Senin, 28 November 2011

Di ujung batas


Aku percaya pada ilmu pengetahuan. Aku percaya pada perubahan. Aku percaya pada dunia yang selalu mengikuti kodratnya. Pada nilai yang selalu tak pernah konstan. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, waktu terus akan berlalu. Perubahan akan terus terjadi. Tapi kau boleh memilih sesukamu. Berjalan bersama perubahan, atau diam dan tertinggal.

Alam menyediakan banyak hal untuk kita pelajari. Menjadikannya senjata, pengetahuan, yang kita gunakan untuk terus hidup. Hal-hal yang membawa peradaban dan merubah wajah dunia. Berapa harga perubahan?
absurd! Se-sakral tangis dan darah pejuang republik ini untuk merdeka tapi sesinis koruptor merampok dana kesejahteraan rakyat miskin. Seharga ribuan nyawa yang mati karena virus influenza yang tak ada obatnya ratusan tahun lalu, atau semurah Rp 1.500 perak untuk 4 tablet obat flue di toko kelontong.
Sesukamulah memaknainya.

Tapi waktu mengajarkanku banyak hal. Tak selamanya akal berguna. Tak selamanya nilai muncul dalam kalkulasi untung rugi. Masih ada hal seperti kepercayaan, ketulusan, kasih dan persahabatan yang membuatku berdarah-darah mengarunginya dengan suka rela dan bahagia. Kalau peradaban atlantis menghadirkan teknologi fantastis yang misterius, waktu menghadiahkanku para sahabat menjadi senjataku.

Aku rindu mereka. Mereka yang menghangatkan hatiku hanya dengan mengingatnya.

Pada satu sore yang aneh di pantai yang akrab, buih ombak mengiringku pada banyak ingatan tentang satu sahabat. Tentang dia yang selalu membuatku terkaget-kaget mengikuti kisah-kisahnya.
Ku renangi pantai itu. Tempat ku dan dia biasa menghabiskan waktu menikmati sinar sore. Ku ingat, dia selalu riang dengan pantai. Pantai yang selalu di rindu. Berenang lihir mudik seperti lumba-lumba sampai lelah. Lalu berbaring di pasir menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya sepanjang nafas. Meresapkan masa lalu ke dalam dada, menjadikannya tenaga untuk masa depan yang juga tak tertebak.
Ku selalu suka saat kami meniti jembatan rajutan berbahan batang pohon kecil menuju panggung bagan tempat nelayan memancing. Berdiri di tepian bagan, merasakan deru angin disela telapak kaki. Memanggil untuk terjun ke laut yang beriak, memicu keberanian diri. Itu adrenalin. Aku kenal dirinya. Dia yang seperti buku yang sering ku baca. Tentang haru-biru, mimpi, pencarian arti hidup dan segala keriuhan, hanya saja ceritanya tak pernah berhenti. Selalu berlanjut sampai waktu yang kita tak pernah tahu Juga sekumpulan senyawa adrenalin di tiap tetes darahnya. Dia mengenggam tanganku. Melihat ke arahku, lalu mengajakku terjun bersama.Aku percaya padanya. Pada jalan, arah, kehendak, serta pilihan yang berserakan, dia akan memilihkan yang terbaik untukku. Membantu melewati batas ragu dan ketidakberanian. Kami terjun bersama ke riak air laut itu. Membantuku melewati ketidakberanian, berenang ketepian dan tertawa sampai kehabisan nafas.
Masa itu adalah emas. Masa dimana mimpi terasa tak jauh dari gapaian. Kita adalah raja untuk pilihan kita. Tak ada batas.Bersulang bersama untuk segala hiruk-pikuk. Meski kita tahu, waktu mengintai kita dengan segala konsekwensi.

Aku percaya pada perubahan.
Pada tiap detik waktu yang bisa saja merubah apa saja meski tak ada kebetulan. Semua adalah proses panjang sebab-akibat yang saling bertautan.

Tapi ketika banyak hal berubah, apakah masih ada yang tinggal dan bisa gunakan sebagai senjata?
Sore tadi, ku titi jembatan rajutan panggung bagan itu lagi. Sendirian. Berdiri di pinggir panggung bagan, merasakan angin di sela jari telapak kaki. Mengingat ragu dan ketidakberanian melihat ke bawah. Pada riak laut yang memanggil. Teringat pada dia yang mengenggam tanganku, menyakinkan semua akan bak-baik saja.
Tapi aku hanya sendirian.

Satu kawan pernah berkata, ”waktu tidaklah abadi. Kitalah yang abadi”. Ku pikir dia seorang eksistensialism tapi kini ku mengerti maknanya.

Sahabat.. waktu kadang membenturkan segala kepentingan dan perasaan. Tapi selama kita masih mampu pengingat, kenangan baik tentang kalian ternyata lebih hebat dari logika. Lebih berguna dari nasehat penasehat hukum, konsultant, motivator, sufi, cendikiawan sekalipun.
Cukup percaya. Dan tak perlu logika untuk percaya.


Aku melompat. Melewati ujung batas kemampuanku. Merasakan hal baru.
Seperti waktu itu. Seperti waktu melompat bergandengan dengannya.

Minggu, 20 November 2011

Mari tiup lilinmu, sayang..


“Selamat ulang tahun sayangku..”aku mengucapkannya sama seperti orang lain yang mengucapkan selamat padamu di facebook,twitter atau jejaring social lain, rekan kerjamu di kantor, keluargamu atau kenalan-kenalanmu yang lain.

Sayangku,..hal apa yang menarik dari sebuah “ulang tahun?”. kamu, kita, secara rutin merayakannya di setiap kali bumi berhasil mengelilingi matahari ;365 hari lewat 6 jam; yang disamakan dengan ukuran waktu 1 tahun. Selama melawati kurun waktu itu, bumi seperti menegaskan keberadaannya dalam jagat raya ini. Memastikan kembali bahwa ia ada dan masih akan berusaha mengelilingi matahari lagi, meski itu berarti harus berputar selama 365 hari lewat 6 jam lagi.
Bagaimana dengan kamu?

Putaran waktu membawamu ke usia 25 tahun. Tak banyak sejarahmu yang ku tahu, selain 4 tahun belakang. Bukan waktu yang pantas untuk memotret utuh perjalananmu sampai di titik ini. Tapi minimal, satu sisi mampu ku rekam. Mengingatmu dan merunut klausalitas jejakmu untuk menuliskan ini.

Pada sepupuku kesayanganku;vika, kami selalu berkata ”masih tentang bertahan hidup”. Tentang kesadaran bahwa hidup yang seperti pertempuran, tentang medan perperangan yang tak selalu bersikap adil dan tentang keterbatasan yang nyata. Hidup ini memang bicara tentang bagaimana cara bertahan hidup. Tapi setidaknya jika semua orang di planet ini adalah petarung, aku bukan petarung yang sendirian..berkali-kali kami saling memapah jika terluka. Bergandengan ketika kalut. Dan terkadang merayakan kemenangan bersama.

Kepadamu ku tak bisa berkata lain. Kita juga masih akan bicara tentang bagaimana bertahan hidup. Tentang kenyataan bahwa ternyata kita masih tak memiliki apa-apa, tentang jalan di depan yang terjal dan tak tertebak, tentang kecemasan yang jujur tak bisa kita sembunyikan.

Aku berharap banyak padamu. Pada ketabahan, kesabaran, kesetiaan, loyalitas dan integritas yang aku sendiri tak bisa ungkapkan.
Aku butuh kamu untuk berlari bersamaku. Di tengah hujan yang kadang bukan berisi air, tapi panah dan peluru tanpa ada tempat berlindung dan upaya selain menerimanya dengan gagah. Karena aku tak percaya takdir. Takdir adalah milik mereka yang memang dilahirkan beruntung atau mereka yang menyerah sebelum bertahan. Kita tidak dilahirkan untuk menjadi seorang yang sudah ditentukan. Satu-satunya nasib yang tidak mungkin kita elakkan hanyalah kematian. Sisanya bukanlah takdir. Tapi sebuah sebab-akibat yag saling bertautan. Tuhan memberi kita hidup, menunjukkan banyak hal untuk kita melewati dalam hidup, tapi menyerahkannya kepada kita untuk menentukannya. Kita yang memilihnya. Menyia-nyiakannya atau memanfaatkannya sebaik mungkin.

Sayangku, aku butuh mencintai kamu dengan karaktermu yang kuat..karakter yang hanya kamu yang punya. Karakter yang tak akan bisa dicuri orang, tak pudar oleh waktu justru semakin baik. Buat aku semakin mencintai itu.
Sebab yang lain tak akan berarti lama. Penampilan bisa berubah. Teman datang dan pergi. Kekuatan, kecepatan, kelenturan tumbuh dalam beberapa waktu saja. Selanjutnya bersama waktu itu akan semakin melemah, melamban dan canggung. Tentang kepandaian dan ketenaran, yakinlah akan selalu ada yang lebih pandai dan lebih tenar.

Sayangku..
Aku hanya ingin mematri kembali eksistensimu. Di siklus perjalananmu.
Menjadilah kuat. Setidaknya untuk dirimu sendiri. Berjanjilah padaku tak ada yang akan membuatmu menyerah pada nasib walaupun dunia berkonspirasi melawanmu.
Tak perlu takut. Jangan simpan ragu.
Aku disampingmu. Siap memapahmu jika kau letih.
Karena setelah itu kamu harus berlari lagi..sekencang-kencangnya angin membantumu mengejar mimpi.

Selamat ulang tahun..genapi doamu dan tiup lilin itu..”