
Samilun membuka obrolan. “ aku
khawatir Mang Maing dipanggil Presiden ke Istana. Kalian tak dengar isu Resuflle
kabinet? Jangan-jangan Mang Maing akan diangkat menjadi salah satu menteri di
kabinet yang baru!”. Samilun menatap semua dengan tajam. Bayangkan! Bahaya kalau
Mang Maing jadi Menteri. Itu sama saja dengan turun derajat! “
“Lho? Kok turun derajat? Baguslah
kalo Mang Maing menjadi Menteri. Hebat itu namanya.kita-kita ini jadi temannya
Menteri! Bangga dong!” Udin menanggapi Samilun. “Sekarang ini banyak orang
ingin menjadi orang penting. Entah itu pejabat kecamatan, kabupaten, partai
politik, sampai artis kampung dadakan. Tidak gampang lho jadi orang penting. Sogok
menyogok katanya udah lumrah. Butuh koneksi dan biaya besar! “
“Iya, Samilun. Bagus lah itu”.
Bang Ujang pemilik warung kopi ikut menimpali. “Mang Maing itu walaupun
tampangnya tak jelas, sekolahnya juga tak jelas tamatan apa, tetapi beliau
memiliki pandangan yang revolusioner. Mungkin saja Bapak Presiden tertarik
dengan ide gagasannya tentang membangun negeri lewat kebudayaan. Membangun karakter
bangsa dengan pondasi karakter lokal yang kuat! Mang Maing kan paling handal
kalau bicara tentang budaya, seni untuk revolusi, pendidikan karakter, juga
ekonomi kreatif berbasis kekayaan lokal daerah! cocok lah dia jadi Menteri
ekonomi atau menteri pendidikan! Menteri pariwisata, kebudayaan juga cocok! Minimal
wakil menteri lah”.
“Itulah yang tidak kalian pahami”.
Balas Samilun. Apa kalian tak kenal Mang Maing? kawan kita itu mana cocok jadi
bawahan? walaupun menteri tetap saja bawahan presiden. Mang Maing itu terkenal
tidak dapat ditawar-tawar idealismenya. Ku ingat dulu dia pernah ditawari uang
besar untuk jadi juru kampanye seorang calon gubernur. Mana mau dia! Dia lebih
memilih jadi jongos metik lada dari pada harus menggombal janji-janji demi hak
suara warga.”
“Nah, jika dia menerima jabatan
menteri dari Presiden itu yang berbahaya. Bisa-bisa luntur idealismenya. Padahal
kata Mang Maing, kita adalah raja di republik ini. Kita memilih presiden,
gubernur, bupati untuk jadi pelayan kita. Kita punya wakil di lembaga
legislatif untuk mengurusi kepentingan kita. Kita juga punya aparat hukum
sebagai pengayom, penjaga dan pelindung hidup kita. Bahkan para birokrat di
kantor-kantor yang megah itu pun adalah kacung kita semua! Kita adalah tuan
mereka. Atasan mereka. Diatas kita Cuma ada Tuhan! Kata pepatah; suara rakyat
adalah suara Tuhan! Makanya bahaya kalau Mang Maing jadi Menteri.. turun
jabatan namanya! hilang hak eksklusifnya sebagai warga negara!” samilun seperti
berorasi dengan berapi-api.
“Hoi, tumben ngumpul disini. Ngobrol
seru kayaknya..Bang Ujang, kopi susu satu ya”. Tiba-tiba Mang Maing muncul dari
belakang. Langsung mengambil tempat duduk tepat ditengah kumpulan.
Semua mata menatap ke arah Mang
Maing tanpa dikomando. Terdiam menunggu momentum selanjutnya. Bang Ujang lah
yang pertama mencairkan suasana. “Oi Mang, dari mana saja kau selama ini? Lama tak
kelihatan. Ke Jakarta katanya?”. “Iya Bang.. sukses besar aku Bang. Kemarin ada
kawan lama yang butuh batu akik kualitas bagus. Ku bawa lah koleksi batu akik
kita kesana. Semuanya dibeli! Untuk bahan kontes gemstone tahun depan katanya. Hehehehe.
Tenang kawan-kawan semua. Hari ini aku yang traktir semua kopi nya”. Mang Maing
cengegesan tertawa gembira.
Sedetik kemudian semua menarik
nafas panjang. Samilun pucat seperti tersedak. Bang Ujang langsung hilang
menuju dapur.
[1] Seniman
Batang Ketapang. Karena kebiasaan mereka berkumpul di bawah ketapang besar yang
rindang, mereka sepakat mendeklarasikan perserikatan mereka sebagai Seniman
Batang Ketapang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar