Mang Maing memang sudah tak lagi
muda. Usianya sekitar empat puluhan tahun. Untuk ukuran orang melayu, dia
tergolong bujang lapuk. Hidup sebatang kara. Orangtuanya sudah lama tiada. Tak memiliki
sanak saudara. Kabarnya, keluarga besarnya banyak merantau ke negeri seberang. Makhluk-makhluk
ajaib yang betah mengisi kesehariannya seperti keluarga tak lain adalah anggota
SBK. Mereka yang kerap berkumpul dibawah batang ketapang rindang di halaman
rumah Mang Maing. Berdialektika bersama dengan berkesenian, mengungkapkan ide,
gagasan dan perdebatan tentang kehidupan dan lingkungan sekitar mereka dengan
merdeka. Meski ide dan gagasan mereka
lebih banyak absurd. Demokrasi gaya masyarakat melayu pesisir. Biarkan saja
lah. Yang penting mereka bahagia.
Tentang kesendirian Mang Maing
adalah misteri bagi para SBK dan pilihan hidup membujangnya sempat menjadi
perbincangan hangat. Tak pernah sedikit pun kisah cinta Mang Maing terucap dari
bibirnya. Terkesan sangat tertutup. Top secret! Samilun menduga Mang Mang
mengalami kepatahan hati yang akut. Tak mau lagi kenal dengan namanya wanita.
Lain lagi dengan Udin. Sebagai pengikut
setianya Mang Mang, Udin berteori bahwa Mang Maing memang memilih hidup tidak
menikah dikarenakan konsekwensi ilmu kanuragan yang dia miliki. Untuk menjaga
kemampuannya tetap sakti, Mang Maing dengan sadar dan berbesar hati menolak
kisah percintaan sebagai bagian dari jalan hidupnya. Menurut Udin apa susahnya
bagi Mang Maing menarik perhatian wanita. Sebagai orang sakti, tak sulit
mengerahkan ilmu peletnya memikat wanita. Tetapi demi keluhuran ilmu tersebut,
Mang Maing menolak dan memilih “berpuasa” selama hidupnya menyentuh wanita. Betapa
sialnya Udin. Begitu terpesonanya dia dengan Mang Maing karena bagi sebagian
besar anggota SBK, alasan Mang Maing membujang tak lain karena alasan klasik:
tak laku-laku alias tak ada gadis di tanah melayu ini yang menerima
pinangannya.
Tetapi temuan Japri akan selembar
foto usang diantara tumpukan buku bekas Mang Maing merubah arah dugaan para
anggota SBK. di dalam foto itu terlihat Mang Maing dengan seorang perempuan
muda yang cantik. Terlihat bahagia. Sang gadis muda yang tersenyum ramah, dan
pemuda yang tetap terlihat kampungan dan urakan cengegesan disampingnya. Jauh dari
gambaran romeo dan juliet. Lebih jangan dibayangkan. Tak akan mirip sama
sekali.
Krasak-krusuk anggota SBK
gara-gara foto itu. Bak gadis melayu
yang sedang bergosip mereka disibukkan dengan dugaan kisah cinta Mang Maing
dengan gadis itu. Sekedar informasi tambahan, mereka semua ingat bahwa Mang
Maing ketika muda sempat merantau ke Jakarta sekitar 5 tahun. Mungkin inilah
masa emas Mang Maing kala itu. Puncak masa mudanya yang gemilang. Sukses di
Jakarta, menikah dengan wanita idamannya dan hidup bahagia di Jakarta. Lalu apa
alasan masa itu berakhir?
Ditugaskan lah Japri mencari
informasi lebih dalam. Menemukan bukti tertulis, tidak tertulis, tersirat yang
kuat untuk melengkapi bukti foto itu. Mendesak Mang Maing menceritakannya jelas
mustahil.
Japri memang berbakat menjadi intel.
Meski hanya intel melayu kampung. Dicarinya informasi seluasnya-luasnya dari
orang di kampung bagaimana kisah Mang Maing ketika muda, pada saat merantau ke
Jakarta. Mulai dari Mak Ijah pemilik toko sembako tempat Mang Maing biasa berhutang,
Tok Saudi yang dahulu mengenal keluarga besar Mang Maing, hingga Jakfar preman
pasar yang dulunya adalah teman kecil Mang Maing belajar berenang di sungai. Dari
hasil investagasi itu Japri hanya mendapati beberapa fakta baru. Cerita dari
Tok Saudi, ketika merantau di Jakarta Mang Maing bekerja di bengkel motor milik
seorang tauke cina betawi sebelum akhirnya memutuskan pulang kampung karena
sakit Tipes. Sisanya hanya kisah-kisah yang tidak memiliki keterkaitan kuat
dengan foto tersebut.
Pada satu malam cerah di bawah
Batang Ketapang halaman rumah Mang Maing Japri duduk bersama si tuan rumah
bersantai ditemani kopi hangat. Menunggu anggota lain berkumpul sekedar ngobrol
tak tentu arah menghabiskan malam seperti biasanya. Terdengar suara kodok yang bersahut-sahut
seperti memanggil hujan. Terbesit ide Japri mengali informasi tentang foto itu
dari Mang Maing. “Alangkah berisik kodok-kodok itu, Mang. Sibuk kali mereka. Sudah
masuk musim kawin mungkin ya. Kodok pun punya keinginan berpasangan. Apalagi manusia.
Bagaimana denganmu, Mang.. tak pernahkah terpikir hidup berpasangan? Tak enak
lah hidup sendirian”.
Mang Maing tak langsung menjawab.
Ekspresinya seperti merenung. Mungkin teringat akan masa lalunya. Japri menunggu
jawaban dengan berdebar. Akankah Mang Maing bersedia mengungkap kisah dari foto
itu.
Setelah 5 menit dalam diam yang
menyiksa Japri, Mang Maing mulai berbicara “Jodoh ada ditangan Tuhan, Japri. Kodrat
manusia itu memang berpasang-pasangan. Tentang hidupku itu pun adalah garis
ketetapan tuhan. Kita hanya bisa berserah kepada-Nya.”
“Ahh, hidup memang tak selalu
bisa di tebak. Aku sudah berserah kepada Tuhan, namun tak seluruhnya mampu
reda. Rupanya semudah itu, Japri. Tak semua hal bisa kembali seperti semula. Sebagian
hal tinggal dan menjadi bekas seperti
luka yang mengangga. Gampang sekali perih jika tersentuh. Mengerti kau,
maksudku Japri? Ada hal dari pengalaman hidupku yang lebih baik tak usah
disentuh kembali. Itu sama saja menganggu kesadaran setengah jiwaku.” Mang
Maing bicara sambil menatap bulan yang remang-remang. Ada kalimat yang tak bisa
dia teruskan. Seperti tersimpan di kerongkongan. Seperti akan mengisahkan
sebuah kesedihan panjang.
Japri tersedak. Wajah Mang Maing
begitu teduh. Namun tak lantas mampu menghapus jejak akan perjalanan hidupnya
yang ternyata cukup berliku, menguras kepedihan dan penderitaan. Di tengah
sinar bulan yang menembus daun ketapang menerpa wajah Mang Maing terlihat
ekspresi yang sedih. Tak pernah terlihati sebelumnya oleh Japri selain waktu
Mang Maing sakit gigi hingga gusinya bengkak selama satu minggu. Tapi sedih ini
lebih sedih dari derita sakit gigi. Pahamlah Japri dengan lagu dangdut yang
sering dinyanyikan Bang Ujang di warung kopi. Lebih baik sakit gigi daripada
sakit hati.
Japri merasa menyesal menemukan
foto usang itu. Berniat dalam hati esok hari mengumpulkan anggota SBK untuk menghentikan
investigasi foto misterius. Lebih layak hal ini dikubur sebagai bagian dari
kisah cinta Mang Maing yang akan tetap misterius. Menempatkannya di relung hati
Mang Maing secara abadi, tak terganggu siapapun daripada hanya untuk memuaskan
dahaga keingintahuan anggota SBK. Bisa-bisa mereka hanya membuka kotak Pandora. Menemukan informasi yang memuaskan,
tetapi menghadirkan kembali kenangan buruk Mang Maing. Japri dan anggota SBK
lainnya pasti lebih memilih tetap penasaran daripada meladeni Mang Maing yang menjadi
setengah gila. Itu pasti.
..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar