Selasa, 31 Mei 2011

Rindu berwarna ungu


Gadis itu duduk di pojok ruangan. Di tempat ini memang memillki banyak pojok. Mencoba menciptakan ruang-ruang sendiri bagi pribadi yang duduk disana. Caffe kelas menengah yang tidak hanya menjual kopi tapi juga perasaan nyaman. Tataan interior bergaya eropa, musik bossanova yang diperdengarkan lembut. Sering ku temui orang yang kadang hanya ingin merenung, menulis meski banyak juga yang datang untuk mengobrol ramai, tertawa-tawa dan ku pikir mereka salah memilih tempat. Sepertinya mereka lebih cocok merumpi di mall. Tapi aku tahu, gadis itu memilih tempat ini bukan karena alasan-alasan itu.

Dia sendirian. Menurutku dia tidak sedang menunggu seseorang. Memang menginginkan sendiri. Kadang menyenangkan menjadi penyendiri. Tak berbicara. Tak mendengarkan. Hanya dirimu dan pikiran. Merasa lebih dalam yang bisa di rasa oleh hati. Ketentraman yang hanya kau sendiri yang tau. Sendiri dalam keamananmu.

dia memegang sebuah pena dan catatan. Tapi tak menulis. Di atas mejanya, rokok mentol itu habis setengah batang tanpa di hisap. Terbakar sendiri. Secangkir cappucino panas yang masih mengepulkan panasnya. Dia merenung bersama kepulan uap cappucino dan rokok mentol yang terbakar perlahan. Apa yang menjadi pikirannya? Raut wajahnya itu, dia tidak bersedih. Tidak. Mungkin dia hanya rindu. Ada senyum mengantung di bibirnya.
Mungkin.

Aku sering iri dengan perindu yang khusyuk. Mereka adalah orang yang tak pernah merasa terganggu oleh orang lain. Hanya bertumpu pada satu hal. Menumpukkan satu demi satu biji rindu, menanamnya jadi buah rindu yang ranum. Menunggu saatnya memetik.
Dari caranya melamun, dugaanku dia menikmati rindu di hatinya tumbuh perlahan. Semakin besar dan besar. Tak sabar lagi menunggu musim panen itu tiba.
Ah, maukah kamu membagi menikmati rindu itu sedikit saja denganku?

Dia menarikku untuk terus mengamatinya. Dia cantik. Tubuhnya kecil, tapi dengan wajah oval, mata besar dan bulu mata yangg lentik, alisnya tebal, bibirnya seksi, rambutnya panjang terurai dan setengah senyum mengantung itu, dia terlihat proporsional. Setidaknya dari arah sudutku melihatnya. Ini seperti pose yang sempurna. Aku baru sadar, dia sepertinya menyukai warna unggu. Aku hanya berjarak dua meja di depannya. Bisa ku lihat syal hijau di lehernya, baju, sepatu, tas juga pernak-pernik serba unggu. Kenapa dengan unggu?
Ada banyak alasan orang menyukai warna tertentu. Mungkin karena memori indah tentang yang indentik dan berhubungan dengan warna itu, mungkin juga karena sebuah warna itu cocok dan pas untuk penampilannya,serasi atau karena tanpa alasan. Pokoknya suka. Tentang dia dan warna unggu yang dominan padanya, hanya lah dia yang tau. Dan apapun itu dia dan unggu adalah tepat untuk menarik perhatian.

Dia menyalakan rokok. Menghisapnya dalam-dalam. Menarik gumpalan nikotin dan tar itu ke dalam paru-parunya, menghembuskannya perlahan lewat mulut dan hidung lancipnya. Oh, moment itu..rasanya akrab sekali! Itu kegelisahan! Sama sepertiku yang harus menghembuskan asap rokok ketika tak bisa tidur karena terbangun dari mimpi buruk, dihimpit oleh masa lalu yang menghantui dan masa depan yang tak jelas. Apakah dia sedang merasa seperti itu?
Dia menoleh ke arah kaca di samping..ke jalanan yang riuh. Kota yang sremakin berwarna karena sore. Jalan yang semakin ramai di waktu orang kantoran pulang kerja. Ramai. Seperti berjarak dengannya yang duduk tenang di dalam ruangan ini. Mengambil cangkir cappucino itu, menghirupnya perlahan. Menikmati hirupan itu melewati tenggorakan. Mengecapnya dan kembali melamun. Larut lagi dalam pikirannya.
Ingin rasanya menghampiri, satu meja dengannya, duduk berhadapan, melihat matanya dan berkata; “mari bagi gelisahmu itu, biar aku juga merasakan rindu yang kau rasa. Aku ingin menikmatinya”. Tapi itu hanya dalam pikiran. Tak cukup keberanian melakukan itu.

Berbahagialah mereka yang merindu. Lebih lagi ketika rindu itu berbalas. Rindu itu seperti tenaga cadangan. Memompa keluar energi yang kadang tersendat, menjadi mengalir lagi. Ketika merindu, betapa hati ikut luruh dalam sesak yang syahdu. Merengangkan urat saraf yang kaku karena emosi. Hanya bertumpu pada lamunan masa indah, dan harapan bertemu kembali.
Aku ingat pendapat yang bilang kalau firasat itu benar ada dan nyata. Ketika perasaan begitu dalam, alam bersahabat denganmu.
Diberitakannya kejadian yang di alami orang kesayanganmu lewat hembusan angin, bentukan awan, bentangan bintang. Disampaikannya perasaanmu kepada kesayanganmu lewat sinar pagi, atau lembutnya senja. Di gantikannya suaramu lewat gemirincik air mengalir. Ya, cinta adalah emosi terkuat!
Jangan takut rindumu tak tersampaikan..dia akan merasanya juga. Selama kau memelihara rindu itu dengan khusyuk.

Aku tak mengganggumu, perempuan ungu..aku menikmati caramu menikmati rindu itu.
Dengan caraku.

yang tak tersederhanakan


Aku tak tau bagaimana tuhan bekerja..Tentang hati yang tak mau berubah ini. Untuk pertama kali dalam beberapa purnama hati ini tak mau berubah. Selalu mengingat 1 wajah. 1 senyum yang tak bisa hilang dari ingatan. Tapi oh sang sutradara hidup, berapa lama aku bisa menikmati rasa ini? Mengarungi rasa ini terus, terus dan terus?

Kadang keinginanku sangat sederhana. Hanya ingin bisa menyeberang jalan, sampai dengan aman di sebelah sana. Atau seperti duduk dipinggir jendela, memandang ke arah jalan yang hiruk-pikuk sepanjang hari. Melihat dunia bergerak, dan aku adalah saksinya. Tanpa berpikir ikut terlibat diantaranya.
Tapi kali ini keinginanku adalah bisa selama mungkin duduk bersamanya di teras rumah, berbincang ringan dengannya, bersama teh hangat di sisa sore yang kami punya.
Apakah itupun terlalu mewah?

Semakin jauh berjalan, mungkin memang semakin terasa lelah. Menjadi lemah bukan saja secara fisik, tapi juga mimpi dan harapan yang dengan rela dikurangi kadarnya. Idealisme yang sedikit demi sedikit memudar, mulai mengantungkan harapan kepada eksternalitas yang semakin tinggi. Di tinggal optimisme?
Ah, segala angkuh hati.. kemana kau sekarang. Bisa-bisanya sembunyi di saat ini. Membiarkanku di kepung sinis dan pesimis yang menusuk-nusuk.
Aku tak akan menyerah. Tapi memang, aku terpaksa berhenti. Tak lagi mampu berjalan ke depan.

Aku hanya ingin mencintaimu, puan..
Tak terlalu berharap kau juga akan balas mencintaiku. Mencintaimu berarti rela menikmati semua tentangmu dengan adanya. Dengan kamu sebenar-benarnya. Kamu yang hanya akan menjadi kamu, dengan caramu. Bukan dengan caraku, apalagi merubahmu sesuai rekaanku. Masih rumit kah itu untukmu?

Aku berjanji tak akan menganggumu. Tak banyak yang aku pinta bukan? hanya hal-hal remeh yang sederhana. Kalaupun kau tak mampu, setidaknya, biarkan ku duduk di dekatmu. Saat ini saja. Tak akan lama. Sebentar saja. Minimal kau tetap disampingku hingga rasa ini reda.. hingga aku akan tetap merasa baik-baik saja ketika kau sudah tak ada. Karena aku masih harus berjalan lagi. Sepertimu juga.