Jumat, 24 Desember 2010

Annelies untukku


Kadang,..Seorang kawan datang untuk mengoyak ketenangan. Tapi dia mengoyak sesuatu yang memang pantas di perbaiki. Digantikan dengan hal baru. Sesuatu yang mapan di dalam hati pun kadang harus di rawat, dihiasi kembali, atau mungkin diperbaiki bagian yang rusak agar tetap menjadi mapan.
Dia bicara tentang apa yang harus dilakukan.

Kawanku itu memang “tengil”. Sesukanya merusak suasana yang ku usahakan “baik-baik saja”. Padahal memang belum baik bahkan tak baik. Dia adalah kawan yang sederhana menelanjangi sesuatu yang tertutup-tutupi. Menguak polesan-polesan penutup aib. Dengan lugas dan tak berbasi-basi, meyerang kelemahan sekaligus menggugahnya agar menjadi kuat.
Dia mengomentari tempatku hidup hari ini. Rumahku yang memang, ku usahakan baik – baik saja. Aku belajar banyak dan aku melupakan banyak tentang itu. Dibanyak waktu, kami sudah sangat sering memahami das solen dan das sein yang ada.
Antara hal yang seharusnya terjadi dan fakta yang ada. Di studiku pun, dari asumsi pertumbuhan linear, struktural, dependensia sampai ke neo-klasik dan teori baru pun berusaha menjawab sebagian pertanyaan itu, meski masih ada pertanyaan lain yang masih tersisa seperti tentang bagaimana lepas dari rantai kemiskinan?pertumbuhan versus pemerataan?
Siapa yang tidak setuju, Republik ini bagian dari jajahan neo klasik yang menentang revolusi? Hampir semua fatwa neoklasik terjadi disini. Swastanisasi BUMN, pasar bebas, deregulasi pemerintah, campur tangan pemerintah yang minim,dll. Asumsi pembangunan selalu dimulai dengan kata kunci = pembentukan modal, yang diterjemahkan investasi.
Bagaimana melepaskan diri dari jebakan jejaring pasar global dan melindungi masyarakat yang rentan menjadi korban globalisasi? Apakah kekuatan kapitalisme global tak terbendung? Di mana negara saat rakyat menjerit dan mengharapkan intervensinya? Deregulasi tanpa kontrol menggerogoti kekuatan negara.
Padahal, pemerintah negara berkembang harus lebih berperan melindungi rakyat dari mata pedang globalisasi yang melukai.
Ya kawan, terimakasih. Rumahku memang masih jauh dari nyaman untuk ku tempati. Masih harus ku benahi atau aku yang membenah diri.

Ku mencintai seseorang untuk kisah dan ide pikiran. Menjadi menyenangkan larut berpikir dengannya. Dia seperti rumah untuk berpikir. Dan kepadanya semua ini aku kisahkan. Ketika aku selesai bicara,..dia melihat kearahku dengan mata coklat nya jelas tegas menatap, berkata; ”Apa yang harus kita lakukan?”
Seandainya saja 150 tahun lalu ada seorang belanda-menado sepertimu berkata seperti ini kepada ku seorang bumiputra, tentu situasinya tidak begini. Betapa ini membawa warna lain di hati. Sejenak, ku letakkan hatiku padamu. Membenahi semangat yang sedang tumbuh dan tumbuh. Setidaknya membantah pesimisku tentang sesuatu hal berbau import itu berefek buruk terhadap pikiran ketimuran sepertiku.

Berbicara tentang idealisme yang membara, secara kebetulan yang tak beraturan membawaku pada hal-hal lain yang menyenangkan juga riskan. Jika seorang kawan kadang datang mengoyak ketenangan dan pikiran, seseorang perempuan datang untuk ku biarkan masuk ke dalam hati. Melakukan hal sesukanya, menata hatiku dgn hati-hati seperti designer interior sebuah hunian, atau malah mengobrak-abrik hunian hati ini seperti habis dilanda gempa tektonik diatas 8 SR selama 10 menit!
Ya, mencintai seseorang mungkin berarti sama dengan membiarkan kita untuk disakiti oleh orang lain? Hati; pusat segala simpul rasa berasal. Bagian tubuh mana yang ada pada manusia yang mampu memerintahkah hati untuk bereaksi? Justru hati yang memerintahkan otak,dan semua organ untuk bereaksi atas petunjuk yang hati rasa dan karena itu aku percaya, bagian tervital yang sering jadi sasaran serangan untuk spesies mamalia yang bernama manusia adalah hati nya!
Tapi tak mengapa lah,..hatiku merasa nyaman untuk menyediakan tempat untuknya tinggal dan berlama-lama disana. Ku percaya dia akan menghias hatiku seperti hunian bergaya tropis yang aku dan dia suka..merasa santai dan nyaman untuk bersama.

Sesekali, dibawanya aku ke hatinya. Bermain permainan ringan tentang rahasia- rahasia kecil yang kita simpan lalu kita bagi, agar belajar membuka sedikit demi sedikit hati, meletakkan rahasia itu ke hati yang lain, sedikit demi sedikit , sampai hati yakin merasa nyaman. Dikenalkan pada bagian-bagian hati itu seperti mengenalkanku pada ruang-ruang rumahnya. Dari halaman depan, ruang tamunya, juga bagian-bagian kecil yang jarang diketahui orang tapi adalah bagian dari hatinya. Aku suka hatinya. Memang tidak semewah hunian-hunian megah, tapi bersih dan rapih. Di senja yang cerah, hatinya seperti terbuat dari logam mulia yang langka. Seperti emas bercampur perak. Tenang berkilauan.
Dia juga masih akan tambah berkilauan ketika bernyanyi. Suaranya itu,merdu kawan! Kalaupun hanya ada aku dan nyanyiannya di tepian hutan yang tenang, tak kan ada desau angin dan jangkrik hutan yang berani mengeluarkan suara..ku rasa hutan pun tau, sayang sekali melewatkan mendengar nyanyian dari mulutnya dan lebih baik diam menyimaknya dengan tersenyum saja. Bagaimana bisa untuk tidak menyukainya? Annelies-nya si Minke dalam “Bumi Manusia” nya Pramodya Ananta Toer mungkin wanita setengah indo yang cantik, juga sama, lebih memilih merasa menjadi pribumi seperti dia,tapi Annelies tak bisa bernyanyi!
Berhenti lah aku mengidolakan Annelies...

Dan selayaknya aku berhenti mengagumi Annelies. Karena itu tak baik dan sayangnya aku melalaikannya. Salahku membiarkannya menebak – nebak “Annelies”, dan melukainya. Memberitakan hal yang tak selayaknya untuknya. Pertama kali aku merasa tak mudah menjadi laki - laki, menyampaikan fakta yang tak menguntungkan untuknya dan untukku. Melihat airmata itu mengalir dan tak mampu menghalanginya.
Tapi aku nyaris lupa hatinya terbuat dari material berbeda. Di akhir isaknya, aku sadar dia tetap si menyenangkan yang ku kenal. Hatinya lebih besar dari ukuran tubuhnya. Besar sekali. Aku baru tau kalau tangis bisa menular, menjangkiti orang lain disekitarnya. Aku dikenalkan dengan ketulusan. Airmata, ..mengalirlah. basahi kami dengan cinta.

Padanya aku berjanji takkan ada Annelies lagi. Hanya dia. Memang tak ada Annelies. Dialah Annelies untukku. Meletakkan lagi harapan pada tempatnya. Menata lagi rencana – rencana yang tertunda. Menyenangkan! Gairah lama yang sudah ku lupa sejak terakhir harus merusaknya sendiri.

Tiba saat ku lupa, kalau tak semua berjalan linier. Lagi, kesalahan kecil memicu semua. Ibarat kerusakan yanag sistematis, anggaplah seperti financial crisis amerika yang mampu merusak keuangan dunia yang sistemik, berujung pada skandal regulasi badan otoritas moneter sebuah negara, kesalahan kecil pun beresiko besar dan bernilai mahal. Dalam kasusku, betapa kepercayaan masih menjadi tonggak utama. Jika tingkat resiko mencerminkan potensi keuntungan, sudah seharusnya mempercayai resiko itu nyata dan terkelola dengan baik, sehingga keuntungan juga akan nyata diraih. Aku tidak melakukannya. Resiko itu terlalu nyata dan tidak terkelola. Kepercayaan itu pergi.

Banyak kisah tentang kehilangan, semua tentang hal yang tidak di ingini tapi kali ini sungguh tak terduga. Tapi tak apalah. Kau mengajarkanku untuk semakin berhitung. Tak akan lagi kalah dan kehilangan.
Terimakasih.

Jogjakarta, 27 maret – 13 november 2010

Tidak ada komentar: