Minggu, 07 Agustus 2016

Mang Maing Ke Jakarta



Mang Maing berangkat ke Jakarta. Tak ada informasi lebih lanjut. Entah gerangan apa yang membawa Mang Maing pergi ke Jakarta. Gerombolan SBK[1], kumpulan seniman tanggung yang biasa selalu se iya-sekata dengan Mang Maing terpaksa berkumpul membahas kepergian Mang Maing yang dirasakan tiba-tiba dan tanpa alasan. Di warung kopi Bang Ujang, suasana menjadi menghangat.
Samilun membuka obrolan. “ aku khawatir Mang Maing dipanggil Presiden ke Istana. Kalian tak dengar isu Resuflle kabinet? Jangan-jangan Mang Maing akan diangkat menjadi salah satu menteri di kabinet yang baru!”. Samilun menatap semua dengan tajam. Bayangkan! Bahaya kalau Mang Maing jadi Menteri. Itu sama saja dengan turun derajat! “
“Lho? Kok turun derajat? Baguslah kalo Mang Maing menjadi Menteri. Hebat itu namanya.kita-kita ini jadi temannya Menteri! Bangga dong!” Udin menanggapi Samilun. “Sekarang ini banyak orang ingin menjadi orang penting. Entah itu pejabat kecamatan, kabupaten, partai politik, sampai artis kampung dadakan. Tidak gampang lho jadi orang penting. Sogok menyogok katanya udah lumrah. Butuh koneksi dan biaya besar! “
“Iya, Samilun. Bagus lah itu”. Bang Ujang pemilik warung kopi ikut menimpali. “Mang Maing itu walaupun tampangnya tak jelas, sekolahnya juga tak jelas tamatan apa, tetapi beliau memiliki pandangan yang revolusioner. Mungkin saja Bapak Presiden tertarik dengan ide gagasannya tentang membangun negeri lewat kebudayaan. Membangun karakter bangsa dengan pondasi karakter lokal yang kuat! Mang Maing kan paling handal kalau bicara tentang budaya, seni untuk revolusi, pendidikan karakter, juga ekonomi kreatif berbasis kekayaan lokal daerah! cocok lah dia jadi Menteri ekonomi atau menteri pendidikan! Menteri pariwisata, kebudayaan juga cocok! Minimal wakil menteri lah”.
“Itulah yang tidak kalian pahami”. Balas Samilun. Apa kalian tak kenal Mang Maing? kawan kita itu mana cocok jadi bawahan? walaupun menteri tetap saja bawahan presiden. Mang Maing itu terkenal tidak dapat ditawar-tawar idealismenya. Ku ingat dulu dia pernah ditawari uang besar untuk jadi juru kampanye seorang calon gubernur. Mana mau dia! Dia lebih memilih jadi jongos metik lada dari pada harus menggombal janji-janji demi hak suara warga.”
“Nah, jika dia menerima jabatan menteri dari Presiden itu yang berbahaya. Bisa-bisa luntur idealismenya. Padahal kata Mang Maing, kita adalah raja di republik ini. Kita memilih presiden, gubernur, bupati untuk jadi pelayan kita. Kita punya wakil di lembaga legislatif untuk mengurusi kepentingan kita. Kita juga punya aparat hukum sebagai pengayom, penjaga dan pelindung hidup kita. Bahkan para birokrat di kantor-kantor yang megah itu pun adalah kacung kita semua! Kita adalah tuan mereka. Atasan mereka. Diatas kita Cuma ada Tuhan! Kata pepatah; suara rakyat adalah suara Tuhan! Makanya bahaya kalau Mang Maing jadi Menteri.. turun jabatan namanya! hilang hak eksklusifnya sebagai warga negara!” samilun seperti berorasi dengan berapi-api.
“Hoi, tumben ngumpul disini. Ngobrol seru kayaknya..Bang Ujang, kopi susu satu ya”. Tiba-tiba Mang Maing muncul dari belakang. Langsung mengambil tempat duduk tepat ditengah kumpulan.
Semua mata menatap ke arah Mang Maing tanpa dikomando. Terdiam menunggu momentum selanjutnya. Bang Ujang lah yang pertama mencairkan suasana. “Oi Mang, dari mana saja kau selama ini? Lama tak kelihatan. Ke Jakarta katanya?”. “Iya Bang.. sukses besar aku Bang. Kemarin ada kawan lama yang butuh batu akik kualitas bagus. Ku bawa lah koleksi batu akik kita kesana. Semuanya dibeli! Untuk bahan kontes gemstone tahun depan katanya. Hehehehe. Tenang kawan-kawan semua. Hari ini aku yang traktir semua kopi nya”. Mang Maing cengegesan tertawa gembira.
Sedetik kemudian semua menarik nafas panjang. Samilun pucat seperti tersedak. Bang Ujang langsung hilang menuju dapur.


[1] Seniman Batang Ketapang. Karena kebiasaan mereka berkumpul di bawah ketapang besar yang rindang, mereka sepakat mendeklarasikan perserikatan mereka sebagai Seniman Batang Ketapang.

Tidak ada komentar: