Jumat, 10 Juni 2011

mari bersulang,kawan.."




Di catatan editor Gunung Jiwa karya Gao Xinjian, konon, ada empat jalan menuju “kesejatian”: agama, filsafat, sains dan sastra. Para pencari kesejatian sejak dulu memilih jalan setapak mereka masing - masing. Ada yang berhasil dan banyak yang tak kunjung memperoleh apa yang mereka cari.
Aku mengenali mereka. Ada disekitarku. Menyenangkan rasanya mengamati dan memelihara mereka. Ku memiliki juga beberapa teman pencari yang berbeda. Bukan lewat empat jalan ”konvensional” yang sudah berabad-abad menjadi panduan sekaligus ”arah” tujuan, tapi lewat jalan lain yang berbeda.
Satu dari temanku itu adalah si pengelana. “Tujuh milyar manusia di planet ini, dengan cara apapun, dengan pola apapun, sadar ataupun tidak, semua mencari kedamaian. Ketenangan hati, bahagia yang paling hakiki di dalam hatimu. Yang hanya kamu yang tau” ujarnya. Menjadilah bahagia, tanpa sekat. Ruang dan waktu sebenarnya tak ada. Kita lah yang ada. Konstan. Ruang dan waktu lah yang justru melengkapi. Temanku itu ada dimana – mana yang dia suka. Mencari ’sejati” diri baginya. Jiwanya lepas, tanpa sekat norma, menikmati warna dunia dan segala hiruk pikuk sebagai pelengkap diri. Jadilah dia bahagia dalam setiap langkahnya. Menikmati dunia yang terus berjalan tanpa terasa mengganggunya. Karena dia tak terlibat dengan hiruk-pikuk itu. Dia adalah penonton. Dan sangat menikmati kisah apa yang disuguhkan dunia! Kadang dia ikut menangis melihat roman, merasa tragis memandang kekerasan, berdansa dengan para hedonis di pantai kuta sambil mengisap ganja. Terakhir kali ku terima kabarnya, dia sedang bergembira mengusap seekor komodo dragon dewasa di habitat aslinya! Oh temanku terkasih, semoga predator ganas itu memiliki hati dan tak menganggapmu menu makan siang karena aku berharap kau masih menularkan kebahagianmu untuk di lain waktu.
Satu lagi temanku adalah seniman. Seniman bukan sebagai pekerjaan. Bukan hanya status di KTP dan hidup dengan segala fasilitas akomodasi publisitas ke artisan. Dia adalah seniman untuk hidupnya. Aku kadang heran melihat selebriti di tv yang hanya bisa lipsinc dan merumpi atau memerankan iklan produk di sebut seniman? Mereka bahkan tak memiliki jiwa. Tak bisa memilih antara indah dan tidak, mungkin tak bisa mengeja kata SENI! Tapi sudahlah, bukan wilayahku untuk menghujat mereka. Sudah banyak yang mewakili.
Temanku si seniman ini adalah tipikal manusia jujur. Terhadap dirinya, dan tentang segala rasa yang dia rasakan. Kamu akan tau seperti apa perasaannya saat ini ketika dia menari, bernyanyi, melukis, berpuisi, memainkan instrument, dan lain-lain. Tak ada yang lebih indah daripada membahasakan perasaan dengan jujur. Kata Soe Ho Gie; ”Apa ada yang lebih indah dari membahasakan kebenaran?”. hidup adalah kejujuran. Menikmati hidup dengan dada terbuka. Tak takut pada ketakutan. Baginya ketakutan itu tak ada kecuali ketakutan itu sendiri! Kalaupun ketakutan itu terasa, mari kita menikmati ketakutan!
Ku pernah ditunjukkan rasa getir lewat tariannya. Mengenal rindunya lewat musiknya, getir dalam goresan kuas, ragu dan kesal dalam petikan gitar. Atau kepatahan hati dalam sayatan biolanya. Kau bisa bayangkan speperti apa layaknya indah memiliki tempat dalam pengertian seni baginya?
Dia dan jiwa seni; pencariannya menuju kesejatiannya.
Beberapa teman lain adalah pencinta. Untuk waktu yang lama, mengarungi hati dalam gelombang dan riak pada satu hati yang dicintainya. Menyimpan hati itu, kadang dalam keadaan patah berkeping-keping di dalam jiwa. Mencoba membahasakan setiap detak riak itu menjadi iramanya menjalani hidup. Kita tak bisa menilai mereka terlalu berlebihan. Ku rasa tak tepat menganggap begitu. Kawan, apa definisi cinta bagimu?
Ada banyak hal..aku paham. Ketika kecil cinta itu dikenalkan seperti kasih ibu terhadap anak yang tak kunjung habis..ketika dewasa kau akan mendengar lagu-lagu band melayu indonesia yang berteriakkan cinta yang mendayu-dayu!kecengengan dalam tampang gondrong dan memakai anting. Ironis sekali!
Ketika tua, kau akan disuguhkan pada konsep cinta kepada tuhan yang tak akan lekang. Atau konsep para humanis dengan kecintaan terhadap kemanusian? Apapun itu, seberapa mampu kita mendefinisikan cinta hanya dalam kurun waktu-waktu itu? Akan lebih bijak ketika kita memaknainya dalam waktu yang lama. Selama waktu kita untuk merenung tentang banyak hal yang kita dapat, hilang dan kita ikhlaskan untuk pergi dan kenangan yang tetap tersimpan. Lalu tentang cinta itu, mari kita tanyakan pada para pencinta itu. Yang rela menukar hal yang paling berharga yang dia miliki bahkan hidupnya demi emosi terkuat itu. Seperti romeo dan juliet yang tragis, sampek-engtay, layla majnun, magdalena – steven, atau saijah dan adinda karya multatuli. Sejarah akan mencatat, akan masih ada orang sperti mereka. Kita yang akan terus menikmati kisah mereka. Mereka menjadi kekal.
Aku ingin menjadi mereka para pencari itu. Hanya saja tak mudah. Karena seperti teman-temanku, akan lebih indah menikmati jalan sendiri walau itu berarti menjadi tersesat, jatuh, bahkan hilang dan musnah tanpa menjadi apa-apa.
Setidaknya, aku bukan sebagian dari penghuni kolong langit ini yang hanya hidup untuk ”seakan-akan” hidup. Tanpa memberi kontribusi. Tak merasa berbahagia dalam hidup yang hanya sekali. Tak akan ada kompromi untuk tidak merasa bahagia. Tak ada waktu untuk menunda mencari damai. Untuk hati yang merindu rasa itu.
Temanku para pencari, ku ingin bersulang untuk pencarian kita. Mungkin kita akan bertemu di persinggungan jalanku dan jalanmu. Saling berbagi kisah tentang mencari. Saling menguatkan, meninggalkan kepedihan yang tak perlu dibawa lalu kembali berjalan ke depan. Dengan jalan kita masing-masing.

mari bersulang, kawan...dan selamat menemukan pencarianmu.

Tidak ada komentar: