Jumat, 23 Desember 2011

sore setelah hujan di bulan Desember


Di bulan Desember, tak perlu ke Eropa untuk merasa dingin. Di pesisir barat pulau Bangka ini, setiap malam anak pesisir tidur meringkuk seperti udang karena dingin. Memang tak ada salju seperti di Eropa tapi setiap desau angin malam mengundang rintik hujan terdengar di telinga, sudah bisa dipastikan..tak ada yang indah selain tidur berselimut tebal. Orang pesisir adalah jenis manusia terbiasa menikmati hangat mentari. Bahkan dengan bonus ultraviolet dosis tinggi yang menghitamkan kulit seperti arang pun sudah biasa. Tak ada yang suka dingin kecuali kelompok maling jemuran, panci dapur, sendal jepit, mengendap-endap diantara dingin dan kodok sungai yang berisik memanggil hujan.
Lelaki pesisir dewasa umumnya adalah nelayan tangguh. Mengarungi laut dengan perahu sederhana, bermalam-malam di tengah laut seperti satpam ronda keliling kampung. Laut seperti halaman rumah saja. Dikenalinya tiap gugus karang yang bisa mengkaramkan perahu, berteman taburan bintang sebagai arah. Tapi tetap saja bulan Desember bukan waktu yang baik untuk melaut. Angin bulan Desember seperti tusukan jarum-jarum pada tubuh. Menusuk ngilu.

Tapi tak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia. Terkadang manusia saja yang tak mampu melihat hikmahnya.
Sore di bulan Desember adalah sore terindah sepanjang tahun. Seperti kata R.A Kartini ”habis gelap terbitlah terang”, setiap usai bulir hujan menyiram pesisir, matahari kuning bulat mengantung di ufuk barat. Terang, menyala, berbinar-binar. Yang selalu istimewa adalah awan putih berarak ramai di sekelilingnya. Hiburan termegah anak pesisir. Mengajak lupa pada hujan yang sendu. Ilham para pemuda yang sedang kasmaran tiba-tiba menjadi pujangga. Merangkai-rangkai kata indah untuk para gadis pesisir yang sedang dicintainya. Efek khas dari bulan Desember di pesisir barat pulau ini.. di senja yang teduh, pantai, pelabuhan, dermaga, bahkan hampir semua pesisir di singgahi muda-mudi. Sebagian hanya duduk melamun. Mereka melamun dengan khusyuk. Se-khusyuk matahari yang tenggelam perlahan di telan malam.

Seorang perempuan paruh baya duduk tersenyum di teras rumah. Menatap jauh ke arah matahari terbenam dengan warna ingatan seperti matahari sore itu. Dulu, tak ada yang lebih dia sukai selain hujan di sore hari. Jika sebagian besar orang menyukai sore yang megah dengan sinar kekuningan di ujung ufuk, dia justru sebaliknya. Ini bukan tanpa alasan.
Dan alasan itu adalah kisah tentang keberanian melawan untuk tidak kalah dan hilang.

Hidup di pesisir barat pulau bangka, menjadikanmu sulit untuk menghindari pantai dan kemilau senjanya yang mewah. Warna langit yang kuning keemasan itu selalu di rindu. Menjadi hiburan secara kolosal bagi penghuni pesisir ini. Tak ada alasan untuk tidak menyukai langit sore.

Itu dimulai 30 tahun yang lalu. Ketika umurnya 25 tahun. Perempuan muda yang bahagia. Di usia pernikahannya yang ke empat, dia dan suaminya di karuniai dua orang anak. Anak pertamanya laki-laki berusia 3 tahun, dan adiknya, perempuan satu setengah tahun. Hidup sederhana di tepian kota pesisir yang sepi tetapi rapi. Masa dengan banyak harapan dan mimpi. Dia dan suami sudah merancang masa depan yang lebih baik untuk mereka berempat. Pendidikan untuk kedua anaknya, membangun rumah yang lebih permanen, merintis usaha kecil serta macam hal. Optimisme yang menyala. Hanya saja hidup tak selalu linier dengan harapan. Si director hidup selalu membuat kita terkaget-kaget dengan rencananya. Sang suami meninggal dalam kecelakaan. Meninggalkan semua mimpi dan rencana serta tangis dua anak kecil mereka.
Banyak perempuan tangguh yang pernah hidup dalam dunia ini. Sebagian tercatat oleh sejarah dan menjadi tauladan. Tapi tentu tak semua perempuan terlahir tangguh. Sebagian besar perempuan tetaplah perempuan. Sifat kodrati mereka yang perasa dan peka, terkadang membuat mereka menjadi larut dan lemah. Dalam kelemahan, apalagi yang menjadi harapan selain pertolongan dari yang lain?
Tak mudah menjalani hidup setelah kematian sang suami. Uang pensiun sang suami terlalu kecil untuk membiayai hidup mereka bertiga sementara pertolongan tak kunjung datang mengetuk pintu. Dia masih muda. 25 tahun. Tak ada pilihan lain selain mencari pekerjaan. Menjadi ibu sekaligus ayah untuk anak-anak ini.
Mungkin dia bukan perempuan yang dilahirkan tangguh dan pintar. Bukan berlian atau batu permata yang memang sudah tercipta indah untuk menjadi perhiasan. Cukup di usap saja, mereka akan bernilai. Tetapi dia berjanji akan seperti emas, berproses dengan waktu, di tempa dan dibentuk agar bernilai. Membuatnya berharga demi hidup kedua anaknya.

Sejak itu dia menghindari senja yang indah. Menghindari kesempatan untuk merenung, mengenang segala bahagia yang pernah ada sebab itu akan menyiksanya dalam kesedihan yang panjang. Dia tak mau larut. Sejak itu dia lebih memilih menyibukkan diri di dalam rumah ketika senja. Berharap senja segera berganti malam. Biar dia dapat menikmati gelap dan bersembunyi disana. Menenangkan hati dalam pekat. Melarutkan kelelahan pada malam.
dia menelan tempaan waktu dengan tangan mengenggam janji. Tak mengharapkan penolong baik hati bagi hidupnya. Pagi sampai sore dia berkerja sebagai administratur sebuah yayasan. Sore hingga malam berdagang kecil-kecilan. Menjelma sebagai mesin uang seoptimal mungkin. Pada kedua buah hatinya diletakkan semua harapan. Membekali mereka dengan senjata agar tak sulit bertahan hidup. Tak mudah menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Setiap bertambah usia, getir memandang perubahan. Bergelut dengan amarah, gelisah, ketakutan, khawatir yang sangat pada harapan hidup yang lebih yang tampak seperti kabut.

Kemenangan adalah milik mereka yang bersiap. Selain rencana, satu lagi bekal terakhirnya; tak akan mengalah pada nasib.

Waktu berlalu. Hari demi hari. Tahun ke tahun. Kerut pada wajah menjadi jejak semua letih dan usaha. Tak ada yang sia-sia dalam hidup. Semua berharga. Sekecil kerikil pun bisa merusak timbangan. Sebutir beras pun akan menjadi hitungan. Benar adanya, siapa yang menabur dia yang akan memanen. Sekarang usianya 55 tahun. Tak muda lagi.
Ini waktu memetik apa yang disemai, di pelihara dan disiapkannya. Kedua anaknya memang tak penuh seperti harapannya. Tapi Tuhan selalu punya cara membalas apa yang kita usahakan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari yang bisa kita ramalkan.
Tentang gemilang waktu mudanya yang bahagia memang tak pernah datang lagi. Tapi ketika kita bisa memaafkan masa lalu dan membuka hati untuk kebahagia baru, kita akan menemukan bahagia lagi.
Dia duduk disana. Di teras rumahnya yang sederhana. Melihat ke langit sore berwarna keemasan. Senja yang lama tak dia izinkan mengunjungi hatinya. Kini ku paham bagaimana tubuh paruh baya itu menahan dingin bulan Desember ini. Tempaan dalam hidup menbuahkan semangat yang tak bisa lapuk dan tua. Semangat. Harapan. Itulah selimut ampuh.

Memang tak mudah memaknai hidup.
Memahaminya, adalah pekerjaan panjang bersama waktu.
Dia menarik nafas lega. Tersenyum lagi. Terlihat seperti rasa bahagia.


(selamat hari ibu, mamak ku...)