang, harus punya KTP untuk itu. Tapi dia tak punya uang sama sekali. Di beri uang oleh mamakku, dan beberapa hari kemudian dia datang menunjukkan KTP atas namanya. Berterimakasih dan akan mengabarkan kalau dia nanti berangkat berlayar. Tapi dia kunjung pergi berlayar. Mungkin masih ragu kapten kapal membawanya. Setidaknya, dia menunjukan bahwa dia bersungguh-sungguh dan bisa dipercaya oleh mamakku.
Ferry juga membuat terkejut para cukong cina di pasar. Kegiatannya sehari-hari adalah berkeliaran di pasar. Menawarkan tenaganya untuk diperkerjakan secara serabutan. Kadang, dia membantu mengupas kelapa, kadang di toko kelontong milik cina dan hal yang membuat binggung para cukong cina itu, ferry tak mau dibayar dengan standar upah minimum pekerja serabutan pasar. Dia hanya mau menerima sepertiga dari yang dibayarkan. Katanya, hanya sebesar itu yang di butuhkan dan layak dia terima. Tak membutuhkan lebih dari itu. Orang cina tak kenal perangai seperti itu tapi dengan senang hati terus memperkerjakan ferry disitu.
Perubahan ini terlalu dramatis untuk orang melayu kampung seperti kami. Semua orang di kampung ini tiba-tiba merasa tersentuh, dan memiliki orang unik ini. Anak lelaki yang sudah memperbaiki tingkahnya, polos, hidup sebatangkara, tanpa pekerjaan layak, dengan segala keterbatasan. Tetangga-tetangga mulai sering memperhatikan dia, memberi beras dan lauk-pauk, pakaian bekas, uang atau sekedar berniat menawarkannya makan bersama kalau dia kebetulan lewat di depan rumah. Tapi selalu ditolak olehnya. Dia hanya mau makan dari uang keringatnya. Satu kampung dibuat sedih dalam haru.
Dua hari pasca lebaran, tanpa sengaja ku temui dia di belakang rumah. Sibuk memilih-milih sampah, mengambil sisa kaleng bekas. Ku sapa dia. Ramah dia membalasnya. Ku ulurkan tangan sambil berkata, ”minal aidin, bang..masih lebaran kan hari ini?”
“Wah, dek.. maafkan saya. Tahun ini saya tidak bisa lebaran. Puasa pun tidak. Maklum, sering sakit-sakitan badan ini. Pikiranpun ikut tak jernih. Tak berani saya berpuasa. Tahun depan lah ya kita bersilahturahmi. Mudah-mudahan masih diberi kesempatan.”
Aku tertegun. Jawabannya terlalu hebat untuk ferry yang pernah ku kenal. ”kalau begitu naik lah dulu ke rumah bang.. makanlah dulu bersama kita”..
”Saya sedang berkotor-kotor ini. Di laen waktu lah,dek.. inilah sambilan saya. Kaleng-kaleng ini lumayan untuk dijual. Seribu lima ratus satu kilo. Buat makan saya hari ini.” sambil senyum lalu sibuk lagi memilih kaleng di tempat sampah.
Aku kehabisan kata..refleks ku ingat ada uang lima puluh ribu di kantongku. Ku sampaikan kepadanya, ”untuk beli rokok,bang”.
”..Ah, lebih baik kau berikan pada yang benar-benar membutuhkan. Saya masih bisa mengkais rejeki. Seperti ini. Atau, besok kan hari jum at. Masukkan saja ke kotak amal waktu sholat jum at. Jangan kasihkan ke saya. Tak benar-benar saya membutuhkan.”
dia tersenyum lagi, lalu berlalu sambil bersenandung kecil. Meninggalkanku yang kebingungan dengan sikapnya. Betap hati yang berubah, bisa menyisakan warna-warna indah. Aku larut dalam keharuan.
Rupanya seperti ini juga orang sekampung dibuatnya bingung. Ku berpikir ferry tak benar-benar berubah. Dia masih menyisakan ferry yang pernah kami kenal. Selalu membuat keluarbiasaan dengan caranya yag polos dan sederhana. Hanya saja, kali ini dia tak lagi membuat kami kesal dan mencacinya. Sebaliknya, rasa haru dan peduli yang dulu dia inginkan sejak kecil.
Tak diragukan, kau sudah memiliki dan dimiliki kampung ini, kawan..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar