Senin, 05 September 2011

tanda bahaya


Anggaplah hidup ini seperti hiruk-pikuk ramainya jalanan. kita adalah salah satu pengendara di jalanan yang padat. Bercampur dengan para pengendara lain, dengan berbagai kendaraan yang ditumpangi pada tujuan masing-masing yang tak sama. Sesekali bersinggungan, berderetan pada jalur yang sama, berhenti pada pemberhentian yang sama, atau terjebak di trafiklight yang sama. Tak ada ketergantungan kuat antara satu dengan yang lain. Hanya saling menghargai sebagai sesama pemakai jalan demi terjaminnya kelancaran perjalanan kita. Semua terikat pada aturan main yang ada di jalan. Suka tidak suka, harus tunduk pada pengaturan yang ada. Peraturan jalan, rambu peringatan, polisi lalu lintas, agar semua tetap stabil.
Stabilitas. Dalam banyak ranah, stabilitas adalah utama. Negara ini pernah di hantui oleh pengalaman buruk otoritas negara tentang kata “stabilitas” yang bermakna tegas menindak aktivitas yang mengancam ke “stabilitas”an. Di ranah ekonomi, betapa ketidakpastian kurs juga kebijakan makro, mengancam kepentingan usahawan untuk bangkrut dan jatuh miskin. Stabilitas dibutuhkan semua bidang juga semua orang. Seperti keseimbangan penawaran dan permintaan pada kurva yang menentukan harga. Meresap pada pikiran individu, membentuk sistem tersendiri dalam diri untuk mencari sesuatu yang stabil dan menciptakan ke stabil-an itu sebagai sebuah sistem pertahanan diri. Lumrah, semua orang wajib merasa aman dari resiko, singgungan yang merusak, dan lain-lain.
Dalam pandangan individu yang bebas dan otonom, stabilitas diri membutuhkan banyak fasilitas pendukung. Kedekatan informasi untuk di olah dalam bersikap, bergaining power, perencanaan yang matang, serta senjata; berupa analisa cermat. Homo homini lupus. Peradaban ini tak merubah wajah dunia. Manusia yang satu tetap menjadi serigala bagi manusia yang lain. Stabilitas secara makro adalah keadaan yang menjamin kepentingan individu secara mayor terpelihara. Kaum minor seperti para splinter, adalah bahaya bagi mainstream!
Logika untuk berjaga-jaga mempertahan kondisi yang stabil dari ketidakpastian yang meningkat, melahirkan indikator kewaspadaan. Sebuah tanda bahaya muncul sebagai peringatan. Seperti lampu mercusuar pantai yang mengabarkan tanda, seperti rambu tanjakan untuk pengendara jalan menganti persneling. Tak berhenti sampai disitu, di kehidupan yang semakin dekat dengan keleluasaan informasi, bertuhankan ilmu pengetahuan, banyak peringatan lahir sebagai kebutuhan baru. Masyarakat sosial baru ini, butuh tingkat kestabilan yang semakin detail dan pasti. Mulai dari ramalan cuaca tiap jam, informasi jalur macet, sampai kadar zat kimia dalam kosmetik. Tak apa, itu pun baik. Hanya terkadang terasa kebangetan ketika pola konsumsi dan kewaspadaan terhadap tingkat kestabilitasan konsumsi juga diterjemahkan pada kehidupan sosial. Masyarakat mengkonsumsi tanda bahaya yang terasa terlalu berlebihan. Indikator pergaulan dibutuhkan untuk menjamin mereka bergaul dengan efektif dan tak berisiko. Diperlukan data personal seperti latar belakang keluarga, tingkat pendapatan, pendidikan, kecenderungan konsumsi, sampai kesamaan orientasi. Tanpa sadar, ini menjadikannya berkelompok-kelompok dan elitis. Penilaian pun terkooptasi semakin sempit. Pada harus dan tidak harus berbuat dengan tingkat indikator yang semakin efektif dan efisien yang ditetapkan sendiri. Apa perlu merasa indikator untuk menolong orang lain? Apa perlu para gelandangan dan pengemis jalanan jakarta diberi tanda peringatan “orang yang layak di beri sumbangan”? sampai seorang yang pernah di penjara terasa memakai baju dengan tulisan “mantan penjahat” karena tanda bahaya yang sudah di tempelkan pada dirinya lalu semua orang merasa berhak menatap sinis dan waspada terhadapnya. Seperti kaum yang dituduh komunis di paruh tahun 70an. Mereka lebih ditakuti dan dijauhi dari pada anjing liar.
Sulit memang.. setiap orang berhak merasa aman dan waspada terhadap apapun. Tapi bukan berarti harus menjadi panaroid dan berprasangka buruk bukan? Hidup ini terlalu pendek dijalani dengan ketakutan-ketakutan. Apalagi ketakutan yang salah kaprah.

1 komentar:

Megawati Muliawan mengatakan...

tp justru yg salah kaparah yg banyak d gemari smua orang...