setidaknya masih ada "celah". untuk menepi dari jalanan yang ramai dan hiruk-pikuk. berhenti sebentar,mencatat, untuk tetap ada..sebelum hilang dan terlupakan.
Jumat, 24 Desember 2010
pelajaran tentang komitmen : review up in the air
Seberapa berat kalian berjalan?
..bayangkan kalian membawa ta ransel..aku ingin kalian merasakan nya..berjalan, membawa tas ransel di pundak kalian masing-masing.
Sudah kalian rasakan..?
Aku ingin kalian memasukkan tas itu dengan barang-barang pribadi dalam hidup kalian.
Keperluan kalian sehari-hari..rasakan berat nya.
Tambahkan lagi dengan barang-barang berat lainnya.
Tas mu akan semakin berat dan mulai menjadi besar.
Masukan lagi dengan sisa barang kalian yang kalian punya.
Mobil, rumah, studio dll..kalo bisa masukkan semuanya.
Sekarang cobalah berjalan
Sulit bukan?
Itulah yang kita lakukan setiap hari.
Kita selalu melakukannya sampai kita lelah
Dan jangan lakukan!
Kita berusaha menyiapkan semua, segala sesuatu di dalam hidup, agar tidak terjadi kesalahan..tanpa kita sadari, itu lah yang menjadikan nya berat.
Itu lah cara hidup kalian selama ini.
Sekarang coba buang barang-barang yang tidak ingin ada di dalam tas ransel itu.
Barang apa yang kalian ingin tetap tinggal disana?
Foto?
Foto hanya untuk orang yang tak mampu mengingat dan hanya membebani nya dengan ingatan!
Biarkan semua nya terbakar dan bayangkan besok kalian tanpa apapun.
Melegakan bukan?
Ryan Bingham ; Up in the Air
saya menonton film ini lebih dari 5 kali,bukan karena pengemar goerge clooney (meski filmnya selalu menjadi referensi) tapi karena betapa ringannya "fell" film ini dipahami, dekat dengan pertimbangan banyak orang. "the story a man ready to make conection". simpel kan? seberapa siap sebenarnya kita mengambil keputusan untuk terikat dalam sebuah hubungan yang ber "komitmen"? di setiap celah, simpangan jalan yang kita hadapi?
setiap dari kita, punya pemahaman sendiri tentang nilai yang dia pahami dari sebuah hubungan antar manusia. di dalam pandangan ryan bingham, tidak ada hubungan timbal balik yang setimpal di dalam hubungan itu. hubungan pribadi seperti ryan, dengan pencapaian individu dengan koorperasi, institusi yang menyediakannya fasilitas dalam hidup lebih kongkret dari pada hubungan dengan antar manusia. absurd?
mungkin.tapi coba sadari, bagaimana komitmen kita muncul? apakah berdasarkan kejujuran, kesetiaan? apa itu kejujuran dan kesetiaan?
komitmen pada pekerjaan, lebih efisien dan terasa menjadi sebuah keharusan. seorang pekerja di jakarta rela bangun di setengah 5 pagi,bersiap pergi ke kantor, pulang ke rumah di jam 9 malam yang dimaknai sebagai sebuah keharusan. orang berusaha melakukan yang terbaik untuk pencapaian dalam pekerjaan nya,menberi yang terbaik dari yang dia punya demi status sosial mereka dan ketika mobilitas dalam pekerjaan ini menjadi lebih efisien, dan keuntungan yang dia dapat semakin besar, komitmen ini akan semakin bernilai tinggi. kita sudah mencintai pencapaian pribadi ini melebihi makna dari komitmen itu sendiri. komitmen telah berubah bentuk dan makna.
menjadi mesin dalam dunia yang sudah terlanjur dimaknai dalam paham yang materialis dan konsumeristik, adalah wajar untuk bergerak secara cepat, efisien dan efektif.apa perlu menggunakan hati? hati hanya mebebani. masa lalu hanya menjadikan gerak ini menjadi berat.filosofi ryan, menjadi realistis kan?
membawa hati dan masa lalu,romantisme, hanya akan membawa kita pada resiko yang tidak bisa kita prediksi. siapa yang tau dia akan patah hati dan berdarah-darah? kebanyakan dari kita mungkin menyukai tantangan, pandai bermanuver untuk hidupnya tapi sifat dasar manusia adalah menghindari resiko. tidak suka akan kejutan buruk.
mungkin komitmen terhadap pencapaian yang kuantitatif ini adalah semu tapi tidakkah kita melakukannya dan rela berselimutkan itu?
Annelies untukku
Kadang,..Seorang kawan datang untuk mengoyak ketenangan. Tapi dia mengoyak sesuatu yang memang pantas di perbaiki. Digantikan dengan hal baru. Sesuatu yang mapan di dalam hati pun kadang harus di rawat, dihiasi kembali, atau mungkin diperbaiki bagian yang rusak agar tetap menjadi mapan.
Dia bicara tentang apa yang harus dilakukan.
Kawanku itu memang “tengil”. Sesukanya merusak suasana yang ku usahakan “baik-baik saja”. Padahal memang belum baik bahkan tak baik. Dia adalah kawan yang sederhana menelanjangi sesuatu yang tertutup-tutupi. Menguak polesan-polesan penutup aib. Dengan lugas dan tak berbasi-basi, meyerang kelemahan sekaligus menggugahnya agar menjadi kuat.
Dia mengomentari tempatku hidup hari ini. Rumahku yang memang, ku usahakan baik – baik saja. Aku belajar banyak dan aku melupakan banyak tentang itu. Dibanyak waktu, kami sudah sangat sering memahami das solen dan das sein yang ada.
Antara hal yang seharusnya terjadi dan fakta yang ada. Di studiku pun, dari asumsi pertumbuhan linear, struktural, dependensia sampai ke neo-klasik dan teori baru pun berusaha menjawab sebagian pertanyaan itu, meski masih ada pertanyaan lain yang masih tersisa seperti tentang bagaimana lepas dari rantai kemiskinan?pertumbuhan versus pemerataan?
Siapa yang tidak setuju, Republik ini bagian dari jajahan neo klasik yang menentang revolusi? Hampir semua fatwa neoklasik terjadi disini. Swastanisasi BUMN, pasar bebas, deregulasi pemerintah, campur tangan pemerintah yang minim,dll. Asumsi pembangunan selalu dimulai dengan kata kunci = pembentukan modal, yang diterjemahkan investasi.
Bagaimana melepaskan diri dari jebakan jejaring pasar global dan melindungi masyarakat yang rentan menjadi korban globalisasi? Apakah kekuatan kapitalisme global tak terbendung? Di mana negara saat rakyat menjerit dan mengharapkan intervensinya? Deregulasi tanpa kontrol menggerogoti kekuatan negara.
Padahal, pemerintah negara berkembang harus lebih berperan melindungi rakyat dari mata pedang globalisasi yang melukai.
Ya kawan, terimakasih. Rumahku memang masih jauh dari nyaman untuk ku tempati. Masih harus ku benahi atau aku yang membenah diri.
Ku mencintai seseorang untuk kisah dan ide pikiran. Menjadi menyenangkan larut berpikir dengannya. Dia seperti rumah untuk berpikir. Dan kepadanya semua ini aku kisahkan. Ketika aku selesai bicara,..dia melihat kearahku dengan mata coklat nya jelas tegas menatap, berkata; ”Apa yang harus kita lakukan?”
Seandainya saja 150 tahun lalu ada seorang belanda-menado sepertimu berkata seperti ini kepada ku seorang bumiputra, tentu situasinya tidak begini. Betapa ini membawa warna lain di hati. Sejenak, ku letakkan hatiku padamu. Membenahi semangat yang sedang tumbuh dan tumbuh. Setidaknya membantah pesimisku tentang sesuatu hal berbau import itu berefek buruk terhadap pikiran ketimuran sepertiku.
Berbicara tentang idealisme yang membara, secara kebetulan yang tak beraturan membawaku pada hal-hal lain yang menyenangkan juga riskan. Jika seorang kawan kadang datang mengoyak ketenangan dan pikiran, seseorang perempuan datang untuk ku biarkan masuk ke dalam hati. Melakukan hal sesukanya, menata hatiku dgn hati-hati seperti designer interior sebuah hunian, atau malah mengobrak-abrik hunian hati ini seperti habis dilanda gempa tektonik diatas 8 SR selama 10 menit!
Ya, mencintai seseorang mungkin berarti sama dengan membiarkan kita untuk disakiti oleh orang lain? Hati; pusat segala simpul rasa berasal. Bagian tubuh mana yang ada pada manusia yang mampu memerintahkah hati untuk bereaksi? Justru hati yang memerintahkan otak,dan semua organ untuk bereaksi atas petunjuk yang hati rasa dan karena itu aku percaya, bagian tervital yang sering jadi sasaran serangan untuk spesies mamalia yang bernama manusia adalah hati nya!
Tapi tak mengapa lah,..hatiku merasa nyaman untuk menyediakan tempat untuknya tinggal dan berlama-lama disana. Ku percaya dia akan menghias hatiku seperti hunian bergaya tropis yang aku dan dia suka..merasa santai dan nyaman untuk bersama.
Sesekali, dibawanya aku ke hatinya. Bermain permainan ringan tentang rahasia- rahasia kecil yang kita simpan lalu kita bagi, agar belajar membuka sedikit demi sedikit hati, meletakkan rahasia itu ke hati yang lain, sedikit demi sedikit , sampai hati yakin merasa nyaman. Dikenalkan pada bagian-bagian hati itu seperti mengenalkanku pada ruang-ruang rumahnya. Dari halaman depan, ruang tamunya, juga bagian-bagian kecil yang jarang diketahui orang tapi adalah bagian dari hatinya. Aku suka hatinya. Memang tidak semewah hunian-hunian megah, tapi bersih dan rapih. Di senja yang cerah, hatinya seperti terbuat dari logam mulia yang langka. Seperti emas bercampur perak. Tenang berkilauan.
Dia juga masih akan tambah berkilauan ketika bernyanyi. Suaranya itu,merdu kawan! Kalaupun hanya ada aku dan nyanyiannya di tepian hutan yang tenang, tak kan ada desau angin dan jangkrik hutan yang berani mengeluarkan suara..ku rasa hutan pun tau, sayang sekali melewatkan mendengar nyanyian dari mulutnya dan lebih baik diam menyimaknya dengan tersenyum saja. Bagaimana bisa untuk tidak menyukainya? Annelies-nya si Minke dalam “Bumi Manusia” nya Pramodya Ananta Toer mungkin wanita setengah indo yang cantik, juga sama, lebih memilih merasa menjadi pribumi seperti dia,tapi Annelies tak bisa bernyanyi!
Berhenti lah aku mengidolakan Annelies...
Dan selayaknya aku berhenti mengagumi Annelies. Karena itu tak baik dan sayangnya aku melalaikannya. Salahku membiarkannya menebak – nebak “Annelies”, dan melukainya. Memberitakan hal yang tak selayaknya untuknya. Pertama kali aku merasa tak mudah menjadi laki - laki, menyampaikan fakta yang tak menguntungkan untuknya dan untukku. Melihat airmata itu mengalir dan tak mampu menghalanginya.
Tapi aku nyaris lupa hatinya terbuat dari material berbeda. Di akhir isaknya, aku sadar dia tetap si menyenangkan yang ku kenal. Hatinya lebih besar dari ukuran tubuhnya. Besar sekali. Aku baru tau kalau tangis bisa menular, menjangkiti orang lain disekitarnya. Aku dikenalkan dengan ketulusan. Airmata, ..mengalirlah. basahi kami dengan cinta.
Padanya aku berjanji takkan ada Annelies lagi. Hanya dia. Memang tak ada Annelies. Dialah Annelies untukku. Meletakkan lagi harapan pada tempatnya. Menata lagi rencana – rencana yang tertunda. Menyenangkan! Gairah lama yang sudah ku lupa sejak terakhir harus merusaknya sendiri.
Tiba saat ku lupa, kalau tak semua berjalan linier. Lagi, kesalahan kecil memicu semua. Ibarat kerusakan yanag sistematis, anggaplah seperti financial crisis amerika yang mampu merusak keuangan dunia yang sistemik, berujung pada skandal regulasi badan otoritas moneter sebuah negara, kesalahan kecil pun beresiko besar dan bernilai mahal. Dalam kasusku, betapa kepercayaan masih menjadi tonggak utama. Jika tingkat resiko mencerminkan potensi keuntungan, sudah seharusnya mempercayai resiko itu nyata dan terkelola dengan baik, sehingga keuntungan juga akan nyata diraih. Aku tidak melakukannya. Resiko itu terlalu nyata dan tidak terkelola. Kepercayaan itu pergi.
Banyak kisah tentang kehilangan, semua tentang hal yang tidak di ingini tapi kali ini sungguh tak terduga. Tapi tak apalah. Kau mengajarkanku untuk semakin berhitung. Tak akan lagi kalah dan kehilangan.
Terimakasih.
Jogjakarta, 27 maret – 13 november 2010
Selasa, 21 Desember 2010
Hitam putih
Dunia adalah keseharian dengan warna. Betapa hidupmu dihiasi dengan berbagai warna.secara eksplisit dan implisit.
kita bermain dengan nilai tentang warna. Putih adalah cerah dan bersih, cenderung dekat dengan persepsi tulus,suci dan sebagainya. Merah yang menyala,marah. Sepia yang melankolis dan nostalgik, hitam yang kelam, murung..kesedihan.
Tiap pribadi berhak meng analogikan warna sesukanya. Itu adalah hak. Saya secara pribadi menyukai hitam-putih (black and white) sebagai kecenderungan pribadi. Secara historis, saya punya pengalaman psikologis buruk tentang hitam putih. Foto hitam putih pertama yang saya ingat adalah foto otopsi seorang mayat yang terbujur kaku di ruang otopsi. Mayat itu adalah ayahku. Ketika memandang foto hitam putih, daya tarik kuat pada tone, tekstur, dan bentuk berada pada satu titik temu pandangan mata, tanpa gangguan warna lain.
Berlalu waktu, photografi membawa saya mengobati trauma. Merekam banyak warna, menciptakan analogi mewah dengan warna gemerlap. Banyak hal, keceriaan, gembira, haru biru, gelak tawa. Betapa warna adalah arti. Betapa moment memberi pelajaran tentang waktu yang terlewati. Tapi di satu langkah, saya kembali kepada hitam putih. pada perkenalan pertama kali saya dengan foto.
Memulai lagi hitam putih, sama dengan berkenalan kembali tetapi dengan gaya yang berbeda. Ketika merekam pribadi atau situasi dalam konsep hitam putih, saya berusaha menampilkan obyek dengan sebenarnya. Secara eksplisit dan implisit. Polos. Hanya guratan, lekukan dan ekspresi wajah yang muncul secara tegas. Tanpa gangguan warna lain. Hitam putih adalah kejujuran yang terekam.
Apakah ada hal lain yang lebih indah daripada merekam kejujuran dan kebenaran?
Hitam putih adalah sakral.
Senin, 29 November 2010
Gundah Tak Bernama
ku hisap rokok ini dalam-dalam.
Perlu nafas panjang untuk melakukan itu. Sama seperti menyimpan gundah itu dalam-dalam. Disana, di lubuk hati yang paling dalam. Memang harus dalam. Sedalam mungkin, sedalam-dalamnya. Dan sambil merokok, tentu ini tak kan begitu ketara terlihat. Orang-orang tak kan mengira tarikan nafas panjang ini sebuah manuver untuk sekuat mungkin bertahan dari kegundahan.
Aku masih menghisap rokok ini dalam-dalam.
Di setiap hisapan, ku rasa tiap-tiap perubahan. Betapa setiap detik pun jiwa mengalami perkembangan.
Bisa baik, bisa tidak. Dan akhirnya ku bisa tau, dunia bukan hanya bicara hitam – putih. bukan hanya baik – buruk. Tapi juga abu – abu, merah muda, jingga, dan banyak lagi warna.
Hidup memang tak selalu berjalan linier.
Tak terbayangkan, tak mampu ditebak. Akhirnya, ku terbiasa membunuh beberapa mimpi yang tak disepakati waktu.
Mimpi yang tak disepakati waktu.
Aku masih harus menghisap rokok ini dalam-dalam lagi. Lebih dalam!
Aku akan menjadi aneh ketika menyebut namanya.
Seperti sebuah puri. Layaklah dia menjadi rumah untuk dikunjungi. Dia punya banyak hal untuk banyak orang pulang padanya.
Di umurnya yang bukan lagi muda, dia sukses menjadi matang. 35 tahun. Seorang model profesional, istri dari seorang seniman dan ibu dari bocah kecil yang lebih cocok di sebut bandel daripada mengemaskan tapi dicintainya sampai tulang sumsum.
Dia..indah kawan. Dia bisa seperti matahari yang malu-malu di awal pagi, dia bisa seperti sinar senja yang melenakan, dia juga bisa seperti malam sunyi yang syahdu.
Aku melihatnya pertama di atas panggung. Dia dengan senyum mataharinya. Menyinari matahati banyak hati.
Panggung adalah tempat orang terlihat lebih tinggi. Secara harfiah dan secara implisit. Dipanggung kita temui para pesohor terlihat lebih dari biasanya. Dipanggung juga kita lihat para politikus, pejabat, pemimpin-pemimpin merasa tepat untuk membuang kata.
Panggung adalah tempat untuk terlihat. Siapapun yang melihat.
Dan disana aku melihatnya, diantara banyak mata kamera yang mengikuti nya. Sama dengan ku, banyak mata yang berhenti pada senyumnya. Aku kehilangan se per-sekian detik untuk menekan tombol rana dan menghentikan geraknya menjadi kumpulan cahaya untuk menjadi gambar; foto sebagai hasil akhir.
Sebagai juru potret, sering ku koleksi banyak senyum dan riak mimik. Satu persatu coba ku ingat sebagai sesuatu, ingatan kecil yang sering ku analogikan sesuka ku. Keceriaan yang kadang ku analogikan cakrawala, mimik tegang seperti garis diagonal yang tegas, kemurungan yang sepi mirip pesta yang gagal, kesedihan seperti hujan lebat di malam gelap dan banyak lagi. Aku hidupkan rekaman dalam foto itu sesukaku, imajinasi ku yang kadang hanya aku yang bisa dan layak mengerti. Bertahun-tahun ini diam-diam menjadi kesukaan. Kesukaan yang juga hanya aku yang bisa menikmati.
Lewat hari itu, aku menyimpan senyum dan riak mimik wajah itu. Tapi sulit menganalogikan. Untuk pertama kali, ini sulit ku lakukan.
Pertemuan kedua dengan nya masih di tempat yang sama. Tapi dibelakang panggung seseorang yang berteman dengan nya memungkinkan ku berkenalan dengan nya. Singkat, tapi aku tau ada yang tinggal dsana.
Kesan.
Seperti ingatan yang surut pada senyuman yang ku kenal tapi belum sempat ku analogikan. Aku kebingungan. Ditambahkan nya tatapan hangat yang menusuk dada. Bahkan ketika membelakangi nya, ku rasa tatapan itu pun menusuk punggung!
Kali ketiga melihatnya, adalah bertemu analogi yang semakin absurd! Dia berubah seperti ulat yang menjadi kepompong!gila! akan seperti apa dia setelah ini?
Di tempat salsa, dia menari. menari kawan!
Sama seperti panggung, lantai untuk menari membawaku ke tempat dimana orang layak diperhatikan gerakannya. Seperti menghitung ritme ketika mendengar seseorang mendendangkan lagu, ujung mataku mengikuti gerakannya. Mengingat pola-pola nya. Menari dengan nya di dalam pikiran dan hatiku. Sialan!
Analogi, analogi. Sialan, sialan!
Ini jebakan! Aku tergoda pada analogi yang aku ciptakan sendiri.
Ketika musik pengiring salsa itu selesai, dia mampir ke mejaku. Bersalam hangat, hangat sehangatnya. Berbasa basi, mnghidupkan sebatang rokok. Menghisapnya panjang. Ah, cara nya menghisap itu..aku koleksi frame itu di dalam hati.
Suaraku keluar ragu memulai percakapan. Canggung, tapi berhasil. Dia ringan menjawab. Beberapa menit berlalu, aku mencengkramnya dengan obrolan yang dia sukai. Mungkin tipe dia yang juga suka bercerita.
Dia bercerita tentang profesinya, keluarga, dan beberapa keinginan. Aku mengingat nya sekuat ku. Untuk cerita dan semua geraknya. Astaga..!ini adalah kemampuan ku tercepat mengingat sesuatu!mataku yang mengingat senyum,mimik, mata dan caranya bicara, telinga ku yang mendengar suara dan ceritanya, otakku yang berkerja ekstra memilah kata untuk menjawab semua pertanyaan nya..dan menyusun bagian bagian tentang itu semua sesukaku sesuai rekaan, imajinasi ku tentang analogi untuknya.
Dan sambil menghisap rokok, semua itu ku lakukan.
Sekarang aku sedang kembali mengingat semua tentang nya..aku butuh merokok lagi!
masih tentang bertahan hidup,sayang...
“Masih tentang bertahan hidup,sayang...” hanya aku dan dia yang biasa mengucapkan itu dengan senyum. Di hari ulangtahunnya pun, itu seperti kata lain mengucapkan selamat. Hidup di kehidupan yang lantang tanpa peredam, memang harus juga bertindak keras. Sekeras-kerasnya tinju agar bisa mengetarkan tembok. Semua memang masih tentang bertahan hidup. Lepas dari keterbatasan, ketergantungan dan berdiri tegap melangkah sendiri.
Tidak semua orang bisa seperti itu. Butuh waktu yang menempa. Butuh rencana yang baik agar tidak salah menginjak dahan dan terjatuh. Tidak ada yang ingin terjatuh kan?
Cuma kadang waktu juga tak selalu berpihak. Seperti serdadu yang kehabisan peluru, tak lagi memiliki senjata dalam peperangan, hanya berharap dengan keberuntungan. Walau kadang tetap tak beruntung.
Atau seperti juru foto dengan kamera analog yang bersaing dengan kamera-kamera digital. Begitu tertinggal dan berbatas. Sudahlah kawan, dunia memang tak selalu menyediakan medan bertempur yang adil.
Tapi setidaknya jika semua orang di planet ini adalah petarung, aku bukan petarung yang sendirian..berkali-kali kita saling memapah jika terluka. Bergandengan ketika kalut. Dan terkadang merayakan kemenangan bersama.
Aku selalu ingat detail tentangnya. Bagaimana dia tersenyum, tertawa, tarikan alis matanya disaat menemukan hal yang dia suka, murungnya di rundung masalah, pijar mata jatuh cintanya. Dia, istimewa. Secara lahiriah, secara batiniah untukku. Hanya padanya aku memanggil “sayang” tanpa canggung, bahkan lebih akrab dari pacarku.
Dia lah keluarga. Sepupuku, yang seiring berjalan waktu terbukti secara menyakinkan semakin tak tergantikan. Tumbuh bersama di kurun waktu yang tidak singkat, memiliki kecenderungan yang sama, kami dipersatukan oleh masalah, masalah dan masalah. Padanya sebagian kisah dan rahasia berada. Akan disana, bukan hanya disimpan tapi menjadi bagian untuknya. Seperti kisahnya yang melengkapi sisiku.
Seorang teman bilang aku hanya memiliki tiga hal yang menjadikan aku penting bagi mereka; setia kawan, setia kawan dan setia kawan, padanya aku hanya memiliki satu hal saja untuk menjadikan dia penting dalam hidup; aku menyayanginya sampai tulang sumsum!
Aku mengenalnya dari sana. Di kaki bukit yang sejuk, tujuanku berlibur dikala kecil hingga sekarang. Tanah leluhur kami. Di rumah desa yang nyaman, dikelilingi kolam-kolam ikan. Pemandangan asri dan sawah hanya berbatas jalan setapak kecil yang berujung ke sungai.
15 belas tahun yang lalu, kami berlari-lari di jalan setapak itu. Di kiri dan kanan adalah hijau. Sawah, kebun ketala, pohon pisang dan lumut pada bebatuan. Sesekali bergandeng tangan, aku mendengarnya mengoceh tak tentu arah membicarakan banyak hal yang juga tak tentu arah. Itu pagi hari. Di pinggir jalan berbatu itu, aliran air seperti sungai kecil untuk irigasi sawah sampai ke ujung sana. Aku ingat, kita bercanda dan aku tak sengaja mendorong nya terjatuh disana.
Aku dan dia masih kanak-kanak waktu itu. Dia gadis kecil yang cerewet. Judes dan menyebalkan! Selalu bisa meyerang balik semua ejekan untuknya. Tak mau dia mengalah! Tapi di urusan tenaga, laki-laki akan tetap mengalahkannya.
Dia marah, mengaduh sejadinya. Aku berada di antara rasa menang dan bersalah.
Tapi itu tak berlangsung lama. Ketika sampai di rumah, aku di omeli simbah putri dan dia tertawa cekikikan.
Dia perempuan kecil menyebalkan!
Ku simpan kekesalan itu sampai setelah makan malam simbah kakung memanggil kita berdua. Aku dan dia duduk di lantai. simbah kakung di kursi kesayangannya.
Kamu tahu siapa kalian ini,le?” simbah kakung bertanya.
Sepupu,mbah” jawabku.
Ya, apa arti sepupu itu?” tanya nya lagi.
Saudara,mbah” jawabku cepat.
Aku tak mau bersaudara dengannya!” dia menimpali jawabanku.
Siapa yang mau bersaudara dengan nenek sihir sepertimu, jawabku dalam hati.
Simbah kakung melihat kami berdua. Menarik nafas panjang. Dia paham perselisihan kami, cucu-cucu tertuanya. Dia tersenyum, lalu berkata “ pupu itu paha. Setiap tubuh manusia, selalu memiliki dua kaki dan bagian atas kaki itu disebut paha. Paha kiri melengkapi paha kanan, begitu juga sebaliknya. Karena sepasang paha berguna menopang tubuh untuk tegak berdiri. Dibutuhkan kaki dan paha yang kokoh agar tubuh kita mampu melangkah, berlari atau melakukan gerakan”.
“Ibaratkan tubuh adalah keluarga kita yang besar. Ada simbah kakung, simbah putri. Ada bapak dan ibumu serta seluruh keluarga kita yang lain,..paha-paha itu lah berguna memperkokoh keluarga. Kmu..sepupu-sepupu lah yang membuat keluarga besar kita ini menjadi kuat.”
“Le..kamu dan kamu, sebagai sepupu haruslah saling melindungi. Membuat paha yang satunya tetap baik-baik sehingga bisa digunakan untuk melangkah. Kita butuh dua paha untuk berlari kan?”
Simbah tersenyum.
Aku dan dia masih diam.
Di tahun-tahun berikutnya..aku dan dia mulai berkirim surat. Berbagi kabar dan cerita. Mulai ada foto dia di kamarku. Tiba-tiba tak ada lagi perselisihan. Dia sudah menjadi kesayanganku. Aku menyimpan cerita ini dalam hatiku. Akan ku wariskan keturunanku.
Di masa-masa sekarang dan nanti, ku sadar dia bukan gadis kecil lagi. Dia sudah berkali-kali lahir menjadi baru. Beranjak remaja, menikah dan menjadi ibu. Terpikir untuk berjalan pada rel masing-masing saja dengan sesekali saling memandang dari jauh. Ku pikir, aku dan dia akan baik-baik saja.
Tapi justru terasa asing!
Meski dia bisa berubah seperti apa saja dan aku bisa menjadi apa saja, dia dan aku selalu menjadi seperti dia yang ku kenal dan aku yang tak berubah untuknya. Aku masih membutuhkan kisah-kisahnya seperti aku membutuhkannya untuk menyimpan cerita-ceritaku. Kita adalah tong sampah masing-masing! Akan terasa lega dan bersih ketika membuang “sampah” berupa sesak, kegagalan, gundah, dan mimpi-mimpi absurd yang mengganggu. Lebih dari itu, aku butuh melihatnya terlihat “baik-baik” saja. Kita di ikat dengan darah. Daging yang sama. Melukainya sama saja melukaiku.
Ku rasa aku akan masih di dekatnya. Setidaknya,aku dan dia masih harus tetap jadi “pupu” yang kokoh untuk “tubuh” yang lebih besar. Aku dan dia juga akan masih harus berjalan. Membawa tubuh menuju tujuan. Jika perlu berlari!
Kita akan berlari kan,sayangku?”
Kita akan berlari-lari di jalan setapak kecil yang berbatu seperti waktu itu..tapi tanpa perselisihan. Sudah, kita sudah belajar banyak untuk saling menguatkan satu dengan lainnya.
Tapi ini memang tentang bertahan hidup,sayang...tak mengapalah. Kita akan saling menjadi kuat!
Aku ingin bilang, aku menyayangimu..mesti kau sudah tau itu.
Salaman, 11 juli 2010.
Dari pagi yang berkabut hujan tipis – malam yang ramai dengan suara jangkrik
Kamis, 18 November 2010
Melompati Ruang (sebuah Prolog)
Bangka, 16 november 2010
Di pantai yang selalu manja, disekitar cerita kimberly yang sedang kasmaran.
Aku menuliskan ini untukmu,..
Melakukan yang lidah tak bisa lakukan. Menuntaskan ingin yang belum tersampaikan.
....
Kadang mengarungi rasa ini seperti sedang memandangi senja. Menyilaukan mata, malarutkan hati, lirih dalam sesak, indah sesaat berlalu tanpa bisa di cegah, tapi ku nanti akan ada lagi disitu, memandanginya lagi dan lagi.
Ini ku tulis ketika kau tak ada. Meski ketika tak lagi bisa memandangimu pun, aku bisa menemukan hal tentangmu seperti aku menemukan senja. Kau ada di temaran sore, di remang garis cahaya di celah jendela yang menguning,di riuh reda akhir hari.
Atau mungkin aku hanya bisa menuliskan ini ketika jauh darimu. Disini..di ujung daratan yang bertemu laut. Bersandar di perahu nelayan yang menepi, di desir angin barat, di debur ombak yang menjilati pantai.
Harus ku mulai ini dengan menelusuri ingatan tentangmu. Mengingat ketika kamu datang, di ujung kerling mata, di keberadaanmu yang mampu ku deteksi di radius 100 meter, dan pesona yang tak bisa ditolak. Kau tau, aku laki-laki. Akan mampu untuk ku menolak keindahan..tapi tak mudah melewatkan pesona.
Saat kau mengucapkan kata dan kata..aku tau, aku sudah jatuh cinta yang dalam sekali.
Aah, rasa ini. Masih menyilaukan. Ada ribuan kerlip di depanku, kombinasi gulungan ombak dan sinar penuh matahari sore. Terlihat berkilau berwarna perak seperti kepingan kaca di lautan. Di dalam hatiku, pun ku punya kilauan lain. Betapa hebatnya hati..siapa yang bisa merancangnya? Organ tubuh mana yang mampu memerintahnya untuk merasa hal berbeda? Justru hati ini yang memerintahkan organ di tubuh ini untuk berkerja. Seperti ku yang harus menulis untukmu. Dan hari ini, akan ku habiskan menuliskanmu.
Bulan diatas, seperti kepingan emas.
Malam tenang dan petikan gitar. Kisah dan kisah berkumpul di udara. Berbagi dari hati ke hati dengan nyaman. Rahasia kecil itu akan aman disana. Di hati orang-orang yang bukan lagi “orang”, tapi “sesuatu” bagi satu dan yang lainnya.
Aku tak lagi bisa menulis. tapi justru lebih mudah mengingat jejakmu. bukankah di suasana yang tenang, kita akan lebih mampu merasakan dan mengingat hal yang paling nyaman?
Aku masih teringat kamu.menulismu dalam hati.
Selasa, 14 September 2010
sunk cost
mendung kelam, awan hitam
haru rasa di rintik gerimis
desau angin menampar muka
hujan yang bergemuruh di dada
memang tak luka tapi terasa sakit
ketakutan yang berlari -lari
kemana arah menuju?
hanya ada lorong berkabut tipis
ntah seperti apa di ujung nya
sudah di gelas ke empat
tak lagi berasa tapi memang harus di habiskan.
Minggu, 11 Juli 2010
Masihkah kau butuh janji itu, Catherine?
“Kita akan selalu bersama kan, sayang? Aku hanya ingin bersamamu. Selain dirimu, siapa lagi yang ku punya?
.. sesulit apapun, aku hanya ingin kita selalu bersama. Hanya itu yang aku ingin”.. Dia berkata terbata-bata, di ujung matanya yang mulai tergenang basah. Tangannya tak lepas dari genggaman. Tak mau lepas.
Nafas ini terasa berat. Berat karena kata-katanya barusan. Ini tak mudah.
Setelah semua yang terjadi, janji inilah hal terakhir yang menjadi peluru ke arahku. Aku tahu bagaimana perasaannya, dan janji itu yang ditunggunya sejak seminggu ini. Selemah-lemahnya aku dihantam masalah, dia lebih rapuh dari ku. Ku sadar, dia butuh sebuah penyemangat bagi mental dan kepribadiannya. Dia butuh itu untuk kembali bertahan dalam hidupnya di sana dengan banyak masalah dan ketakutannya.
Kita berjanji di sini. Di stasiun kereta, tempat pertemuan dan perpisahan terjadi. Diantara senyum dan tawa riang, kau juga bisa temukan wajah murung dan isak tangis perpisahan. Tempat ini, oase kegembiraan sekaligus kepedihan.
Satu minggu yang sebelumnya, seandainya kau bisa melihat ketika dia datang. Masih di stasiun ini, dia datang bersama suara kereta yang berisik tapi tak mengangguku. Masih kalah dengan rindu yang menumpuk di dada. Dia berlari ke arah ku. Senyumnya itu, ..dia seperti gadis kecil yang baru bertemu dengan ibunya yang pergi jauh. Gembira sekali! Berlari kearahku, memeluk ku erat. Tanpa berkata, aku lah mataharinya. Gravitasinya untuk merasa bahagia.
Aku mencium pipinya, membuat rona merah di wajahnya menjadi sempurna. Satu minggu melihatnya merona dalam banyak cara.
Ironi setelah seminggu berlalu. Kau harus lihat seperti apa dia ketika kita akan berpisah. Dia tak ingin terpisah! Dia hanya ingin bersama dengan ku.. dia jujur mengatakan itu. Airmata itu, sedu sedan itu menyesakkan dada. Aku baru tahu hati ini bisa berdenting seperti piano. Aku tersungkur dalam rasa cintanya. Melepasnya pergi dan memegang janji yang dia inginkan.
Sejak itu, tak lagi ku dengar kata darinya. Dia pergi seperti laju kereta waktu itu. Perlahan tapi tegas. Tak pula mundur dan datang lagi, menagih janji yang dititipkannya padaku.
Dia hanya meninggalkan aku disini bertanya-tanya bagaimana cara dia melewati hari, sulitkah hidupnya?
Aku menarik nafas panjang berkali-kali. Sejak dia pergi, menarik nafas panjang begitu sering kulakukan. Gundah dan gundah. Aku sudah terlatih oleh waktu untuk menjadi tangguh dalam berbagai kesedihan. Tapi kali ini tetap membuat ku berasa berbeda. Seperti berdarah oleh luka. Perih.
Apa kabarmu, Catherine..
Aku menunggu kabar tentangmu. Lama sekali tak mendengar semua tentangmu. Sempat terdengar berita dari beberapa teman, tentangmu yang berubah demi pilihan masa depan dan tak lagi bisa ku kenal. Aku akan tetap mengenalmu! Lebih dari siapapun. Baumu, caramu berjalan, tarikan nafas panjangmu, helai rambut tebalmu, bahkan rintihan suara manjamu akan tetap ku kenali. Bagaimana aku mungkin tak mengenalimu dalam perubahan apapun?
Tapi aku memang tak lagi pernah menjumpaimu, Catherine..
Apakah kau marah padaku? Apakah kau diam-diam membuntutiku, terkejut melihat aku tak lagi memiliki janji yang kau titipkan lalu kau memutuskan melupakanku seperti sepatu lamamu yang kusam dan ingin mencari sepasang sepatu baru lagi?
Kalau memang begitu, kau salah Catherine.. Tak sepenuhnya benar seperti itu. Ya, aku memang tak selalu membawa janjimu itu, tapi dia masih ada denganku. Aku hanya lupa dimana menyimpannya, akan ku cari lagi dan akan ku sampaikan padamu saat kau memintanya lagi.
Kau masih inginkan janji ini, Catherine?
Aku tau, tak mudah meletakkan janji itu kepadaku. Jujur, janji itu sudah tawar rasanya. Sudah tak jelas warnanya. Aku, memang bukan pemegang janji yang sejati. Kadang aku pun tak mengerti tentang janji. Dia begitu sakral bagi banyak orang, tapi di lain sisi dia pun tak berharga seperti ludah. Dikeluarkan dari mulut, terbuang sia-sia tak pernah diingat lagi. Kadang dia juga menjadi komoditas laris di masa tertentu, lalu jadi investasi buruk bagi sebagian orang yang tak becus mengolahnya.
Tapi janji yang kau titipkan ini berbeda kan, Catherine? Iya kan?
Aku akan duduk lagi di kursi tunggu di stasiun itu lagi, Catherine. Menunggumu lagi seakan kau akan datang. Menit membosankan berlalu menjadi satuan waktu tersendiri yang akan menyiksaku. Tapi tak apalah.. Aku akan duduk disana. Kubawakan janji itu serta. Kapan kau kemari lagi, Catherine?
Tahukah kamu, Catherine..? Kemarin, kulihat hal seperti janjimu di seberang jalan. Melihat dua orang seperti kita waktu di stasiun kereta ketika kamu meninggalkanku. Aku ingat janji yang kau titipkan dan aku mulai mencari-carinya. Ku temukan dia di pojok lemari. Tersimpan tapi tak lagi terawat.
Kubersihkan dia, Catherine.. Seperti merawatmu di saat kau sedih. Menghapus airmata di wajahmu. Menenangkanmu, hingga terbit senyum lagi. Aku melakukannya pada janji itu, berharap dia pun akan bisa sepertimu ketika itu.
Oh, Catherine.. Maafkan ku jika saat kau datang kau akan temui janji yang sudah tak lagi utuh. Cuma itu yang bisa kulakukan. Aku tak begitu baik menjaganya. Tapi dia tetaplah janji untukmu.
Aku membawanya sekarang, Catherine..
Disaku bajuku, ku simpan dia di situ. Ku bawa serta kemanapun pergi karena seandainya aku bertemu kamu, akan kutunjukkan itu padamu.
Tapi masihkah kau butuh janji ini?
Aku sedang duduk di kursi itu, Catherine.. Seperti waktu itu, menunggumu datang dan melihat senyum lagi..
Dengan janji itu.
Senin, 14 Juni 2010
seberapa hati mampu
Seberapa cepat hati mampu membenci?
Seberapa ampuh hati menjadi sembuh dari luka?
Sebagian orang menyimpan kenangan indah, menempatkannya di tempat terprioritas, mengeliminier ingatan buruk tentang itu atau bahkan dianggap tidak pernah ada.
Seperti rumah untuk kenyaman nya.
Apakah semua harus sembunyi di dalam cangkang yang menyenangkan dan menganggap tragedi adalah sesuatu yang harus dilupakan?dihindari?
Padahal setiap hari adalah tragedi.konflik dari semua kompromi hidup. Mengapa harus dihindari? Hadapi saja!
Kenapa harus menghindar?
Menangis lah jika sedih.
Marahlah jika tersinggung.
Murunglah jika kalah.
Terbahaklah saat gembira.
Nikmati detik emosi.
Hati akan menyimpan,seberapa lama hati bisa menyimpan.
Hati akan membenci,selama hati bisa membenci.
Karena sakit pun akan mereda. Seberapa lama pun itu, luka akan kering. Menjadi sembuh.
Menangis lah
Airmata itu pun wajar sekali.
Menutup wajahmu dengan tangan..karena aku percaya setelah tangan itu kau buka, aku akan lihat nafas dan emosi mereda. Senyum mu yang kembali..
Kamu telah kembali.
10 maret 2010
sayatan biola
Ada yang lebih menyakitkan dari dikhianati?
Banyak hal yang tidak di senangi dan cenderung di hindari
Cemburu, merasa di sia kan,selingkuh, patah hati, di tolak, dipisahkan, apalagi...
Dan dikhianati adalah derajat terparah dari itu!
Dikhianati adalah sebuah kegagalan kompromi
Sesuatu yang tidak tak mampu diterima hati. Sesuatu yang tidak dikehendaki.
Sentuhan menusuk..lebih dari petikan gitar. Tak cukup dentingan piano. Ini sayatan biola.
Miris..!
hujan ini
Hujan ini
Seminggu lalu juga seperti ini
Seminggu melewati rasa yang sama..dikamar ini.
Ini bukan soal mengerti atau tidak mengerti
Ini tentang perpisahan yang memang sudah dipastikan
Aku telah dilatih dengan segala waktu untuk menjadi tangguh
Tapi ini tetap membuatku tersungkur
Ada airmata
Hujan ini memaksa jujur
Masih ada rindu yang tinggal disini
Minggu, 13 Juni 2010
Catatan akhir hari..”
Banyak hal yang tidak dipahami manusia. Sepanjang peradaban, satu persatu pertanyaan dijawab dengan logika dan perkembangan akal manusia. Mengapa air laut terasa asin?Bagaimana terjadinya hujan?darimana datangnya malam?bagaimana menyembuhkan influenza?dan banyak lagi pertanyaan yang telah terjawab. Hingga hari ini 2006 tahun setelah penyaliban jesus dari Nazareth, manusia masih juga dipusingkan oleh berbagai pertanyaan.
Mungkin ini adalah tugas abadi manusia. Sebuah kodrat ?
Aku; dan sebagian besar generasi muda yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan, adalah satu generasi yang diuntungkan oleh waktu. Betapa tidak? Kami dipenuhi oleh banyak kemudahan. Kami di disain menjadi intelek, kosmopolis ( bahkan metroseksual?) punya akses terhadap teknologi dan peradaban terkini,.bisa di bilang kami lah garda depan perubahan!
Aku, harus berterima kasih kepada orang orang yang hidup sebelum aku. Enstein yang menjelaskan relativitas dan teori waktu, Marx untuk communist manifesto-nya, Hegel untuk filsafat sejarahnya, Plato untuk konsep dunia ide- nya, juga Soekarno yang menghadirkan konsep nasionalisme untuk ku.
Hanya saja, hidup di zamanku yang penuh dengan kemudahan tadi tidak otomatis mampu menjadikan ku ( dan sebagian besar teman – temanku) tumbuh menjadi kritis seperti orang – orang sebelum ku yang mapu menjawab satu demi satu pertanyaan dunia.
Kami lebih disibukkan oleh banyak permasalahan psikologi. Bahkan, sebagian dari kami lebih cocok di definisikan gila dari pada intelek.
Maklum, di zamannya Enstein extasy tidak menjadi konsumsi umum bagi generasi muda.
Di masanya Soekarno, menghisap ganja juga tidak menjadi trend. Apalagi di hidupnya Plato pasti ga pernah punya hobby clubbing atau ke diskotik.
Generasiku cenderung apatis, an sosial, pragmatis, komsumeristik dan hedonist.
Mungkin sebagai generasi yang mengaku intelek, kalo Enstein, Marx, atau Soekarno masih hidup, kami pasti dihujat habis habisan! tapi mau gimana lagi? Inilah kami seutuhnya.
Lalu bagaimana arah peradaban ini? Tanpa ada orang orang yang mampu dan mau melanjutkan kodrat manusia menjawab satu demi satu pertanyaan yang masih banyak tersisa?
Berharap pada kami, sama saja menghambat peradaban!
Rabu malam yang menjemukan
Palembang, 22 maret 2006
Rindu
6 februari 2003
…
Aku menunggu mu mengetuk pintu
Menunggu, untuk melihat matamu memandangku.
Kau akan selalu cantik dengan ceritamu
Caramu itu, membuatku rindu.
Aku memang sedang menunggumu,
Menunggu kau nyalakan lagi hari
Kau seperti sinar pagi.
Kau bisa seperti malam cerah yang tenang
Kau bisa seperti hujan gerimis yang mengharukan
Kau bisa seperti sinar sore, penuh cinta!
Aku memang sedang menunggumu.
Cepatlah datang!
Ketuk pintuku.
love II
Yogyakarta, 23 mei 2003
Bila dengan dekatmu begitu asing, kenapa jauh kita menjadi akrab?
Bila bersama kita saling memiliki, mengapa ku tak bisa meraih senyummu…
Bila menjadi orang lain aku kekasihmu, mengapa menjadi diri sendiri aku harus melupakanmu?
Didepanmu aku tak berarti apa apa, tapi dibelakangmu aku adalah cahaya harapan!
Kekosongan yang menjemukan!
Suasana aneh yang menjebak,..diujungnya , terlihat seperti kabut.
Sebuah kesedihan?
love
Yogyakarta, 25 april 2003
Apa menariknya keindahanmu?
Kuperhatikan kau,… setiap sudut, setiap lekukan, detail, dan hiasanmu.
Apa menariknya hidup tanpa pengkhianatanmu?
Tanpa cacatku dan kekosongan mimpi-mimpi kita
Aku menangis tak bisa mengutukmu!
Ingin sekali menghujatmu!!
Memberi amarah,dendam dan kebencian ini untukmu
Tau apa kau tentang gelisahku?
Tau apa kau tentang kepedihan, kesakitan, sesak hati, kecewa dan air mataku?
Kau mengapung diantara kesedihanku
Berada di antara penonton yang iba melihat pertunjukanku
Tapi entah kenapa,..kau terasa melengkapi kesejatian;
Kau, membuatku bertahan hidup.
Mungkin,..untuk tetap menikmati kesakitan!
“bukan hujan di bulan Juni”
Hujan di musim hujan seperti sekumpulan kurawa yang senang main keroyok. Selalu ramai, sombong dan angkuh!
Dia tunjukan dia kuat, keras dan menakutkan. memaksa orang memaklumi kekuasaannya.
Aku justru mencarinya. Berjalan menujunya, menantangnya meski dengan getir di hati.
Dia datang bergerombol, bersama angin runtut dalam ratusan atau mungkin ribuan tetes air dari langit..semakin banyak datang mengerumuni. Basahi, halangi sudut pandang, memaksa memicingkan mata. Sadariku, semakin dekat dengan yang ku cari; kurungan rintiknya yang tak terhindarkan, seperti rintangan rasa di hati.
Ya..aku datang untuk itu..mencari hujan yang menjadi rintangan, dan coba belajar loncati. Rintangan yang selalu menjadi batas. Batas yang mencekal langkah hati. Batas yang menyebalkan! Seperti gundah bertahun-tahun hinggap di hati tanpa tahu kapan bisa lebur menjadi kelegaan.
Aku datang dengan marah dan sesak mengebu. Berharap hujan seperti ini mampu dinginkan.
Kepungan rintik semakin rapat. Menampar-nampar muka seperti menghardik keras, kenali ku lagi tentang takut. Deras mengaburkan pandangan..blur tanpa fokus.
Marah ini tersingkap. Emosi yang sudah lama ingin meluap. Mata ku jalang menantang mencari sebab, alasan, dan segala hal yang mehalangi langkah.
Diantara langkah geram dan kepungan hujan, cahaya semakin jauh tertinggal..aku sendirian masuk dalam gelap..aku tersesat ditengahnya!
Hanya ada aku. Hanya ada aku.
Aku yang dulu ku ketahui..tentang bagaimana bertahan hidup dari benturan keras. Tentang jatuh dan kembali bangkit.
Hujan mengalah..kendurkan kepungannya..biarkan cahaya mengejar, sinar sendu..
Hujan tlah menjadi bijak..biarkan ku terhenyak merasa..sedalam-dalamnya merasa..dan detik itu aku berhenti. Diam dalam kekhusyukan.
...
Hujan mereda.. berdamai denganku dalam diam.. perlahan bebaskan ku dari tetes-tetesnya.. aku justru menerima sisa tetes itu dengan penuh rasa. Lembut, bebas tak berarah. Bergerak dengan ritmenya,..tak berbentuk.
Di tetes terakhir, butir nya menyentuh hati
...
Tak ada lagi rintik hujan..tapi ada tetesan air lain di wajah..aku dihujani airmata..leburkan sesak di dada!
Aku tersungkur dalam sedan
...
Hujan ini tak semewah hujan di bulan juni..tapi hujan ini sempurna..sekaligus tragis.
Magelang-jogjakarta
16 november 2009
yang tak terucap
7 maret 2010
Aku memikirkanmu
Di rintik hujan
Sepi jalanan yang basah
Deru kendaraan yang menjadi jarang
Aku memikirkanmu
Banyak waktu di tempat ini
Di keping ingatan
Di getir harapan
Menebak-nebak seberapa getir itu
Aku memikirkanmu
Menangkup telapak tangan pada cangkir teh hangat
berharap menghangatkan hati
Di luar masih hujan dan dingin
Perasaan ini
Bagaimana harus menjalani hidup?
Bagaimana cara kita menjalani kita?
Tak semua bisa sembuh secepat hari
Pagi menjadi sore
Dan besok akan lagi kita temukan pagi
Di luar masih hujan dan dingin
Tapi mungkin besok adalah pagi yang hangat
Bagaimana dengan kita?
Bisakah besok kita sehangat pagi cerah itu? atau kau tak siap dengan terangnya?
Ayo lah...tak baik sembunyi dalam kegetiran
Tantang silaunya!
Kalau kau masih merasa lelah. Biar aku yang akan memapahmu..
Kemari..
Raih tangan ku
(; seharusnya ku katakan ini…tp ku tak sanggup.)
bertemu optimisme
Di beberapa waktu
seperti berjalan diatas lapisan es yang tipis terasa biasa
Aku telah lama bertahan dalam pertikaian
Melihat marah dan dendam tumbuh
Menyaksikan sumpah lahir dan terabaikan
Apakah kamu sanggup menjaga langkahmu?
Tak getir melawan silau matahari ke arahmu sampai senja menyapa?
...
Berharap kamu mampu
Sebab aku berkali-kali jatuh
Peluru kata menembus dada
Panah-panah menghujam punggung
Tapi rintk hujan merayu, membuat ku bangun lagi.
Papah aku.. bantu aku berjalan lagi
Setidaknya kita saling menemani terus ke arah yang sama
Ke barat, ke semua tujuan berada.
Hari masih panjang
Kita bisa sampai sebelum sore.
ketidaknyamananku
bangka, 2 september 2006
sabtu siang yang terasa jengah!
“Ceritakan padaku tentang ketidaknyamanan…”
Kau tidak pernah merasakan ketidaknyamanan?
….
;setiap detik jiwa mengalami perkembangan.
Bisa baik, bisa tidak. Dan akhirnya kau bisa tau, dunia bukan hanya bicara hitam – putih. bukan hanya baik – buruk. Tapi juga abu – abu, merah muda, jingga, dan banyak lagi warna.
kau masih juga belum kenal ketidaknyamanan?
Hidup memang tak selalu berjalan linier..”
Tak terbayangkan, tak mampu ditebak. Akhirnya, kau terbiasa membunuh beberapa mimpi yang tak disepakati waktu.
atau kau memilih memeliharanya dalam otak kecilmu, menghadirkannya senyata mungkin lalu meruntuhkannya seakan tak sesuai rencana ; seperti membangun istana pasir lalu membiarkan ombak laut menghapusnya?
Ironis sekali...Betapa kau senang menikmati ketidakmampuanmu!
Baiklah,.ku ceritakan satu hal satu lagi.
Pernah rindumu dipaksa jadi elegi?
Pernah merasa ingin lupakan, tapi justru hal itu yang selalu menampakkan diri di depanmu setiap saat?
Pernah merasa muak dengan apa yang kau punya; ceritamu, kenanganmu, pikiranmu, juga hidupmu?
....Diburu rasa sakit yang tak pernah pergi..sesak yang tak kunjung reda, berputar - putar di lingkaran yang salah tanpa bisa berhenti..
Pernah merasa dibutuhkan tapi kau sedang tak bisa berbuat apa – apa? berdiri telanjang di tengah orang - orang yang diam melihatmu, menunggu mereka berkomentar sesuatu yang buruk tentangmu,..
......di tinggal sang waktu yang berjalan terlalu cepat di depanmu, sudah layak mati tapi jantungmu masih saja santai berdetak...
Seperti harapanmu yang tak pernah bisa ada...”
Kau masih belum merasa ketidaknyamanan?
senomerah;2006
terimakasih
....
Aku pernah terhina
Kalah
Di depak
Jatuh berdarah-darah terluka
Menangis
Tersedu dalam sesak
Membenci, membuat berpikir menjauh dari segala hal itu
Aku lari dari semua
Menghindar dengan sadar dan berusaha menjadi baru
Menjadi aku sesuai rekaan
Bersembunyi dari kalian yang mengetahui bagaimana aku terhina, kalah, merasa kecil dan terlupakan.
Di titik ini aku kembali
Mengucapkan terima kasih untuk semua.
Aku kuat karena tinjumu
Hatiku teguh karena hujatmu
Langkah ku pasti setelah kau jatuhkan
Pantang mundur setelah kau depak
Belajar sembuhkan diri dengan cepat akibat luka dari mu
Aku menjadi pemenang setelah kau kalahkan
Terima kasih
Untuk cinta yang tak menuntut balas
Untuk hati yang selalu menjadi rumah
tertinggal
Menjadi tua, seperti dalam lomba lari
Walau kau sudah terengah-engah tertinggal dan sadar di ujung sana si pemenang telah lewati garis finish dengan sorakan elu-eluan, kau tetap harus berlari ke garis itu.
Kalah bukan hanya sekedar kalah.
Tapi menerima itu sebagai sunk cost. Menyadari sebuah opportunity cost yang besar
Aku memang sedang berlari.
Aku tertinggal.
Rasanya seperti berat. Tapi bukan beban
Berat ini seperti gabungan semua rasa yang dirasakan lidah meskipun teman ku riri bilang, lidah hanya bisa merasakan manis, pahit, asin dan asam. Sisanya adalah sensasi.
Sepakat dengan sensasi; itu adalah tambahan seperti elegi sesak yang terakumulasi lewat ejekan yang ku dengar, aroma suram yang ku cium, getir yang terkecap, silau yang menantang. Kadang juga seperti dingin pada tulang; gemetar menggigil.
Menjadi tua, juga seperti terhalang dinding ketika ingin menyentuhnya. ketika tak bisa menyentuhnya, Seperti kata kuntz; akhirnya aku mengingat sebagai sesuatu bukan seseorang.
Keterbatasan. Itulah dia.
Menjadi tua, seperti merasa sakit, harus menelan obat yang pahit. Lekat terasa di lidahmu.
Dan besok, harus lagi menelannya. Pahit itu lagi.
Vicka ku, orang yang bisa menikmati kenyamanan lewat hal kecil yang dia suka. Berguman, musik di telinga nya dan teh hangat di mejanya. Itu cukup membuatnya larut dlm nyaman.
Dia tak trasa tua dan tertinggal.
Aku didekatnya. Berharap tertular rasa itu, eksternalitas untuk ku
Di detik terakhir aku sadar, dia tidak merasa nyaman hanya dengan itu. Dia menikmati segugusan rasa mapan yang selimuti nya dengan mesra. Dan aku tidak!
Aku berselimuti gundah dan perasaan tertinggal.
...tertinggal, menjadi tua dalam ketidaknyamanan.
Langganan:
Postingan (Atom)